Fiqih Muamalah adalah Mengatur Tindakan Manusia dalam Urusan Duniawi, Begini Hukum Asalnya

Fiqih muamalah adalah mengatur jual beli, utang-piutang, kerja sama dagang, perserikatan, dan sewa menyewa.

oleh Laudia Tysara diperbarui 26 Apr 2022, 14:00 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2022, 14:00 WIB
Faktor Pendorong Perdagangan Internasional
Ilustrasi Kesepakatan Transaksi Bisnis Credit: pexels.com/fauxels

Liputan6.com, Jakarta Apa arti fiqih muamalah? Fiqih muamalah adalah mengatur hubungan manusia, hubungan sosial, atau hablum minannas.

Dalam buku berjudul Fiqh Muamalah oleh Nasrun Haroen dijelaskan fiqih muamalah adalah hukum-hukum yang diciptakan berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan duniawi.

“Dalam persoalan jual beli, utang-piutang, kerja sama dagang, perserikatan, dan sewa menyewa,” dicontohkan.

Menurut para ulama fiqih, disepakati adanya hukum asal dalam transaksi fiqih muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali ada sebuah nash yang melarangnya.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang fiqih muamalah, hukum, prinsip, tujuan, dan macam-macamnya, Selasa (26/4/2022).

Fiqih Muamalah adalah Mengatur Tindakan Manusia dalam Urusan Duniawi

Pengertian Perdagangan Internasional
Ilustrasi berdagang. (Sumber: Pexels.com)

Memahami fiqih muamalah adalah hubungan-hubungan syariat yang menjembatani hubungan manusia dengan manusia dalam sebuah transaksi. Fiqih muamalah adalah mengatur hubungan manusia, hubungan sosial, atau hablum minannas.

Dalam modul berjudul Ruang Lingkup Muamalah yang diterbitkan IAIN Pare, dijelaskan fiqih muamalah adalah secara bahasa berasal dari kata ‘aamala, yu’amilu, mu’amalat yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan (seperti jual-beli, sewa dsb).

Sementara secara terminologis, fiqih muamalah adalah bagian hukum amaliah selain ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara yang satu dengan lainnya baik secara individu, dalam keluarga, maupun bermasyarakat.

Fiqih muamalah adalah mengatur jual beli, utang piutang, dan lainnya. Dalam buku berjudul Fiqh Muamalah oleh Nasrun Haroen dijelaskan fiqih muamalah adalah hukum-hukum yang diciptakan berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan duniawi. Contohnya dalam persoalan jual beli, utang-piutang, kerja sama dagang, perserikatan, dan sewa menyewa.

“Muamalah adalah hubungan antara manusia dalam usaha mendapatkan kebutuhan jasmaniah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran-ajaran dan tuntutan agama,” dijelaskan.

Apa hukum asal dari fiqih muamalah itu? Memahami hukum asal fiqih muamalah adalah diperbolehkan sebagaimana dijelaskan dalam kajian teori penelitian yang diterbitkan IAIN Kediri yang membahas mengenai prinsip-prinsip muamalah.

Menurut Ulama fikih, mereka sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali ada sebuah nash yang melarangnya. Maka dari itu, manusia tidak boleh mengatakan bahwa sebuah transaksi atau akad dilarang sebelum/tidak terdapat nash yang melarang akad tersebut. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang.

Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya atau dengan kata lain ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya.

“Kaidah ini menjadikan hukum fiqih muamalah adalah fleksibel, tidak kaku, dan tidak ketinggalan zaman sehingga dapat menjawab persoalan fikih kontemporer saat ini,” dijelaskan.

Prinsip dan Tujuan Fiqih Muamalah

Apa yang menjadi prinsip dan tujuan adanya fiqih muamalah?

Prinsip Fiqih Muamalah:

Menurut Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 2018, prinsip-prinsip muamalah secara umum adalah:

1. Kebolehan dalam melakukan aspek muamalah, baik, jual, beli, sewa menyewa ataupun lainnya. Prinsip dasar muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

2. Muamalah dilakukan atas pertimbangan membawa kebaikan bagi manusia dan atau untuk menolak segala yang merusak.

3. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keseimbangan (tawazun). Konsep ini dalam syariah meliputi berbagai segi antara lain meliputi keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual; pemanfaatan serta pelestarian sumber daya.

4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk muamalah yang mengandung unsur penindasan tidak dibenarkan.

Tujuan Fiqih Muamalah:

Tujuan fiqih muamalah adalah terciptanya hubungan yang harmonis antara sesama manusia, sehingga tercipta masyarakat yang rukun dan tentram.

Adapun hubungan ini berupa jalinan pergaulan, saling menolong dalam kebaikan dalam upaya menjalankan ketaatannya kepada Allah SWT.

Tolong menolong yang dimaksud dalam muamalah terdapat dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2, berbunyi:

“Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya sangat berat siksanya Allah.”

Dalam buku berjudul Sumber Belajar Pendidikan Agama Islam yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam fiqih muamalah ada larangan-larangan yang harus diperhatikan, ini penjelasannya:

1. Fiqih muamalah adalah tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.

2. Fiqih muamalah adalah tidak boleh melakukan kegiatan riba.

3. Fiqih muamalah adalah tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya).

4. Fiqih muamalah adalah tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.

5. Fiqih muamalah adalah tidak boleh dengan cara-cara spekulasi atau berjudi.

6. Fiqih muamalah adalah tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.

Macam-Macam Kegiatan dalam Fiqih Muamalah

7 Faktor Pendorong Perdagangan Internasional
Ilustrasi bisnis. (Sumber: Pexels.com)

Macam-macam kegiatan atau urusan yang diatur dalam fiqih muamalah adalah ada lima. Ini penjelasan macam-macam kegiatan dalam fiqih muamalah yang dijelaskan dalam kajian teori yang dipublikasikan UIN Sultan Syarif Kasim Riau:

1. Syirakh

Dalam ilmu muamalah, syirah merupakan suatu akad di mana dua pihak yang melakukan kerjasama dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.

Selain itu, syirakh juga bisa dimaknai mencampurkan dua bagian menjadi satu, sehingga tidak bisa dibedakan antara satu dengan yang lainnya.

Adapun rukun syirakh di antaranya barang harus halal, objek akad harus pekerjaan dan modal, dan pihak pelaku akad harus memiliki kecakapan melakukan pengelolaan harta.

2. Jual Beli

Dalam hukum Islam, kegiatan ekonomi memiliki arti suatu kegiatan atau kesepakatan dalam menukar barang dengan tujuan untuk dimiliki selamanya.

Adapun beberapa syarat saat proses jual beli di antaranya berakal sehat, transaksi dilakukan atas dasar kehendak sendiri, dan penjual maupun pembeli harus punya akal, baligh, dan lain sebagainya.

3. Murabahah

Murabahah adalah transaksi atau pembayaran angsuran yang diketahui oleh kedua pihak. Baik dari ketentuan margin keuntungan atau harga pokok pembelian.

4. Sewa Menyewa

Sewa menyewa atau dalam Islam disebut akad ijarah merupakan suatu imbalan yang diberikan kepada seseorang atas jasa yang telah diberikan, seperti kendaraan, tenaga, tempat tinggal, dan pikiran.

Adapun beberapa syaratnya ialah barang yang disewakan menjadi hak sepenuhnya dari pihak pemberi sewa, kedua belah pihak harus berakal sehat, dan manfaat barang yang disewakan harus diketahui jelas oleh penyewa.

5. Utang Piutang

Utang piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada orang dengan catatan suatu saat nanti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Beberapa rukun hutang piutang di antaranya harus ada barang atau harta, adanya ijab qabul, dan adanya pemberi hutang atau penghutang. Salah satu hal yang harus dihindari ialah menjahui riba.

Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan presentase dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.

Riba secara bahasa memiliki arti ziyadah atau tambahan. Adapun pengertian riba menurut Syekh Abu Yahya Al-Anshary didefinisikan sebagai berikut, yang artinya:

"Riba adalah suatu akad pertukaran barang tertentu yang tidak diketahui padanannya menurut timbangan syara’ yang terjadi saat akad berlangsung atau akibat adanya penundaan serah terima barang baik terhadap kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya saja." (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb).

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya