Cultuurstelsel Adalah Tanam Paksa, Ini Tujuan dan Dampaknya bagi Petani Pribumi

Cultuurstelsel adalah kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melunasi utang akibat perang.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 08 Nov 2022, 20:15 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2022, 20:15 WIB
Biji Kopi
Ilustrasi Foto Biji Kopi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Cultuurstelsel adalah kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mulai diberlakukan pada 1830. Cultuurstelsel adalah kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila).

Dengan kata lain, Cultuurstelsel adalah kebijakan tanam paksa yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda, yang mewajibkan rakyat Indonesia pada saat itu untuk menanami sebagian tanahnya dengan tanaman yang menjadi komoditas ekspor.

Adapun tujuan diberlakukannya tanam paksa atau Cultuurstelsel adalah untuk membayar utang Belanda akibat jumlah kas yang banyak berkurang setelah terlibat dalam Perang Jawa tahun 1830.

Sistem tanam paksa pun terbukti berhasil. Itu tidak hanya dapat menghasilkan uang yang cukup untuk membayar utang Belanda, tapi juga memberikan keuntungan yang sangat besar. Namun di sisi lain, Cultuurstelsel adalah kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang sangat menyengsarakan pribumi waktu itu.

Untuk lebih memahami apa itu Cultuurstelsel, berikut ulasan mengenai latar belakang kebijakan ini, seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (9/11/2022).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Latar Belakang Cultuurstelsel

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Belanda membutuhkan banyak uang untuk melunasi utang mereka. Belanda memiliki utang karena sebelumnya mereka telah terlibat sebuah perang yang terjadi pada 1825-1830. dalam perang tersebut, Belanda Belanda telah berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Jawa dalam Perang Diponegoro.

Kondisi keuangan yang memburuk akibat perang, membuat Belanda harus mencari cara untuk mengisi kembali kas mereka dan membayar utang yang digunakan sebagai biaya perang. Oleh sebab itu Raja William 1 mengutus Johannes van den Bosch untuk mencari cara menghasilkan uang dari sumber daya di Indonesia.

Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, pemerintah kolonial akhirnya menerapkan kebijakan Cultuurstelsel atau tanam paksa. Cultuurstelsel adalah kebijakan yang mewajibkan para petani untuk menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu.

Hal yang lebih memberatkan para petani adalah, bahwa kebijakan tanam paksa ini juga mewajibkan para petani untuk memenuhi target yang telah ditentukan oleh pemerintah kolonial.


Aturan dalam Kebijakan Cultuurstelsel

Petani Tebu
Seorang petani membawa tebu untuk dijual di pabrik gula di Modinagar di Ghaziabad, New Delhi, (31/1). Pemerintah India akan fokus pada sektor pertanian dalam anggaran tahunannya yang dirilis pada 1 Februari. (AFP Photo/Prakash Singh)

Van den Bosch menyusun peraturan-peraturan pokok yang termuat pada lembaran negara (Staatsblad) Tahun 1834 No.22 sebagai berikut:

1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasar Eropa.

2. Bagian tanah tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk di desa.

3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.

4.Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.

5. Tanaman dagang yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih profitnya harus diserahkan kepada rakyat.

6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.

7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tidak ada satu poin pun dalam kebijakan tersebut yang menguntungkan petani. Sebaliknya, para petani dan pribumi waktu itu justru merasakan penderitaan akibat kemiskinan dan ketidaktentuan penghasilan ke depannya.


Tujuan Tanam Paksa

Petani Tebu
Suasana aktivitas petani di kebun tebu di Modinagar di Ghaziabad, New Delhi, (31/1). Pemerintah India akan fokus pada sektor pertanian dalam anggaran tahunannya yang dirilis pada 1 Februari. (AFP Photo/Prakash Singh)

Cultuurstelsel adalah kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang mewajibkan para petani pribumi untuk menanam tanaman komoditas ekspor. Bukan tanpa tujuan pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan ini. Setidaknya ada empat tujuan utama pemerintah kolonial menerapkan kebijakan tanam paksa, yakni sebagai berikut:

1. Mengisi kembali kas negara Belanda yang kosong karena pengeluaran negara yang sangat banyak saat Perang Jawa.

2. Membantu menyediakan dana untuk membayar utang negara yang sangat besar akibat peperangan.

3. Memberi suntikan dana untuk membiayai peperangan yang dilakukan di Eropa dan di Indonesia.

4. Mendapatkan keuntungan sebesar–besarnya untuk pendapatan negara.


Dampak Buruk Cultuurstelsel bagi Petani

Ilustrasi petani
Ilustrasi petani. (Gambar oleh Sasin Tipchai dari Pixabay)

Cultuurstelsel adalah kebijakan tanam paksa yang memberikan dampak buruk bagi para petani pribumi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tidak ada satu poin pun dalam aturan Cultuurstelsel yang menguntungkan para petani, sehingga hanya dampak buruk saja yang mereka rasakan. Adapun dampak buruk yang dirasakan oleh para petani antara lain adalah sebagai berikut:

1. Rakyat menderita dan memiliki beban yang sangat berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, mengikuti kerja rodi dan juga membayar pajak.

2. Timbulnya berbagai wabah penyakit serta kelaparan yang berkepanjangan karena kesejahteraan yang tidak tercapai akibat tidak mempunyai penghasilan yang cukup.

4. Kemiskinan yang semakin meluas.

5. Para petani yang menanam paksa menjadi tahu berbagai tanaman ekspor ke depannya serta Teknik menanamnya.


Penghapusan Kebijakan Cultuurstelsel

Ilustrasi – petani menanam padi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi – petani menanam padi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Cultuurstelsel memang berhasil dalam mencapai tujuan yang diharapkan pemerintah kolonial. Namun dampaknya bagi para petani justru sebaliknya. Hanya penderitaan yang dirasakan oleh para petani.

Puncak penderitaan para petani terjadi pada 1840, di mana berbagai wabah penyakit di mana-mana serta kelaparan yang merajalela. Di samping hal tersebut, pajak naik dan menyiksa rakyat.

Akhirnya setelah dua puluh tahun kemudian secara berangsur, sistem tanam paksa dihapus secara radikal. Mulai dari tanam paksa lada, indigo, teh, tebu dan menyusul lainnya. Di Jawa, sistem tanam paksa benar-benar dihapus pada tahun 1870.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya