PKI Adalah Singkatan dari Partai Komunis Indonesia, Kenali Sejarahnya

PKI adalah kependekan dari Partai Komunis Indonesia.

oleh Husnul Abdi diperbarui 07 Jan 2023, 16:30 WIB
Diterbitkan 07 Jan 2023, 16:30 WIB
Jejak Keponakan Bapak Komunisme Karl Marx di Purbalingga
Bangunan tempat tinggal keponakan Karl Marx selama bertugas di Purbalingga. (dok. TCAB Purbalingga/Galoeh Widura)

Liputan6.com, Jakarta PKI adalah sebuah partai politik di Indonesia yang sekarang telah bubar. PKI adalah sebuah partai yang didirikan pada tahun 1914 dan sempat menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia. Partai ini dibubarkan pada tahun 1965.

Partai ini berawal dari kaum sosialis Hindia Belanda yang membentuk serikat tenaga kerja di pelabuhan, dengan nama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Para anggota Belanda dari ISDV mengenalkan ide-ide Marxis pada orang Indonesia.

PKI adalah kependekan dari Partai Komunis Indonesia. Partai ini sesuai dengan namanya menganut paham komunisme. Komunisme yaitu paham atau ideologi dalam bidang politik yang menganut ajaran Karl Marx, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh negara.

Berikut Liputan6.com rangkum dari Sumber Belajar Kemdikbud dan berbagai sumber lainnya, Sabtu (7/1/2023) tentang PKI.

Mengenal PKI

Deklasifikasi Dokumen AS Ungkap Masa Kelam Sejarah 1965 Indonesia
Foto tanggal 21 Oktober 1965 dari kantor pusat Partai Komunis Indonesia di Jakarta yang dibakar pada tanggal 8 Oktober 1965 (AFP)

PKI adalah singkatan dari Partai Komunis Indonesia. PKI adalah sebuah partai yang berawal dari Henk Sneevliet dan dan kaum sosialis Hindia Belanda lainnya membentuk serikat tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama Indische Sociaal Democratische Vereeniging ( ISDV).

PKI adalah sebuah partai politik yang sempat menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia, hingga dibubarkan pada 1965. Partai ini sesuai dengan namanya menganut paham komunisme, yaitu paham atau ideologi dalam bidang politik yang menganut ajaran Karl Marx, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh negara.

Peristiwa PKI Madiun 1948

Penangkapan Amir Syarifudin dan tokoh PKI lainnya usai pemberontakan Madiun 1948. (Sumber Foto: Kemdikbud.go.id)
Penangkapan Amir Syarifudin dan tokoh PKI lainnya usai pemberontakan Madiun 1948. (Sumber Foto: Kemdikbud.go.id)

PKI Madiun ialah sebuah gerakan yang berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah, yakni Republik Indonesia dan mengganti landasan negara. Gerakan ini dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Muso. Dimulai pada pertengahan tahun 1948 dan berpusat di Madiun, Jawa Timur.

Latar Belakang Terjadinya Peristiwa PKI Madiun 1948

Pertama, ialah jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin akibat ditandatanganinya perjanjian Renville yang sangat merugikan Republik Indonesia. Setelah tidak lagi menjadi Perdana Menteri, Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang kemudian berkerjasama dengan organisasi berpaham kiri seperti Partai Komunis Indonesia, Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan lain-lain.

Kedua, kedekatan Amir Sjarifuddin dengan tokoh PKI Muso dan bercita-cita menyebarkan ajaran komunisme di Indonesia.

Ketiga, propaganda kekecewaan terhadap Perdana Mentri selanjutnya yakni Kabinet Hatta akibat programnya untuk mengembalikan 100.000 tentara menjadi rakyat biasa dengan alasan penghematan biaya.

Pemberontakan PKI Madiun

Pemberontakan PKI Madiun diawali dengan melancarkan propaganda anti pemerintah dan pemogokan kerja oleh kaum buruh. Selain itu pemberontakan juga dilakukan dengan menculik dan membunuh beberapa tokoh negara. Seperti Penembakan terhadap Kolonel Sutarto pada 2 Juli 1948, penculikan dan pembunuhan terhadap Gubernur Jawa Timur pertama RM. Ario Soerjo yang kebetulan berkunjung ke Ngawi dan kemudian dicegat oleh kelompok Amir pada 10 September 1948. Serta  penculikan dan pembunuhan kepada Dr. Moewardi pada 13 September 1948 yang merupakan tokoh penting dalam peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Puncak pemberontakan terjadi pada 18 September 1948, saat pemberontak berhasil menguasai kota Madiun dan mengumumkan lahirnya Republik Soviet Indonesia. Mereka pun menguasai tempat strategis, melakukan sabotase, perusakan pembakaran sarana dan prasarana, serta  melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang anti PKI.

Pemerintah menyadari apa yang dilakukan PKI sangat membahayakan negara. Oleh karena itu, dilakukan beberapa cara untuk mengakhiri pemberontakan. Pertama, Soekarno memperlihatkan pengaruhnya dengan meminta rakyat memilih Soekarno-Hatta atau Muso-Amir. Kedua, Panglima Besar Sudirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan dibantu para santri.

Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki lagi oleh RI. Beberapa petinggi PKI melarikan diri ke Tionghoa dan Vietnam seperti D.N Aidit dan Lukman. Muso tertembak dalam pertempuran kecil di Ponorogo. Amir Sjarifuddin ditangkap dan ditembak mati.

Gerakan 30 September 1965 PKI

Mengenal Pahlawan Revolusi Korban G30S/PKI
G30SPKI menjadi kenangan kelam bangsa ini sebab di masa itu para pahlawan dibantai secara keji.

Peristiwa gerakan 30 September 1965 berlangsung dua hari satu malam, namun dampaknya cukup besar bagi kehidupan perpolitikan bangsa Indonesia ketika itu. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 ialah tragedi nasional yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dan menimbulkan korban di kalangan petinggi militer. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh persaingan politik, karena PKI adalah sebagai kekuatan politik merasa khawatir dengan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk.

Saat itu, berbagai kebijakan yang diusulkan PKI adalah mempersenjatakan Angkatan V (Buruh Tani) untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia, serta pembubaran Masyumi karena dianggap bertanggung jawab atas peristiwa PRRI/Persemesta diterima. Pada awal Agustus 1965, ketika Presiden Soekarno tiba-tiba pingsan setelah berpidato, banyak pihak yang beranggapan bahwa usia beliau tidak akan lama lagi.

Terjadinya Pemberontakan

Peristiwa gerakan 30 September 1965 PKI adalah gerakan yang pada dasarnya berlangsung selama dua hari. Yakni tanggal 30 September kegiatan kordinasi dan persiapan, serta tanggal 1 Oktober 1965 dinihari kegiatan pelaksanaan penculikan dan pembunuhan.

Terjadinya pemberontakan secara kronologi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.  Gerakan 30 September 1965 berada dibawah kendali Letkol Untung dari Komando Balation I resimen Cakrabirawa. Letkol Untung menunjuk Lettu Dul Arief menjadi ketua pelaksanaan penculikan.

2. Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, enam Jendral menjadi korban penculikan dan pembunuhan yakni Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. R. Soeprapto, Mayjen. Harjono, Mayjen. S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan dan Brigjen Sutoyo dan satu perwira yakni Lettu Pirre Tandean. Keseluruhannya dimasukan kedalam lubang di kasawan Pondok Gede, Jakarta.

3. Satu Jenderal selamat dalam penculikan ini yakni Jendral A.H. Nasution, namun putrinya menjadi korban yakni Ade Irma Suryani serta ajudannya Lettu. Pierre Tandean. Korban lain ialah, Brigadir Polisi K.S. Tubun wafat ketika mengawal rumah Dr. J. Leimana.

4. Gerakan ini menyebar juga di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini.

5. Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi AD, PKI adalah menguasai gedung Radio Republik Indonesia, dan mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit no.1, yakni pernyataan bahwa gerakan G30S PKI adalah upaya penyelematan negara dari Dewan Jendral yang ingin mengambil alih negara.

Penumpasan Gerakan 30 September 1965

Lubang Buaya, Saksi Bisu Kekejaman PKI di Indonesia
Monumen Pancasila Sakti didirikan untuk mengenang keberhasilan Pancasila dalam membendung paham komunis di Indonesia, Jakarta, Selasa (30/9/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Gerakan 30 September 1965 PKI adalah peristiwa yang menyebabkan kebingungan terhadap masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Kebingungan yang dirasa masyarakat Indonesia langsung direspon oleh pemerintah. Mayjen Soeharto sebagai Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) setelah menerima laporan serta membuat perkiraan, Soeharto mengambil kesimpulan bahwa para perwira tinggi itu telah diculik dan dibunuh.

Berdasarkan kesimpulan tadi, Mayjen Soeharto langsung mengambil alih pimpinan Angkatan Darat guna menindaklanjuti persitiwa yang terjadi di tanggal 30 September tersebut.

Langkah penumpasan dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965, TNI berusaha menetralisasi pasukan-pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka. Selanjutnya Mayjen Soeharto menugaskan kepada Kolonel Sarwo Edhi Wibowo untuk merebut kembali gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi, tugas tersebut selesai dalam waktu singkat dan tanpa pertumpahan darah.

Dengan dikuasainya RRI dan Telekomunikasi, pada jam 20.00 WIB Soeharto mengumumkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh gerakan 30 September, beliau juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat.

Operasi penumpasan berlanjut ke kawasan Halim Perdanakusuma pada 2 Oktober 1965, tempat pasukan G30S mengundurkan diri dari kawasan Monas. Pada tanggal yang sama atas petunjuk Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari penculikan PKI, pasukan pemerintah menemukan lokasi Jenazah para perwira di lubang sumur tua, di atasnya ditanami pohon pisang di kawasan yang dekat juga dengan Halim yakni Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan Jenazah tersebut dan keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Para perwira yang gugur akibat pemberontakan ini diberi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.

Upaya penumpasan terus dilakukan, rakyat Indonesia turut membantu dan mendukung penumpasan tersebut. Demonstrasi anti-PKI berlangsung di Jakarta. Operasi penumpasan berlanjut dengan menangkap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab pada peristiwa itu. Pada 9 Oktober 1965, Kolonel A. Latief berhasil ditangkap di Jakarta. Pada 11 Oktober 1965, Letkol Untung pemimpin dewan revolusi berhasil ditangkap di Tegal ketika ingin melarikan diri ke Jawa Tengah.

Selain itu para petinggi PKI seperti D.N Aidit, Sudisman, Sjam, dan lain-lain juga ditangkap oleh TNI pada 22 November 1965. Selanjutnya Pada 14 Februari 1966 beberapa tokoh PKI dibawa ke hadapan sidang Mahkamah Luar Biasa (Mahmilub). Desakan rakyat semakin ramai menuntut agar PKI dibubarkan, puncaknya pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto langsung mengeluarkan larangan terhadap PKI dan ormas-ormas di bawahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya