Hikayat Bayan Budiman, Cerita Rakyat yang Penuh dengan Nilai Luhur

Hikayat Bayan Budiman mengandung nilai-nilai luhur, seperti imbauan atau ajakan untuk selalu berbuat kebaikan hingga unsur keagamaan.

oleh Husnul Abdi diperbarui 04 Feb 2023, 14:30 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2023, 14:30 WIB
Hikayat Bayan Budiman
Hikayat Bayan Budiman (sumber: labbineka.kemdikbud.go.id)

Liputan6.com, Jakarta Hikayat Bayan Budiman adalah cerita klasik yang biasanya menjadi bahan bacaan siswa sekolah. Bayan adalah nama burung yang pandai bercerita tentang segala hal yang mengandung hikmah bagi siapapun yang mendengarnya.

Bayan merupakan seekor burung yang dapat berbicara, baik hati, dan memiliki sifat-sifat terpuji seperti layaknya manusia. Ia tidak mau berbuat jahat, keji, dan berbicara yang tidak ada manfaatnya. Oleh karena itulah, ia disebut burung bayan yang budiman.

Hikayat Bayan Budiman mengandung nilai-nilai luhur, seperti imbauan atau ajakan untuk selalu berbuat kebaikan hingga unsur keagamaan. Cerita ini tentunya sangat bagus dibaca oleh anak-anak sekolah untuk belajar berbagai nilai baik tersebut.

Berikut Liputan6.com rangkum dari Kemdikbud, Sabtu (4/2/2023) tentang hikayat Bayan Budiman.

Mengenal Hikayat Bayan Budiman

Mengenal Hikayat Bayan Budiman
Ilustrasi Membaca Buku Credit: pexels.com/Melanie

Hikayat Bayan Budiman adalah cerita rakyat yang mengadung beragam nilai budaya. Nilai budaya ini di antaranya dapat mendorong untuk selalu giat berusaha, bersyukur, sabar, cinta tanah air, jujur, suka menolong, dan nilai-nilai luhur lainnya. Nilai-nilai tersebut perlu diwariskan kepada generasi muda penerus bangsa.

Hikayat Bayan Budiman adalah salah satu cerita rakyat yang sarat dengan nilai-nilai luhur, seperti imbauan atau ajakan untuk selalu berbuat kebaikan dan unsur keagamaan. Cerita ini berlatar negeri Hindustan yang ditulis dengan bahasa Melayu Klasik.

Hikayat Bayan Budiman termasuk cerita berbingkai, sebagaimana cerita klasik pada umumnya. Judul aslinya adalah Hikayat Bayan Budiman yang ditransliterasi oleh Hani’ah. Cerita Hikayat Bayan Budiman ini digarap dengan sedikit perubahan sehingga dapat menjadi bahan bacaan siswa sekolah menegah atas. Melansir labbineka.kemdikbud.go.id, cerita "Hikayat Bayan Budiman" ini ditulis oleh Ekawati.

Isi Cerita Hikayat Bayan Budiman

Dalam cerita ini disebutlah nama Bayan yang budiman. Bayan adalah nama burung yang dapat berbicara, baik hati, dan memiliki sifat-sifat terpuji seperti layaknya manusia. Ia pun pandai bercerita tentang segala hal yang mengandung hikmah bagi siapapun yang mendengarnya.

Isi ceritanya biasanya berupa nasihat yang bermanfaat, khususnya bagi manusia, seperti cerita tentang anak yang harus berbakti kepada kedua orang tuanya, istri yang harus setia kepada suaminya, dan manusia yang harus selalu berdoa memohon pertolongan Allah, Tuhan semesta alam ini.

Bayan Budiman tidak mau berbuat jahat,keji,dan berbicara yang tidak ada manfaatnya. Oleh karena itulah,ia disebut burung bayan yang budiman.

Cerita Awal Hikayat Bayan Budiman

Ilustrasi anak membaca buku cerita, fabel
Ilustrasi anak membaca buku cerita. (Photo by Kelly Sikkema on Unsplash)

Pada suatu hari sekawanan burung bayan asyik berterbangan dengan bebas. Mereka berkejar-kejaran dan hinggap di satu pohon dan berpindah ke pohon yang lain dengan sukacitanya. Namun, kebebasan mereka tiba-tiba terhenti karena ketika mereka hinggap di salah satu pohon yang sangat besar, sayap-sayap mereka lengket di daun dan ranting pohon itu sehingga mereka pun tidak dapat lagi terbang ke sana kemari.

Kawanan burung bayan itu berjumlah seratus ekor, salah satunya adalah Raja Bayan. Sebagai pemimpin, Raja Bayan menyampaikan idenya kepada bayan-bayan yang lain, “Kawan-kawan, ketahuilah bahwa kita terkena jebakan manusia, tetapi kita harus tetap tenang. Hari sudah malam dan besok pagi manusia yang menjebak kita pasti datang. Ketika dia datang, kita semua harus berpura-pura mati.

Tahan napas kalian dan jangan sampai ada yang bergerak. Dia pasti akan mengambil kita satu per satu dan menjatuhkan kita ke tanah. Siapa pun di antara kita yang terlebih dahulu dijatuhkan ke tanah harus tetap diam dan jangan langsung terbang sebelum semuanya jatuh ke tanah.” Bayan-bayan yang lain pun mengerti dan berjanji akan menaati perintah raja mereka.

Bayan Ditangkap Orang Tua Penjual Burung

Di suatu negeri, hiduplah seorang tua bersama keluarganya. Pekerjaan orang tua itu sehari-hari adalah menangkap burung dan ayam di hutan. Ayam dan burung hasil tangkapannya lalu dijual di pasar. Uang hasil menjual ayam dan burung itulah yang dipakai untuk menghidupi keluarganya.

Seperti biasanya, pada pagi hari orang tua itu bergegas pergi ke hutan.

“Aku ikut, Ayah,” pinta anak orang tua itu.

“Jangan, Nak!,” jawab orang tua itu.

“Aku ingin membantu Ayah menangkap ayam dan burung,” kata anaknya.

Orang tua itu tersenyum sambil mengelus kepala anaknya yang sudah remaja itu, lalu berkata,

“Kau di rumah saja menemani ibumu. Ayah hanya pergi sebentar saja karena ayah tidak lagi mencari-cari burung atau ayam yang akan ditangkap. Kali ini ayah pergi ke hutan hanya untuk mengambil burung-burung yang sudah melekat di dahan-dahan dan ranting pohon.”

“Maksud Ayah burung-burung itu sudah pasti ada di pohon itu?” tanya si anak.

Ayahnya menjawab, “Ya, Nak. Kemarin siang ayah sudah mengolesi daun dan ranting dengan lem perekat di pohon yang paling besar. Burung-burung itu sekarang pasti sudah lengket di pohon itu. Jadi, pagi ini ayah tinggal mengambilnya saja.”

”Wah, pasti banyak burung yang Ayah bawa pulang nanti”, kata anaknya dengan mata berbinar-binar. “Ya, kita lihat nanti. Sekarang ayah berangkat dulu, ya?”

Ketika sampai di hutan, orang tua itu langsung menuju sebuah pohon yang paling besar. Dilihatnya banyak burung bayan menempel di daun-daun dan ranting pohon itu. Ia segera melepas bajunya, lalu sambil membawa golok ia memanjat pohon besar itu. Sesampai di atas, ia melihat burung-burung itu diam seperti sudah tak bernyawa, lalu diambilnya satu per satu dan dijatuhkannya ke tanah.

Dalam waktu yang tidak lama, sudah ada 99 ekor burung bayan yang dijatuhkannya ke tanah. Ia melihat tinggal seekor lagi yang belum diambilnya karena burung yang satu itu menempel pada dahan yang lebih tinggi. Tatkala orang tua itu akan menjangkau burung itu, tiba-tiba golok yang dia selipkan di celananya terjatuh.

Burung bayan yang sudah berada di tanah mengira yang jatuh itu adalah temannya yang tinggal seekor lagi. Lalu, sesuai dengan rencana apabila sudah genap seratus yang dijatuhkan ke tanah, burung-burung bayan itu segera terbang bersama-sama. Bayan yang berjumlah 99 itu tidak tahu bahwa suara benda jatuh itu adalah sebuah golok, bukan temannya.

Alangkah terkejutnya orang tua itu mendengar dan melihat burung-burung bayan yang berjumlah 99 itu tiba-tiba berhamburan terbang menjauh. Ia merasa telah diperdaya oleh kawanan burung itu. Tinggallah seekor burung lagi yang masih menempel di daun. Karena tidak ingin tertipu lagi, burung bayan itu tidak dijatuhkannya ke tanah. Burung itu terus digenggamnya sampai ia turun dari pohon besar itu.

Sesampainya di bawah, ia berkata kepada burung itu, “Bangunlah, wahai, burung! Aku tahu kau hanya berpura-pura mati.” Burung yang tinggal seekor itu ternyata Raja Bayan. Burung itu membuka matanya tanpa berkata apa pun. Dalam perjalanan pulang, orang tua penangkap burung itu sedih hatinya karena membayangkan wajah anak dan istrinya yang kecewa akan hasil tangkapannya hari ini.

Ia hanya dapat membawa pulang seekor burung. Padahal, burung yang terkena jebakannya sangat banyak. Sesampainya di rumah, ia disambut anak istrinya. Benar dugaannya, anak dan istrinya tampak keheranan melihatnya pulang dengan hanya membawa seekor burung. Diperlihatkannya burung itu kepada anaknya.

“Bagus sekali burung ini, Ayah! Janganlah dijual burung ini. Lebih baik kita pelihara saja,” pinta anaknya.

Orang tua itu berkata, “Burung itu akan kita bawa ke pasar untuk dijual. Kita tidak bisa memeliharanya. Untuk makan kita sehari-hari saja tidak cukup.”

Keesokan harinya dibawanya burung itu ke pasar. Tibatiba ada seorang saudagar menghampirinya, lalu berkata, ”Berapa kau jual burung itu?” “Terserah berapa saja Tuan menghargainya,” jawab orang tua itu.

Saudagar itu merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa keping uang tanpa dihitungnya, lalu diserahkannya kepada orang tua itu. Setelah itu, saudagar itu pergi meninggalkannya sambil membawa burung itu. Orang tua itu kemudian menghitung uang yang diterimanya dari saudagar itu. Ia sangat terkejut dan hampir tak percaya pada sejumlah uang yang ada dalam genggamannya.

“Enam ratus dinar. Wah, banyak sekali,” bisiknya dalam hati. Kemudian, dengan perasaan gembira, ia bergegas pulang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya