Bioremediasi Adalah Penggunaan Mikroorganisme untuk Pencemaran, Ketahui Contohnya

Bioremediasi adalah menggunakan mikroorganisme untuk membersihkan pencemaran lingkungan.

oleh Laudia Tysara diperbarui 10 Jul 2023, 11:00 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2023, 11:00 WIB
Fasilitas pengolahan limbah menjadi alternatif bahan bakar pengganti batu bara di Pabrik Narogong, Jawa Barat (Foto: Semen Indonesia)
Fasilitas pengolahan limbah menjadi alternatif bahan bakar pengganti batu bara di Pabrik Narogong, Jawa Barat (Foto: Semen Indonesia)

Liputan6.com, Jakarta - Bioremediasi adalah suatu metode yang menggunakan organisme hidup, seperti mikroorganisme, untuk membersihkan lingkungan dari kontaminan dan polutan. Metode ini melibatkan penggunaan mikroba, seperti bakteri, fungi, dan alga, serta enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut. Selama proses bioremediasi, mikroorganisme ini mendegradasi atau mengubah struktur polutan beracun menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya.

Dalam jurnal penelitian lain berjudul "Peran Mikroorganisme dalam Bioremediasi Tanah yang Tercemar Logam Berat dari Limbah Industri" oleh Sri Pudji Rahayu, disebutkan bahwa mikroorganisme digunakan dalam bioremediasi adalah untuk rehabilitasi lingkungan karena mereka dapat menghasilkan enzim yang memodifikasi struktur polutan beracun menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya.

Keuntungan bioremediasi adalah kemampuan untuk mengatasi berbagai jenis pencemaran, efektivitas yang relatif tinggi, serta biaya yang lebih rendah dan dampak lingkungan yang lebih kecil dibandingkan dengan metode remediasi lainnya. Bioremediasi telah diterapkan dalam berbagai skala, mulai dari perbaikan tanah tercemar hingga penanganan bencana alam seperti tumpahan minyak.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang bioremediasi, contoh bioremediasi, dan faktor-faktor yang memengaruhi bioremediasi, Senin (10/7/2023).

 

Gunakan Mikroorganisme untuk Cegah Pencemaran

Sungai Cileungsi
Warga mencari ikan di aliran Sungai Cileungsi yang berwarna hitam pekat di kawasan Bojong Kulur, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/7/2019). Air Sungai Cileungsi berubah warna menjadi hitam diduga akibat pencemaran limbah pabrik di kawasan tersebut. (merdeka.com/Arie Basuki)

Bioremediasi adalah cabang dari ilmu bioteknologi yang menggunakan organisme hidup, seperti mikroba dan bakteri, untuk menghilangkan kontaminan, polutan, dan racun yang mencemari tanah, air, dan lingkungan lainnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menjelaskan bahwa bioremediasi adalah melibatkan penggunaan mikroorganisme, seperti bakteri, fungi, yeast, alga, dan enzim yang dihasilkan oleh mikroba tersebut, untuk membersihkan atau menetralkan bahan kimia dan limbah secara aman. Ini merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam mengatasi masalah lingkungan.

Dalam sebuah jurnal penelitian berjudul "Bioremediasi Lumpur Alum menggunakan Aspergillus niger dengan Penambahan Serbuk Gergaji sebagai Bulking Agent" oleh Indira Wido Primadipta dan Harmin Sulistiyaning Titah, bioremediasi dikenal sebagai teknologi remediasi yang menggunakan mikroorganisme dan dapat digunakan untuk menghilangkan logam aluminium. Salah satu mikroorganisme yang mampu menghilangkan logam aluminium adalah jamur Aspergillus niger. Bioremediasi dianggap lebih ekonomis dan ramah lingkungan dibandingkan dengan teknik remediasi fisika dan kimia.

Mikroorganisme dipilih sebagai agen bioremediasi adalah karena kemampuannya dalam mendegradasi atau mengubah limbah beracun menjadi tidak beracun. Dalam jurnal penelitian lain berjudul "Peran Mikroorganisme dalam Bioremediasi Tanah yang Tercemar Logam Berat dari Limbah Industri" oleh Sri Pudji Rahayu, disebutkan bahwa mikroorganisme digunakan dalam bioremediasi adalah untuk rehabilitasi lingkungan karena mereka dapat menghasilkan enzim yang memodifikasi struktur polutan beracun menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya.

Proses bioremediasi mampu mengubah limbah menjadi tidak beracun karena enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi metabolit yang tidak beracun. Universitas Diponegoro (UNDIP) menjelaskan bahwa proses ini terjadi saat bioremediasi berlangsung. Mikroorganisme mampu mengubah struktur polutan menjadi metabolit yang tidak berbahaya sehingga limbah yang semula beracun menjadi tidak beracun.

Terdapat berbagai contoh bioremediasi yang telah dilakukan. Misalnya, Pertamina melaporkan di laman resmi mereka, bioremediasi telah berhasil dilakukan dengan menggunakan bakteri untuk menguraikan minyak mentah yang tumpah di laut atau tanah. Selain itu, tanaman juga digunakan dalam bioremediasi untuk menyerap berbagai jenis logam berat dari tanah, sedangkan jamur digunakan untuk menguraikan berbagai jenis bahan kimia berbahaya di lingkungan.

 

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prosesnya

Kedubes Jepang Kunjungi Fasilitas Pengolahan Limbah Menjadi Bahan Bakar Alternatif
Tumpukan sampah melalui serangkaian proses seperti pencacahan dan pencampuran untuk mendapatkan tingkat kelembaban dan nilai kalori yang sesuai agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif di SBI Pabrik Narogong, Jawa Barat (25/2/2022). (Liputan6.com/HO/SIG)

Efektivitas bioremediasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti keanekaragaman jenis mikroorganisme yang ada, ketersediaan kontaminan yang dapat didegradasi oleh mikroba, kondisi lingkungan, serta konsentrasi dan toksisitas bahan pencemar. Universitas Maarif Hasyim Latif (UMAHA) menjelaskan bahwa faktor-faktor ini memainkan peran penting dalam menentukan keberhasilan proses bioremediasi.

1. Keanekaragaman jenis mikroorganisme:

Semakin banyak jenis mikroorganisme yang tersedia, semakin besar kemungkinan ada spesies mikroba yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi atau menghilangkan jenis kontaminan tertentu. Keanekaragaman ini penting karena setiap jenis mikroorganisme memiliki kemampuan dan spesialisasi yang berbeda dalam mengatasi polutan tertentu. Adanya keanekaragaman ini, proses bioremediasi dapat mengoptimalkan potensi mikroorganisme untuk membersihkan lingkungan.

2. Ketersediaan kontaminan yang dapat didegradasi oleh mikroba:

Untuk berhasil dalam bioremediasi, kontaminan yang ada di lingkungan harus dapat didegradasi atau dihilangkan oleh mikroorganisme yang digunakan. Jika kontaminan tersebut tidak cocok untuk diolah oleh mikroba yang ada, maka proses bioremediasi tidak akan efektif. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa mikroorganisme yang digunakan memiliki kemampuan untuk mengatasi jenis kontaminan yang ada di lingkungan yang akan diatasi.

3. Kondisi lingkungan:

Kondisi lingkungan, seperti suhu, pH, kelembaban, dan oksigen, mempengaruhi kemampuan mikroorganisme dalam melakukan proses bioremediasi. Setiap jenis mikroba memiliki preferensi kondisi lingkungan tertentu di mana mereka dapat berkembang dan aktif. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan dan mengoptimalkan kondisi lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan mikroorganisme yang digunakan. Jika kondisi lingkungan tidak mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba, efektivitas bioremediasi dapat terganggu.

4. Konsentrasi dan toksisitas bahan pencemar:

Konsentrasi polutan atau kontaminan dalam lingkungan juga mempengaruhi efektivitas bioremediasi. Jika konsentrasi bahan pencemar terlalu tinggi, mikroorganisme mungkin tidak mampu mengatasinya secara efisien atau bahkan dapat mengalami kerusakan akibat toksisitas. Selain itu, tingkat toksisitas bahan pencemar juga dapat memengaruhi pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan konsentrasi dan toksisitas bahan pencemar saat merancang dan menerapkan proses bioremediasi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya