Tujuan Allah Memberikan Akal dan Nafsu kepada Manusia, Pahami Konsep Akal dan Nafsu

Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia sebagai dua nikmat yang sangat penting dalam pengembangan dan ujian manusia di dunia.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 17 Sep 2023, 14:35 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2023, 14:35 WIB
Ilustrasi overthinking, berpikir, merenung
Ilustrasi overthinking, berpikir, merenung. (Photo by Laura Chouette on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya adalah dibekali akal dan nafsu. Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia karena tujuan tertentu, seperti agar manusia dapat mengembangkan potensinya sebagai khalifah di muka bumi.

Dengan menggunakan akal yang bijaksana, manusia dapat mencapai kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pengetahuan, moralitas, dan karakter. Nafsu, jika diarahkan dengan baik, dapat menjadi dorongan untuk mencapai tujuan yang baik dalam hidup.

Namun secara umum, Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia, agar manusia dapat mengenali pencipta-Nya. Dalam Islam, penggunaan yang bijaksana dari kedua anugerah ini sangat ditekankan, dan manusia diharapkan untuk menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai agama.

Untuk memahami apa saja tujuan dari Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia, penting bagi kita untuk memahami apa itu akal dan nafsu. Simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Minggu (17/9/2023).

Apa yang dimaksud dengan akal dalam perspektif Islam?

Untuk memahami tujuan Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu tentang konsep akal dalam pandangan Islam. Konsep akal (al-'aql) dalam pandangan Islam adalah salah satu anugerah Allah SWT kepada manusia yang memungkinkan mereka untuk berpikir, memahami, dan menggunakan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.

Secara etimologi, kata "akal" berasal dari bahasa Arab, yaitu "al-'aql," yang memiliki akar kata "aqala" yang berarti "memikirkan hakikat di balik suatu kejadian" atau "mengikat." Dalam tradisi Arab Jahiliyyah, kata 'aqala juga digunakan untuk merujuk pada "pengikat unta" (‘aql al-ibil) atau kemuliaan (al-karam).

Oleh karena itu, dalam Islam, akal tidak hanya dilihat sebagai kemampuan berpikir rasional, tetapi juga sebagai kemampuan moral dan spiritual yang dapat mengikat manusia kepada nilai-nilai agama. Dalam Islam, akal memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Al-Qur'an seringkali mengajak manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya. Terdapat istilah-istilah seperti "afala ta'qilun" yang diulang beberapa kali dalam Al-Qur'an, yang berarti "Mengapa kamu tidak berpikir?" atau "Tidakkah kamu memahami?" Ini adalah ajakan untuk menggunakan akal dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya.

Dalam Islam, akal dan wahyu (penerimaan ilahi) tidak saling bertentangan. Sebaliknya, akal digunakan sebagai alat untuk memahami dan menjalankan wahyu Allah. Akal membantu manusia dalam memahami dan menerapkan ajaran agama dengan benar.

Dari serangkaian penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam pandangan Islam, akal bukan hanya sekadar kemampuan berpikir rasional, tetapi juga mencakup dimensi moral dan spiritual.

Manusia diharapkan untuk menggunakan akal mereka dengan bijaksana, mengikuti ajaran agama, dan memahami makna kehidupan serta tujuan spiritual mereka. Penggunaan akal yang benar dalam Islam dianggap sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami kehendak-Nya.

Konsep Nafsu dalam Islam

Ilustrasi sedang marah (pixabay)
Ilustrasi sedang marah (pixabay)

Setelah memahami konsep akal, untuk memahami tujuan Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia, hal selanjutnya yang perlu dipahami adalah konsep nafsu dalam pandangan Islam. Konsep nafsu dalam Islam adalah salah satu aspek penting dalam pemahaman tentang manusia dan perilaku mereka. Nafsu (jiwa) dalam Islam bukanlah sesuatu yang hanya negatif, tetapi dapat dibagi menjadi beberapa jenis, termasuk nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu mutmainnah, masing-masing dengan karakteristik dan pengaruhnya sendiri.

1. Nafsu Amarah

Nafsu amarah adalah sisi dalam diri manusia yang cenderung kepada hal-hal negatif dan kecenderungan destruktif. Nafsu ini mendorong manusia untuk berperilaku buruk seperti marah, iri, dengki, tamak, serakah, dan sifat-sifat negatif lainnya.

Nafsu amarah disebutkan dalam Al-Qur'an dalam QS. Yusuf [12:53], di mana Allah menggambarkan nafsu amarah sebagai sesuatu yang cenderung kepada kejahatan, kecuali jika diberi rahmat oleh Allah. Nafsu amarah, jika dominan, dapat merusak hubungan dengan orang lain, merusak diri sendiri, dan merusak lingkungan sosial. Ini adalah nafsu yang perlu dikendalikan dan diredam agar manusia dapat menjalani kehidupan yang lebih baik.

2. Nafsu Lawwamah

Nafsu lawwamah adalah sisi dalam diri manusia yang cenderung merusak diri sendiri. Ini mencakup penyesalan, minder, kekecewaan, putus asa, kecemasan, dan sifat-sifat negatif lainnya yang menyebabkan seseorang merasa terbelenggu.

Nafsu lawwamah disebutkan dalam Al-Qur'an dalam QS. Al-Qiyamah [75:2], di mana Allah bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali dirinya sendiri. Nafsu lawamah dapat menghambat pertumbuhan pribadi dan perkembangan spiritual. Orang yang terlalu banyak merenungkan kesalahan masa lalu atau merasa minder akan kesulitan untuk berkembang.

3. Nafsu Mutmainnah

Nafsu mutmainnah adalah sisi dalam diri manusia yang telah mencapai ketenangan dan kepuasan batin. Mereka telah menerima segala sesuatu yang Allah berikan dengan ridha dan syukur.

Nafsu mutmainnah disebutkan dalam Al-Qur'an dalam QS. Al-Fajr [89:27-30], di mana Allah menyebutkan jiwa yang tenang yang akan masuk surga dengan hati yang ridha. Nafsu mutmainnah adalah tujuan spiritual bagi setiap Muslim. Mereka telah mencapai kesadaran tentang karunia Allah, dan hidup dalam kesyukuran. Mereka juga lebih mampu bersabar dalam menghadapi cobaan dan ujian hidup.

Dalam Islam, nafsu amarah dan nafsu lawwamah adalah sisi-sisi negatif yang harus diperangi dan diredam melalui pengendalian diri, ibadah, dan pemahaman agama. Sementara nafsu mutmainnah adalah tujuan yang harus dicapai, yang menggambarkan kedamaian batin, rasa syukur, dan hubungan yang baik dengan Allah SWT.

Pemahaman tentang nafsu dalam Islam mengajarkan manusia untuk mengendalikan nafsu negatif mereka, merenungkan perbuatan dan kesalahan mereka, dan mencari ketenangan dan kepuasan dalam ketaatan kepada Allah. Hal ini sejalan dengan konsep kesadaran diri dan pertumbuhan spiritual dalam Islam.

Mengapa Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia?

Ilustrasi berpikir, merenung, ragu, bimbang
Ilustrasi berpikir, merenung, ragu, bimbang. (Photo by Anastasiya Vragova/Pexels)

Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia sebagai dua nikmat yang sangat penting. Kedua nikmat ini memiliki peran yang sangat signifikan dalam pengembangan dan ujian manusia di dunia.

Allah memberikan manusia akal agar mereka memiliki kemampuan untuk berpikir, merenung, dan memahami dunia serta segala yang ada di dalamnya. Akal adalah sumber pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk memahami alam semesta, memecahkan masalah, dan mencapai pemahaman tentang kehendak Allah. Dengan akal, manusia dapat memahami ajaran-ajaran agama, hukum-hukum moral, dan prinsip-prinsip etika yang diberikan oleh Allah melalui wahyu-Nya.

Sedangkan nafsu adalah dorongan internal yang mendorong manusia untuk mencari kepuasan dan kenikmatan dalam kehidupan. Allah menciptakan nafsu sebagai bagian alami dari manusia, tetapi juga sebagai ujian bagi mereka. Nafsu dapat memicu tindakan-tindakan yang baik atau buruk, tergantung pada bagaimana manusia mengendalikannya. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab moral untuk mengendalikan nafsu mereka dan mengarahkannya kepada hal-hal yang halal dan baik.

Dari serangkaian penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa ada beberapa tujuan dari Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia. Adapun tujuan manusia dibekali akal dan nafsu antara lain adalah sebagai berikut:

1. Agar Manusia dapat Menjalankan Peran Khalifah di Muka Bumi

Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia agar mereka dapat menjalankan peran sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi dengan baik. Dengan akal, manusia dapat mengelola sumber daya alam dan membangun peradaban. Sementara dengan nafsu, manusia diuji dalam menjalankan tugas-tugas moral dan etis sebagai khalifah, seperti menjaga lingkungan, berbuat baik kepada sesama, dan beribadah kepada Allah.

2. Sarana untuk Menguji Manusia

Allah memberikan akal dan nafsu kepada manusia sebagai sarana untuk menguji manusia. Mereka diberikan kebebasan berpikir dan berkehendak, sehingga dapat memilih antara kebaikan dan kejahatan. Penggunaan akal dan pengendalian nafsu merupakan ujian bagi manusia. Mereka harus memilih untuk taat kepada Allah dan menjauhi dosa. Manusia harus mengarahkan akal dan nafsu mereka pada Allah, memutuskan pilihan-pilihan hidup dengan berlandaskan pada agama, dan berusaha meraih ridho-Nya.

Dengan demikian, akal dan nafsu adalah nikmat dan ujian dari Allah kepada manusia. Manusia harus menggunakan akal mereka untuk memahami kehendak Allah dan mengendalikan nafsu mereka agar selalu berada dalam ketaatan kepada-Nya. Dengan cara ini, manusia dapat mencapai kemuliaan di sisi Allah dan menjalankan peran sebagai khalifah dengan baik di dunia ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya