Pemilu Pertama Indonesia Dilaksanakan pada Masa Kabinet Burhanudin, Ini Sejarahnya

Pemilu pertama indonesia dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin pada era pemerintahan Presiden Sukarno.

oleh Fitriyani Puspa Samodra diperbarui 02 Jan 2024, 09:30 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2024, 09:30 WIB
bung karno di pemilu 1955
Pemilu pertama indonesia dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin pada era pemerintahan Presiden Sukarno.

Liputan6.com, Jakarta Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi tonggak sejarah penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Pemilu pertama indonesia dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin pada tanggal 29 September 1955. Rakyat Indonesia pertama kali berpartisipasi dalam pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilu kedua diadakan pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante. 

Pemilu pertama indonesia dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin pada era pemerintahan Presiden Sukarno. Kala itu, Indonesia masih tergolong sebagai negara baru yang berjuang untuk meraih stabilitas politik pasca-kemerdekaan. Pemilu menjadi sarana bagi rakyat Indonesia untuk secara langsung ikut serta dalam proses pembentukan dan penguatan lembaga-lembaga negara.

Sistem pemilu pertama di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953. Pasal 15 ayat (1) undang-undang tersebut membagi Indonesia menjadi 16 daerah pemilihan, mencakup wilayah-wilayah seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Barat. Berikut Pemilu pertama indonesia dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (2/1/2024).

Direncanakan oleh Tiga Kabinet

Peserta Pemilu 1955
Rakyat Indonesia pertama kali berpartisipasi dalam pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilu kedua diadakan pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante.

Dilansir dari esi.kemdikbud.go.id, pada tahun 1955, Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah demokrasinya dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) yang direncanakan oleh tiga kabinet, yaitu kabinet Wilopo, Ali Sastroamidjojo, dan Burhanuddin Harahap. Proses pemilu ini menjadi landasan kuat bagi perkembangan sistem demokrasi di tanah air, menggambarkan keterlibatan berbagai pihak dalam membentuk nasib politik bangsa.

Kampanye pemilu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo. Pada tahap pertama, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953 disahkan pada 4 April 1953, memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan Pemilu 1955. Undang-Undang ini menetapkan prinsip pemilihan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. 

Peraturan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 27 tahun 1948 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1949, yang menganut sistem pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR, dinyatakan tidak berlaku lagi. Pergantian sistem pemilihan ini mencerminkan semangat untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam menentukan perwakilan mereka di lembaga-lembaga negara.

Tahap kedua dari kampanye dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia pada 31 Mei 1954, yang ditandai dengan disahkannya tanda gambar partai peserta pemilu. Peristiwa ini menandakan dimulainya proses pendaftaran partai politik dan membuktikan bahwa pemilu tidak hanya menjadi panggung untuk menentukan pemimpin, tetapi juga sebagai wahana untuk menggalang dukungan dan aspirasi rakyat.

Pemilu 1955 juga memberikan kesempatan bagi partai politik untuk menunjukkan identitas dan tujuan mereka melalui kampanye yang dinamis. Proses kampanye yang dilakukan dalam dua tahap menciptakan panggung perdebatan publik yang beragam, memungkinkan rakyat Indonesia untuk lebih memahami visi dan misi masing-masing partai.

Penyelenggaraan dan Tantangan Pemilu 1955

[Cek Fakta] Pemilu 1955
[Cek Fakta] Pemilu 1955

Pemilu 1955 di Indonesia menjadi titik balik penting dalam sejarah demokrasi, yang diadakan pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Meskipun berhasil diselenggarakan dengan sukses, proses pemilu ini tidak luput dari sejumlah tantangan yang perlu dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat pada waktu itu.

Salah satu hambatan utama yang dihadapi adalah tingkat buta huruf yang mencapai 86% pada tahun 1955. Kondisi ini menjadi tantangan serius karena pemilih harus memberikan suara dengan mengidentifikasi simbol atau gambar yang tertera pada kertas suara. Meskipun masalah buta huruf tidak dapat dianggap enteng, rakyat Indonesia menunjukkan keberanian mereka untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi dengan cara yang kreatif dan bersahaja.

Selain itu, kekurangan tenaga terampil untuk menjadi panitia pemungutan suara menjadi masalah nyata yang dihadapi. Pemilu memerlukan sumber daya manusia yang terampil dan terlatih, dan kekurangan ini tentu memberikan tekanan tambahan pada penyelenggaraan pemilu.

Situasi geopolitik yang dipengaruhi oleh Perang Dingin juga memberikan dampak signifikan pada Pemilu 1955. Amerika, yang pada saat itu aktif melawan komunisme, turut ambil bagian dalam proses pemilu dan menginginkan agar Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak memenangkan pemilu. Hal ini mencerminkan adanya pengaruh global dalam dinamika politik Indonesia pada masa itu.

Meskipun dihadapkan pada tantangan besar, Pemilu 1955 tetap berlangsung pada tanggal 29 September 1955 untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilih berjumlah 82 juta, namun baru sekitar 60% yang terdaftar. Pemilihan anggota Dewan Konstituante dilakukan pada 15 Desember 1955, dengan total kursi yang diperebutkan mencapai 520, tetapi di Irian Barat tidak ada pemilihan sehingga kursi yang dipilih hanya 514.

Pemilu ini berhasil diselenggarakan dengan baik, meskipun kondisi dan keterbatasan panitia menyulitkan persiapan hingga tahap penghitungan suara. Presiden Sukarno menunjukkan komitmen tinggi untuk memastikan pemilu sesuai dengan tuntutan revolusi Indonesia. Setelah pemilu, Sukarno juga mengajak para pemimpin politik untuk bersatu demi mewujudkan visi bersama dalam membangun Indonesia.

Dengan partisipasi masyarakat yang tinggi, Pemilu 1955 menegaskan bahwa demokrasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas nasional Indonesia. Hasil pemilu memperlihatkan polarisasi kekuatan politik menjadi empat besar, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Meskipun kesulitan terjadi selama persiapan dan pelaksanaan pemilu, pemilihan umum pertama di Indonesia ini menjadi tonggak bersejarah yang menandai perjalanan demokrasi bangsa ini menuju kedewasaan politik.

Hasil Pemilu Pertama Indonesia

Ilustrasi Pemilu Pilkada Pilpres (Freepik)
Ilustrasi Pemilu/Pilkada/Pilpres (Freepik)

Pemilu 1955 di Indonesia menyajikan gambaran yang mencengangkan tentang partisipasi rakyat dalam proses demokrasi. Dengan jumlah pemilih mencapai 37.785.299, hasil pemilu ini menunjukkan variasi dukungan yang signifikan bagi berbagai partai politik yang berkompetisi.

Partai Nasional Indonesia (PNI) muncul sebagai pemenang terbesar dengan meraih 22,32% suara, setara dengan 57 kursi. Keberhasilan ini menandai posisi sentral PNI dalam politik Indonesia pada masa itu di bawah kepemimpinan Soekarno. Masyumi, meskipun memenangkan posisi kedua, turun 114.267 suara dari pemilu sebelumnya, mencapai 20,92% suara dengan 57 kursi. Nahdlatul Ulama (NU) juga menunjukkan kekuatan politik yang signifikan dengan 18,41% suara dan 45 kursi.

Partai Komunis Indonesia (PKI), meskipun tidak mencapai posisi tertinggi, tetap menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan dengan 16,36% suara dan 39 kursi. Hasil ini menunjukkan bahwa PKI memiliki dukungan masyarakat yang kuat pada masa itu, meskipun ada tekanan eksternal dari pihak Amerika yang ingin mencegah kemenangan PKI.

Beberapa partai lainnya, seperti Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik, juga berhasil meraih suara dan kursi, menciptakan keragaman politik yang mencerminkan lapisan masyarakat yang beragam.

Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955 menunjukkan dinamika politik yang serupa. PNI tetap menjadi pemenang utama dengan 23,97% suara dan 119 kursi, sementara Masyumi tetap di posisi kedua dengan 20,59% suara dan 112 kursi. PKI terus menunjukkan kekuatannya dengan meraih 16,47% suara dan 80 kursi.

Dengan total kursi yang diperebutkan mencapai 514, pemilihan ini memberikan gambaran kontribusi berbagai partai politik dalam membentuk Dewan Konstituante. Terlihat bahwa partai-partai seperti PSII, Parkindo, dan Partai Katolik tetap menjadi pemain yang signifikan dalam panggung politik.

Dalam kerangka demokrasi, hasil pemilu ini mencerminkan keberagaman pandangan politik di kalangan masyarakat Indonesia pada masa itu. Meskipun ada beberapa kendala, seperti tingkat buta huruf yang tinggi, kesulitan dalam mendapatkan tenaga terampil untuk menjadi panitia pemungutan suara, dan pengaruh geopolitik Perang Dingin, pemilu ini berhasil diselenggarakan dengan partisipasi yang cukup tinggi, yaitu lebih dari 39 juta orang.

Sistem Pemilihan Umum 1955 Tidak Dilanjutkan pada Pemilu Selanjutnya

Ilustrasi alokasi kursi daerah pemilihan dalam pemilu 2024 (Istimewa)
Ilustrasi pemilu (Istimewa)

Pemilu 1955 di Indonesia, menjadi babak penting dalam perjalanan demokrasi nasional, namun sayangnya, kisah suksesnya tak mampu berlanjut ke pemilu berikutnya. Periode demokrasi terpimpin, yang diawali dengan pelantikan Panitia Pemilihan Indonesia II pada tahun 1958 oleh Pejabat Presiden Sukarno, memunculkan titik balik yang merubah arah politik Indonesia.

Segalanya berubah ketika pada tanggal 5 Juli 1959, terbitlah Dekrit Presiden yang memutuskan pembubaran Konstituante dan pengembalian ke UUD 1945. Keputusan ini diiringi oleh keinginan Presiden Soekarno untuk menguburkan partai-partai politik. Dekrit tersebut menjadi landasan bagi perubahan fundamental dalam sistem politik Indonesia, yang beralih dari demokrasi berdasarkan undang-undang menjadi demokrasi berdasarkan dekrit.

Perubahan ini semakin terasa otoriter pada tanggal 4 Juni 1960, ketika Presiden Soekarno secara sepihak membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Keputusan ini diambil setelah DPR menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Presiden Soekarno menggunakan senjata Dekrit 5 Juli 1959 untuk membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS), tanpa melalui proses pemilihan. Semua anggota kedua lembaga tersebut diangkat langsung oleh presiden.

Meskipun langkah ini tidak melanggar UUD 1945 yang tidak memberikan petunjuk mengenai cara memilih anggota DPR dan MPR, tetapi konsekuensinya adalah terkooptasinya kedua lembaga tersebut di bawah presiden. MPR, yang seharusnya menjadi pemegang kekuasaan tertinggi, malah terpinggirkan dan berada di bawah kendali presiden. Demokrasi yang seharusnya bersifat periodik melalui pemilihan, berubah menjadi sebuah kekuasaan otoriter yang dijalankan melalui dekrit.

Hingga masa pemerintahan Presiden Soekarno berakhir pada Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, yang mengakibatkan pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup dibatalkan, rezim Demokrasi Terpimpin tak pernah menggelar pemilu. Periode tersebut menciptakan paradoks di mana kekuasaan otoriter mengesampingkan kehendak rakyat yang seharusnya diwujudkan melalui pemilihan demokratis. Demokrasi Terpimpin menjadi babak yang terputus dari perjalanan demokrasi Indonesia, meninggalkan tanda tanya mengenai masa depan demokrasi di negeri ini.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya