Liputan6.com, Jakarta Pemilihan umum (pemilu) merupakan momen penting dalam demokrasi suatu negara, namun tidak jarang sengketa atau perselisihan muncul dalam pelaksanaannya. Terdapat dua jenis sengketa yang diakui dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu sengketa proses dan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Sengketa proses dapat timbul antara peserta pemilu atau peserta dengan penyelenggara pemilu, seiring dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Baca Juga
Advertisement
Pentingnya penyelesaian sengketa pemilu menjadi sorotan dalam konteks keberlanjutan demokrasi. Dalam menanggapi hal ini, Undang-Undang Pemilu mengamanatkan bahwa sengketa pemilu diselesaikan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dan independensi. Jadi sengketa pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi bertugas menyelesaikan sengketa proses dan PHPU yang terjadi dalam pemilihan umum.
Proses sengketa pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada prinsip transparansi, keadilan, dan hukum. Lembaga ini memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas politik dan meyakinkan masyarakat akan keabsahan hasil pemilu. Oleh karena itu, sengketa pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi dengan tujuan mewujudkan proses pemilihan umum yang demokratis, adil, dan akuntabel. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam membangun negara demokratis dapat tetap terjaga, seiring dengan penegakan aturan hukum yang berkeadilan.
Untuk informasi lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber informasi seputar penyelesaian sengketa pemilu pada Kamis (22/2).
Sengketa Pemilu
Sengketa atau perselisihan dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) hingga pemilihan presiden (pilpres) merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dalam konteks demokrasi. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat pembagian sengketa menjadi dua jenis utama, yaitu sengketa proses dan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).
Pasal 466 UU Pemilu secara tegas menyebutkan definisi sengketa proses sebagai konflik yang dapat muncul antara peserta pemilu atau peserta dengan penyelenggara pemilu. Sengketa ini bersumber dari keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota, sehingga dapat melibatkan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses pemilihan.
Dalam rangka menegakkan ketertiban dan keadilan, pasal 473 UU Pemilu menjelaskan tentang sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Perselisihan ini terjadi antara KPU dan Peserta Pemilu, terutama berkaitan dengan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Lingkup sengketa PHPU mencakup penetapan perolehan suara untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara nasional.
Sengketa juga mencakup penetapan perolehan suara untuk pemilihan presiden dan wakil presiden secara nasional. Perselisihan ini melibatkan penentuan hasil pemilu yang dapat berdampak signifikan terhadap perolehan kursi peserta pemilu dan hasil akhir pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam kerangka penyelesaian sengketa pemilu, Undang-Undang memberikan peran sentral kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi diamanatkan untuk menyelesaikan sengketa proses dan PHPU dengan memastikan kewenangan dan independensinya.
Penegasan terhadap peran Mahkamah Konstitusi menjadi kunci dalam menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses demokrasi, sekaligus menegaskan bahwa sengketa pemilu diselesaikan oleh lembaga yang memiliki kapasitas dan wibawa untuk menjamin hasil pemilu yang sah dan akuntabel.
Advertisement
Penanganan Sengketa Proses Pemilu
Penanganan sengketa proses pemilu merupakan langkah krusial dalam memastikan integritas dan keadilan dalam pelaksanaan pemilihan umum. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memegang peran sentral dalam menangani sengketa ini. Kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.
Proses penanganan sengketa proses pemilu oleh Bawaslu terdiri dari beberapa tahapan yang cermat. Pertama, Bawaslu menerima permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu dari pihak yang bersengketa. Selanjutnya, Bawaslu melakukan verifikasi secara formal dan material terhadap permohonan tersebut. Tahap berikutnya melibatkan mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa, sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan damai.
Selanjutnya, Bawaslu melanjutkan proses adjudikasi sengketa proses pemilu, di mana lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa berdasarkan fakta dan hukum yang ada. Keputusan yang dihasilkan oleh Bawaslu dalam penyelesaian sengketa proses pemilu bersifat final dan mengikat, memberikan kepastian hukum dalam konteks pemilu. Namun, ada pengecualian untuk tiga hal tertentu, yaitu verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta penetapan pasangan calon.
Jika ada pihak yang tidak puas atau belum menerima keputusan Bawaslu, mereka memiliki opsi untuk mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN berperan sebagai lembaga peradilan yang memutuskan sengketa yang melibatkan tata usaha negara, termasuk sengketa proses pemilu. Dengan demikian, mekanisme penyelesaian sengketa pemilu ini dirancang untuk memberikan jaminan bahwa proses demokrasi berjalan dengan transparan, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
Penanganan Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
Penanganan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) merupakan aspek krusial dalam menjaga integritas dan keadilan hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, menjadi lembaga yang diberi wewenang penuh untuk menangani sengketa PHPU.
Dalam proses penanganan sengketa PHPU, Mahkamah Konstitusi memiliki peran yang sangat signifikan. Keputusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan, tanpa adanya upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang terlibat. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun. Hal ini mencerminkan tingginya kepercayaan pada lembaga peradilan tertinggi dalam menyelesaikan sengketa PHPU dengan transparansi, integritas, dan kepastian hukum.
Keputusan yang bersifat final dan mengikat ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap hasil pemilu yang dipertanyakan. Sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi juga menjadi landasan kuat untuk menjaga stabilitas politik dan sosial pasca-pemilu, sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa proses demokrasi telah dijalankan dengan adil dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian, peran Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa PHPU tidak hanya sebagai penyelesaian konflik, tetapi juga sebagai penjaga kestabilan demokrasi dan keadilan dalam konteks pemilihan umum.
Advertisement