Liputan6.com, Klaten Kain-kain batik tergantung rapi di ruang tamu rumah Dalmini (52). Ragam corak batik dengan warna-warna yang lembut, menyuguhkan panorama yang memikat mata.
Baca Juga
Advertisement
Di salah satu sudut ruangan, ada kain batik tulis dengan motif parang yang berani, dengan warna biru indigo yang dalam, dihasilkan dari fermentasi daun tanaman indigofera. Pola parang ini membentuk alur zig-zag yang dinamis, mencerminkan semangat perjuangan dan keberanian.
Ada juga kain batik dengan motif kawung, salah satu motif tradisional paling terkenal. Warna coklat dan krem-nya bersumber dari biji dan kulit pohon tertentu, menciptakan nuansa yang hangat dan alami. Motif kawung ini memberikan kesan ketenangan dan harmoni, dengan pola yang simetris dan tertata.
Di sisi lainnya, ada kain dengan motif flora dan fauna yang kompleks, dengan warna-warna hijau dan kuning. Motif-motif ini menunjukkan hubungan yang erat antara batik dan alam, dengan gambar dedaunan, burung, dan bunga yang menari di atas kain.
Setiap kain adalah hasil karya tangan perempuan-perempuan di Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Batik ini dibuat menggunakan teknik tradisional dan pewarna alam yang diambil dari tumbuh-tumbuhan.
Dalmini merupakan salah satu perajin batik tulis di Desa Kebon, Kecamatan Bayat. Keterampilan membatik menjadi turunan tiap generasi perempuan di keluarganya.
“Sejarahnya memang sudah dari dari zaman dulu sekali (perempuan di Bayat) bisa membatik. Saya dulu umur 7 tahun sudah membatik,” ujar Dalmini saat ditemui di rumah sekaligus butik sederhananya, Rabu (17/4/2024).
Tradisi turun temurun perempuan Bayat
Perempuan-perempuan di Kecamatan Bayat memang sudah lama dikenal sebagai perajin batik tulis. Menurut Aprilia Prastika, dalam artikel jurnal berjudul Kajian Batik Tradisi Bayat Klaten dengan Pendekatan Estetika di Jurnal Texture:Art and Culture Journal ISI Surakarta menyebutkan, Bayat sudah lama memberi kontribusi dalam penciptaan karya batik di keraton Surakarta.
Saat itu banyak warga Bayat khususnya perempuan, menjadi buruh batik di Keraton Surakarta. Sebagian pekerjaan dilakukan di rumah masing-masing. Dari sejumlah kain batik yang dibawa ke rumah, beberapa dikerjakan oleh tetangga setempat. Proses pembuatan batik di Bayat kemudian menjadi tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Tradisi turun temurun inilah yang akhirnya membuat penduduk Kecamatan Bayat, khususnya perempuan menekuni batik tulis. Hampir dua pertiga dari perempuan Bayat menjadi buruh hingga juragan batik.
Pasca gempa 2006, kegiatan produksi batik di Bayat sempat terhenti. Saat itu, sebagian besar perempuan di Desa Kebon, Kecamatan Bayat merupakan buruh batik untuk para pengepul dari Jogja dan Solo. Setelah gempa, permintaan sempat macet.
“Sebelum tahun 2006 warga desa Kebon ini kerjaannya memang sudah membatik. Tapi membatiknya itu mengambil dari pengepul dari Jogja, Solo, dan sekitarnya. Kita hanya sebagai buruh batik yang hanya membatik kain putih, dicanting, selesai, dikembangkan ke pengepul,” cerita Dalmini.
Pada 2009, International Organization for Migration (IOM) didukung Java Reconstruction Fund (JRF) memberi pendampingan bagi para perempuan di Desa Kebon untuk bisa mandiri memproduksi batik tulis. Melalui kedua LSM ini, 169 perempuan dilatih memanfaatkan bahan alami sebagai pewarna, teknik produksi, hingga manajemen keuangan.
Dari pelatihan tersebut, perempuan di Desa Kebon bisa meningkatkan nilai dari tradisi turun temurunnya. Mereka tak lagi menjadi buruh, melainkan bisa memproduksi dan menjual batik tulisnya sendiri.
“Dulu sebelum 2006, satu potong kain kita hanya dikasih nilai untuk ngongkos nyantingnya rp10.000. Padahal mereka (pengepul) bisa menjual sampai rp500 ribu,” ujar Dalmini.
Dalmini kemudian membuka bisnis berskala mikro yang ia beri nama Batik Kebon Indah. Usaha inilah yang kemudian menaungi para perempuan-perempuan perajin batik tulis di Desa Kebon. Jika dahulu hanya mendapat rp10.000 dari hasil buruh batik, kini para perempuan tersebut bisa menjual batiknya dalam harga kisaran rp200 ribu sampai rp750 ribu.
Kini ada sekitar 180 perempuan yang menjadi anggota di Batik Kebon Indah yang akhirnya membentuk klaster perajin batik tulis di Bayat. 75 di antaranya masih produktif membatik hingga saat ini.
Advertisement
Gunakan warna alam ramah lingkungan
Salah satu keistimewaan batik di Desa Kebon adalah warnanya yang menggunakan pewarna alam. Bahan yang digunakan berasal dari alam seperti kulit pohon, akar pohon, buah, dan daun. Tumbuhan yang digunakan biasanya seperti tingi, jambal, mahoni, indigo, jolawe, teger, daun jati, hingga daun mangga.
Dipadukan dengan bahan pengunci, bahan-bahan alami ini bisa memberi warna yang elegan. Daun indigo misalnya, jika dikunci dengan tawas akan menghasilkan warna biru muda yang lembut. Kulit mahoni, jika dikunci dengan kapur akan memunculkan warna kuning kecokelatan.
Butuh waktu sampai satu bulan untuk memproduksi selembar kain batik tulis dengan pewarna alam. Ini karena proses pewarnaan bisa melalui 25 kali celupan.
Penggunaan warna alam tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Dalmini, bahan-bahan dari alam cenderung ramah lingkungan dan bisa ikut melestarikannya.
“Alasan kami pakai warna alam, satu, ramah lingkungan. Kedua, secara tidak langsung kita juga jadi pelestari lingkungan,” tambahnya.
Dalmini menjelaskan, limbah dari pewarna alam, tidak akan merusak lingkungan. Sisa dedaunan dan kulit kayu misalnya, bisa digunakan sebagai pupuk. Air buangan pewarna juga tak akan merusak ekosistem air dan tanah.
Konsep ramah lingkungan dari pembuatan batik tulis ini juga menjadi gambaran betapa dekatnya perempuan dengan alam. Dari kedekatan inilah, perempuan akhirnya punya peran penting dalam melestarikan lingkungan.
Peran membatik sebagai upaya pelestarian lingkungan oleh perempuan ditemukan dalam penelitian Badra Sugara di Jurnal Memetika : Jurnal Kajian Budaya 2023 yang berjudul Gerakan Ekofeminisme Batik Tulis Sebagai Bentuk Upaya Pelestarian Seni Tradisi dan Lingkungan di Kota Surakarta. Dalam penelitian ini, Badra menyebutkan bahwa penggunaan pewarna alam dalam proses pewarnaan batik merupakan salah satu bentuk gerakan ekofeminisme.
Gerakan ekofeminisime batik tulis juga merupakan bentuk dari etika lingkungan yang di dalamnya terdapat hubungan timbal balik dengan alam. Batik tulis alami menggunakan bahan pewarna dari alam. Sebagai bentuk timbal baliknya, pembatik juga harus memperhatikan alam dengan menjaga lingkungan dari tercemarnya bahan kimia.
Inspirasi motif dari alam
Tak hanya penggunaan pewarna alam, kedekatan perempuan Desa Kebon dengan alam juga tercermin dari motif dan corak yang digambar. Sejak bergabung di Batik Kebon Indah, para perajin batik tulis diajak untuk berkreasi menciptakan motif dan corak tersendiri. Salah satu inspirasinya berasal dari alam sekitar.
“Ibu-ibu itu menggambar sesukanya saja. Kadang kita dapat daun yang ada di kebun, kita petik, terus kita buat batik. Ada yang lihat ke sawah, oh, ada burung, kita pola untuk buat batik. Jadi kita menggambar itu tidak mikir panjang. Hanya apa yang kita lihat, itu yang kita batik,” ujar Dalmini.
Keragaman corak dan motif batik inilah yang membuat Batik Kebon Indah jadi lebih eksklusif. Motif-motif yang biasa ditemukan bisa meliputi dedaunan, bunga, pohon, burung, dan makhluk hidup lainnya.
Meski terus berinovasi dan berkreasi, para perajin batik di Desa Kebon tak meninggalkan motif-motif batik klasik yang sudah dibuat secara turun temurun. Terdapat motif klasik seperti Truntum Gurdo, Kawung, Parang, Wahyu Tumurun, Sido Mukti dan Babon Angrem. Motif khas Klaten, Sindu Melati juga tersedia di Batik Kebon Indah. Motif klasik tersebut juga menjadi salah satu batik yang paling laris dicari pelanggan.
Advertisement
Dorong perempuan bisa berdiri sendiri
Saat mendirikan Batik Kebon Indah, Dalmini juga punya misi untuk bisa memberdayakan perempuan di desanya. Dengan memproduksi batik, perempuan di desanya bisa berdaya dari rumah.
“Adanya kelompok batik ini juga mendorong perempuan untuk jadi mandiri. Tidak manja sama suaminya. Jadi selain mengurusi keluarga bisa, mendukung perekonomian juga,” imbuh Dalmini.
Kini sebagian besar kegiatan perempuan di Desa Kebon adalah membatik. Tak sedikit pula yang menyambi menjadi petani.
Dalam sebulan, omzet Batik Kebon Indah bisa mencapai rp35 juta. Keuntungan ini didapat dari penjualan kain batik dan sejumlah turunannya seperti topi, dompet, dan aksesori lainnya.
Hingga saat ini, penjualan batik sudah menjangkau berbagai kota besar di Indonesia seperti Solo, Yogyakarta, Semarang, hingga Jakarta. Tak sedikit pula turis asing yang tertarik dengan batik di Kebon Indah karena keunikan motif dan warnanya. Pada 2018, Dalmini bahkan sempat diundang untuk menjadi narasumber batik di San Francisco, Amerika Serikat.
BRI bantu perempuan perajin batik lebih produktif
Berkembangnya Batik Kebon Indah, membuat Dalmini harus menyiapkan cukup modal. Salah satu upaya yang dicoba Dalmini adalah mengajukan pinjaman ke Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada 2015, Dalmini mengajukan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) sebesar rp50 juta. Modal tersebut ia gunakan untuk mengambangkan usahanya.
Tak cuma Dalmini, sebagian besar perempuan perajin batik tulis di Desa Kebon juga mengajukan permodalan ke BRI. Pengajuan yang mudah dan bunga yang ringan bisa membantu usaha mikro menjalankan bisnisnya.
“Kalau ada pesanan banyak, kita mau memerlukan modal kan sudah ada BRI. Tinggal kita WA sama mantrinya, nanti mantrinya sudah ke sini. Terus dari anggota kelompok kalau keluhan masalah modal tinggal kita hubungan sama BRI nanti sudah teratasi,” ujar Dalmini.
Selain permodalan, pada 2022 Batik Kebon Indah juga mendapat penyaluran Corporate Social Responsibility (CSR) BRI Peduli berbentuk peralatan dan perlengkapan untuk memasarkan batik. BRI Peduli merupakan Program Tanggung Jawab Sosial yang dilaksanakan oleh BRI. Penerapan program TJSL BRI mengutamakan fokus pada bidang pendidikan, lingkungan dan pengembangan UMKM.
Perajin batik di Batik Kebon Indah juga masuk dalam program Klasterku Hidupku. Program Klasterku Hidupku adalah inisiatif pemberdayaan yang mendukung kelompok usaha melalui pengembangan organisasi dan kolaborasi untuk meningkatkan kelas usaha dan memperluas akses pasar. Dari 23.243 klaster usaha yang dibina oleh BRI, 1.897 di antaranya telah menerima pelatihan dan bantuan dalam bentuk fasilitas dan peralatan produktif.
Dari program ini, Dalmini dan kawan-kawannya sering mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas seperti digital marketing dan pengelolaan keuangan. Ini yang membuat para perempuan di Desa Kebon akhirnya bisa memasarkan produknya sendiri.
“Kita anggota sini diwajibkan untuk semuanya bisa memasarkan. Hai ini di samping ditaruh di sini, juga mereka masing-masing memasarkan,” imbuh Dalmini.
Dari upaya yang sudah dilakukan, Dalmini berharap batik bisa terus lestari di tengah perkembangan zaman. Selain itu, melalui batik, masyarakat juga bisa menjadi bagian dari pelestari alam dan budaya.
“Semoga batik itu tidak punah sampai dibsini saja. Harapannya bisa lestari dan anak-anak muda juga mencintai batik,” harapnya.
Dalmini juga berharap, penyedia layanan keuangan seperti BRI bisa memberikan pendampingan tak hanya permodalan, namun juga pemasaran yang lebih luas.
“Harapan untuk BRI, ya karena kita sudah dibantu untuk permodalan dan peralatan. Kalau bisa ya tidak hanya sampai di situ. Ada kelanjutannya untuk pemasaran keluar juga,” ujar Dalmini.
Advertisement
BRI dan pemberdayaan perempuan
Dalam memberdayakan UMKM, BRI juga melakukan pengembangan bagi kelompok perempuan. BRI melalui Program BRI Peduli memberikan bantuan yang diberikan kepada kelompok usaha perempuan.
Pengajuan permodalan dengan bunga rendah dan proses yang mudah juga mendukung pelaku usaha untuk bisa melebarkan bisnisnya. Upaya ini diberikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Direktur Bisnis Mikro BRI, Supari mengungkapkan, UMKM khususnya Segmen Mikro dan Ultra Mikro berperan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Ini sejalan dengan visi Indonesia Emas.
“Tujuan besar ini dapat direalisasikan melalui pemberdayaan dan optimalisasi potensi bonus demografi, peningkatan jumlah penduduk perempuan, peningkatan porsi pelaku usaha Mikro dan Ultra Mikro, dan dengan didukung oleh peningkatan ekonomi digital terutama di segmen pelaku usaha Mikro dan Ultra Mikro,” ujar Supari dalam keterangan resminya.
Supari menyatakan bahwa melalui program "Klasterku Hidupku" BRI berkomitmen untuk mendukung dan memberikan pendampingan kepada pengusaha perempuan. Bantuan ini tidak hanya berupa penyediaan modal usaha, tetapi juga pelatihan bisnis serta berbagai program pemberdayaan lainnya.
“Kami juga mendorong produktivitas kelompok usaha perempuan dengan memberikan bantuan peralatan usaha atau sarana prasarana pendukung. Semoga, bantuan yang diberikan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya," imbuhnya.