UU ITE Adalah Undang-undang Dunia Maya Indonesia, Simak Isinya

Bagaimana UU ITE berperan mengatur informasi dan transaksi elektronik di Indonesia?

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 06 Agu 2024, 16:00 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2024, 16:00 WIB
Ilustrasi UU ITE
Ilustrasi UU ITE. Kredit: Arek Socha via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta UU ITE adalah undang-undang yang memiliki peran kunci dalam mengatur dunia maya di Indonesia. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, UU ITE menjadi alat utama untuk memastikan bahwa segala aktivitas di internet berlangsung sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun, dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat, banyak pihak mulai mempertanyakan sejauh mana UU ITE dapat mengikuti perkembangan ini dan memberikan perlindungan yang memadai.

UU ITE adalah kerangka hukum yang mengatur berbagai aspek terkait informasi dan transaksi elektronik, termasuk cara informasi disebarkan dan transaksi dilakukan secara online. Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa ketentuan dalam UU ITE telah menjadi pusat perhatian dan kontroversi, terutama terkait dengan penegakan hukum dan hak-hak pengguna internet. Ini menciptakan perdebatan tentang bagaimana undang-undang ini seharusnya diadaptasi untuk menghadapi tantangan digital yang terus berkembang.

UU ITE adalah topik yang menarik untuk dibahas karena keterlibatannya dalam mengatur ranah internet yang sangat dinamis. Dengan berbagai sudut pandang yang ada, penting untuk memahami secara mendalam bagaimana UU ITE diterapkan dan dampaknya terhadap pengguna serta penyedia layanan internet. 

Lantas bagaimana undang-undang ini berperan dalam mengatur serta mengelola informasi dan transaksi elektronik di Indonesia? Berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber informasi lengkapnya, pada Selasa (6/8).

Apa Itu UU ITE?

Banner Infografis Jokowi Usulkan DPR Revisi UU ITE, Hapus Pasal Karet? (Liputan6.com/Trieyasni)
Banner Infografis Jokowi Usulkan DPR Revisi UU ITE, Hapus Pasal Karet? (Liputan6.com/Trieyasni)

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau yang lebih dikenal dengan singkatan UU ITE, adalah peraturan hukum yang dirancang untuk mengatur berbagai aspek terkait informasi dan transaksi yang dilakukan secara elektronik. UU ITE pertama kali diundangkan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 dan kemudian mengalami revisi dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2016. Revisi ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan dinamika di dunia maya yang terus berubah.

UU ITE lahir sebagai respons terhadap dampak globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi telekomunikasi. Buku Pengantar Teknologi Informasi menjelaskan bahwa undang-undang ini dibentuk untuk menjawab tantangan yang muncul seiring dengan kemajuan teknologi, yang memengaruhi cara masyarakat berinteraksi dan mengelola informasi serta telekomunikasi. Dengan adanya UU ITE, diharapkan dapat menciptakan aturan yang jelas dan efektif dalam mengelola informasi elektronik serta transaksi online.

Di dalam UU ITE, diatur perlindungan terhadap berbagai kegiatan yang melibatkan internet, baik dalam hal memperoleh informasi maupun melakukan transaksi. Selain itu, undang-undang ini juga menetapkan sanksi bagi mereka yang menyalahgunakan internet, termasuk melakukan kejahatan siber atau menyebarkan berita palsu. Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan penggunaan internet dapat dilakukan dengan aman dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

 

Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016, yang merupakan perubahan dari UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mengatur berbagai perbuatan yang dilarang dalam konteks penggunaan teknologi informasi dan internet. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam UU ITE dapat mengakibatkan hukuman yang berupa denda atau kurungan penjara. Berikut adalah beberapa perbuatan yang dilarang menurut UU ITE:

Menyebarkan Video Asusila

Salah satu perbuatan yang dilarang adalah mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat informasi elektronik dan dokumen elektronik yang mengandung muatan asusila tanpa hak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pelanggar yang terbukti melakukan tindakan ini dapat dikenakan pidana penjara selama maksimal 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penyebaran konten yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan.

Judi Online

Pasal 27 ayat (2) UU ITE melarang perbuatan yang terkait dengan perjudian online. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan hukuman berupa pidana penjara selama maksimal 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). UU ITE bertujuan untuk mencegah penyebaran perjudian melalui internet yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.

Pencemaran Nama Baik

Larangan lainnya yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah tindakan pencemaran nama baik. Pelaku yang terlibat dalam pencemaran nama baik dapat dikenakan pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda hingga Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Pada revisi UU No. 19 Tahun 2016, ketentuan ini juga diatur sebagai delik aduan, artinya tindakan tersebut baru dapat diproses jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

Pemerasan dan Pengancaman

Pasal 27 ayat (4) UU ITE mengatur larangan terhadap pemerasan dan pengancaman melalui media elektronik. Pelaku pemerasan dan pengancaman dapat dikenakan pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Peraturan ini ditujukan untuk melindungi individu dari tindakan yang dapat menyebabkan kerugian atau trauma.

Berita Bohong

UU ITE juga melarang penyebaran berita bohong atau informasi yang menyesatkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1). Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarluaskan berita bohong yang dapat merugikan konsumen dalam transaksi elektronik dapat dikenakan pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ini bertujuan untuk menjaga keakuratan informasi yang beredar di dunia maya.

Ujaran Kebencian

Pasal 28 ayat (2) UU ITE melarang penyebaran informasi yang bertujuan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pelanggar akan dikenakan hukuman pidana penjara selama maksimal 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga kerukunan sosial dan mencegah konflik yang disebabkan oleh perbedaan identitas.

Teror Online

Terakhir, Pasal 29 UU ITE mengatur tentang larangan teror online, yang meliputi pengiriman informasi elektronik atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti seseorang secara pribadi. Pelaku teror online dapat dikenakan pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda hingga Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Undang-undang ini dirancang untuk melindungi individu dari ancaman dan ketakutan yang disebarkan melalui internet.

Perbuatan Lain yang Dilarang dalam UU ITE

Penjara
Ilustrasi: UU ITE menjerat banyak aktivis

Selain perbuatan-perbuatan yang telah disebutkan sebelumnya, Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga mengatur larangan terhadap sejumlah tindakan lain yang berkaitan dengan penggunaan dan perlindungan sistem elektronik. Ketentuan-ketentuan ini bertujuan untuk melindungi keamanan dan integritas informasi elektronik serta mencegah berbagai bentuk penyalahgunaan teknologi. Berikut adalah penjelasan mengenai perbuatan lain yang dilarang menurut UU ITE:

Mengakses, Mengambil, dan Meretas Sistem Elektronik

Pasal 30 UU ITE melarang setiap orang untuk mengakses, mengambil, atau meretas sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun tanpa izin yang sah. Tindakan ini mencakup upaya untuk memperoleh akses ke sistem yang dilindungi atau data pribadi tanpa hak. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat mengakibatkan tindakan hukum yang serius, termasuk sanksi pidana, karena perbuatan tersebut melanggar hak privasi dan keamanan data pribadi.

Melakukan Intersepsi atau Penyadapan

Pasal 31 UU ITE mengatur larangan terhadap tindakan intersepsi atau penyadapan sistem elektronik milik orang lain, baik yang bersifat publik maupun privat. Penyadapan ini mencakup pengambilan atau pengawasan komunikasi elektronik secara diam-diam yang dilakukan tanpa izin. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi privasi komunikasi dan mencegah penyalahgunaan informasi yang dikirimkan secara elektronik.

Mengubah, Merusak, dan Menyembunyikan Informasi atau Dokumen Elektronik

Pasal 32 UU ITE melarang perubahan, perusakan, pemindahan, atau penyembunyian informasi dan dokumen elektronik, serta pembukaan dokumen atau informasi yang bersifat rahasia tanpa hak. Tindakan ini termasuk manipulasi data, pemindahan dokumen ke tempat yang tidak berwenang, dan pengubahan informasi dengan tujuan merugikan pihak lain. Larangan ini bertujuan untuk menjaga integritas dan kerahasiaan informasi elektronik.

Mengganggu Sistem Elektronik

Pasal 33 UU ITE melarang pengacauan atau gangguan terhadap sistem elektronik. Ini mencakup tindakan yang merusak atau menghambat fungsi sistem, termasuk penyebaran virus atau malware yang dapat mengganggu operasi sistem elektronik. Tindakan ini dapat menyebabkan kerusakan signifikan pada sistem atau data yang dikelola, serta mengganggu operasional pengguna yang sah.

Menyediakan Perangkat Keras atau Perangkat Lunak untuk Pelanggaran

Pasal 34 UU ITE mengatur larangan terhadap penyediaan perangkat keras atau perangkat lunak, termasuk sandi komputer dan kode akses, yang dapat digunakan untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU ITE. Penyediaan alat-alat ini, yang memungkinkan pelanggaran seperti peretasan atau penyebaran malware, dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap aktivitas ilegal dan dapat dikenakan sanksi sesuai hukum.

Pemalsuan Dokumen Elektronik

Pasal 35 UU ITE melarang pemalsuan dokumen elektronik melalui berbagai cara, termasuk manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, atau pengrusakan dokumen atau informasi elektronik. Pemalsuan ini mencakup pembuatan atau modifikasi data yang tidak sah dengan tujuan menipu atau merugikan pihak lain. Larangan ini bertujuan untuk memastikan keabsahan dan keakuratan dokumen elektronik serta mencegah penipuan.

Pro Kontra Dampak Negatif UU ITE

Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 yang merevisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menimbulkan berbagai dampak negatif yang signifikan sejak disahkannya. Berdasarkan kajian dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI yang dipublikasikan dalam Vol. XII No.16/II/Puslit/Agustus/2020, terdapat setidaknya 271 kasus yang dilaporkan ke polisi berkaitan dengan penerapan UU ITE. Salah satu penyebab utama maraknya pelaporan adalah keberadaan pasal-pasal yang dianggap multitafsir, yang sering menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi penyalahgunaan.

Tiga pasal yang paling sering dilaporkan adalah Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29. Pasal-pasal ini sering dianggap mengandung rumusan yang tidak jelas dan bisa menyebabkan pengekangan terhadap kebebasan berekspresi masyarakat. Akibatnya, UU ITE sering dimanfaatkan untuk tujuan balas dendam atau untuk mencederai tujuan hukum dari undang-undang tersebut. Keberadaan pasal-pasal multitafsir ini mengancam hak-hak kebebasan berpendapat dan berpotensi menambah konflik di masyarakat.

Selama periode 2011 hingga 2018, situs registrasi Mahkamah Agung mencatat ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE. Kasus terbanyak melibatkan pidana terkait penghinaan dan pencemaran nama baik, seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Selain itu, kasus ujaran kebencian yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga cukup banyak dilaporkan. Pasal-pasal ini dikenal sebagai "pasal karet," yang berarti tafsirannya bisa sangat subjektif dari penegak hukum atau pihak lain, yang mengakibatkan beragamnya interpretasi dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dampak negatif dari UU ITE meliputi beberapa aspek penting. Pertama, UU ITE sering membatasi kebebasan berpendapat, terutama dalam hal menyampaikan opini dan memberikan kritik. Kedua, UU ini dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari para penegak hukum dalam menentukan seseorang bersalah dan layak dipidanakan, tanpa mempertimbangkan unsur-unsur pasal dengan teliti. Ketiga, UU ITE sering digunakan sebagai instrumen balas dendam, terutama dalam konteks politik, sehingga mengancam tujuan hukum yang seharusnya melindungi hak-hak individu. Keempat, UU ini seringkali kurang menjamin kepastian hukum karena keputusan terkait pasal-pasal multitafsir bisa beragam bahkan bertolak belakang. Kelima, UU ITE dapat memicu keresahan dan perselisihan di masyarakat, dengan mempermudah pelaporan kepada penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan masyarakat. Terakhir, beberapa pasal dalam UU ITE dinilai tidak efektif karena merupakan duplikasi dari aturan yang sudah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Contohnya, Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik telah diatur sebelumnya dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

Dengan mempertimbangkan dampak-dampak negatif ini, penting untuk melakukan evaluasi dan revisi terhadap UU ITE agar dapat diterapkan secara lebih adil dan efektif tanpa mengancam kebebasan berekspresi dan hak-hak individu.

 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya