Kerja Nonstop 3 Bulan Cuma Libur Sehari, Pria di China Meninggal karena Gagal Organ

Pentingnya mengutamakan kesehatan di atas pekerjaan.

oleh Ibrahim Hasan diperbarui 10 Sep 2024, 12:27 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2024, 10:45 WIB
Ilustrasi kerja keras, menentukan takdir sendiri
Ilustrasi kerja keras, menentukan takdir sendiri. (Gambar oleh SnapwireSnaps dari Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Dalam agama, berlebihan dalam sesuatu tidak baik. Seperti saat bekerja, tubuh tak bisa terus menerus dipaksa menghasilkan uang. Tidak lain agar budaya kerja berlebihan justru memakan korban. 

Dilansir Liputan6.com dari South China Morning Post, Selasa (10/9/2024), seorang pria berusia 30 tahun meninggal akibat gagal organ setelah bekerja tanpa henti selama 104 hari, hanya libur satu hari. Tragedi ini terjadi di Zhoushan, Tiongkok timur, pada Mei tahun lalu.

Korban, yang diidentifikasi sebagai A'bao, bekerja sebagai pelukis di sebuah perusahaan dengan beban pekerjaan yang sangat berat. Selama tiga bulan, ia hanya mendapat satu hari cuti yang akhirnya tidak cukup untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Akibat lingkungan pekerjaan yang begitu menekan, tubuhnya mengalami infeksi parah yang berujung kematian.

Perusahaan tempat A'bao bekerja dituntut oleh keluarganya. Pengadilan memutuskan perusahaan tersebut bertanggung jawab 20 persen atas kematiannya karena dinilai gagal mengatur beban kerja karyawan dengan bijaksana. Kasus ini memicu perbincangan nasional tentang kerja berlebihan dan cuti yang minim di China.

 

Kondisi Pria Kerja Nonstop 104 Hari

Ilustrasi Meninggal Dunia
Ilustrasi Meninggal Dunia (Photo by Rhodi Lopez on Unsplash)

A'bao mengalami penurunan kesehatan yang serius setelah bekerja tanpa henti selama 104 hari. Ia hanya memiliki satu hari cuti pada 6 April, yang tak cukup memulihkan tubuh dari beban pekerjaan yang berat. Pada 25 Mei, A'bao merasa sakit dan mengambil cuti sakit untuk beristirahat di asrama.

Kondisinya memburuk tiga hari kemudian, dan ia dilarikan ke rumah sakit oleh rekan kerjanya. A'bao didiagnosis mengalami infeksi paru-paru yang menyebabkan kegagalan organ dan akhirnya meninggal dunia pada 1 Juni. Kronologi meninggalnya A'bao menjadi dasar bagi keluarganya untuk mengajukan gugatan kepada perusahaan.

Melansir dari Guangzhou Daily, pengadilan memutuskan bahwa kematian A'bao disebabkan oleh kerja berlebihan dan kegagalan perusahaan dalam mengelola kesehatan pekerjanya. Kasus ini menggambarkan bagaimana korban tekanan pekerjaan dapat mengalami akibat fatal.

Pelanggaran Perusahaan

Ilustrasi pria sukses
Ilustrasi pria sukses, kerja keras. (Photo by bruce mars on Unsplash)

Perusahaan tempat A'bao bekerja dianggap melanggar aturan ketenagakerjaan dengan memaksanya bekerja tanpa istirahat yang cukup. Pengadilan menemukan bahwa lingkungan kerja yang tidak sehat tersebut berkontribusi pada menurunnya daya tahan tubuh A'bao. Pelanggaran perusahaan ini akhirnya mempercepat kematian tragis pekerja tersebut.

Melansir dari keputusan pengadilan, perusahaan dianggap melanggar hukum ketenagakerjaan Tiongkok, yang membatasi jam kerja maksimum per hari dan per minggu. Aturan ini seharusnya melindungi pekerja dari beban kerja yang berlebihan. Pengadilan menuntut perusahaan untuk membayar kompensasi sebesar 400.000 yuan atau sekitar Rp 872 juta sebagai kompensasi kepada keluarga korban. Termasuk Rp 21 juta untuk tekanan emosional yang disebabkan oleh kematian tersebut.

Lingkungan kerja yang tidak mendukung kesehatan karyawan ini telah menimbulkan reaksi keras dari masyarakat Tiongkok. Banyak yang mengecam pelanggaran perusahaan ini sebagai bukti bahwa kesejahteraan pekerja sering kali diabaikan demi produktivitas.

 

 

Dapat Kecaman Netizen

Seseorang Sedang melukis Bunga
Ilustrasi Seseorang Sedang melukis Bunga (Photo by freepik)

Kasus kematian A'bao setelah kerja nonstop selama 104 hari memicu kemarahan di media sosial. Banyak netizen menilai bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki rasa kemanusiaan dan gagal memahami pentingnya kesehatan karyawan. Viralnya berita ini memperlihatkan bagaimana netizen bersimpati pada nasib pekerja berat seperti A'bao.

Salah satu pengguna internet menulis, "Melukis adalah pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan kita. Pada usia 30, ia kehilangan nyawanya." Kematian tragis ini memperlihatkan realitas pekerja yang sering kali terpaksa memilih antara kesehatan dan penghasilan.

Melansir dari komentar online lainnya, banyak netizen menilai bahwa kompensasi sebesar Rp 872 juta yang diberikan kepada keluarga korban tidak sebanding dengan kehilangan yang mereka alami. Tragedi ini terus menjadi perbincangan hangat di dunia maya.

 

Insiden Pekerja Meninggal Usai Lembur 130 Jam

Begini Caranya Supaya Kamu Enggak Harus Lembur di Kantor
Sekarang enggak usah kerja di kantor lebih lama untuk mendapatkan uang lebih (Istimewa)

Kematian A'bao bukanlah kasus pertama. Pada Agustus 2019, seorang karyawan di Tiongkok juga meninggal setelah lembur 130 jam dalam satu bulan. Insiden ini menunjukkan bagaimana lingkungan kerja yang tak sehat terus merenggut nyawa pekerja di negara tersebut. Tekanan kerja yang berat menyebabkan para pekerja mengalami kelelahan parah.

Melansir dari kasus sebelumnya, Zhu Bin, korban, telah bekerja tanpa henti sepanjang bulan Juli. Ia akhirnya meninggal di perjalanan pulang setelah bekerja lembur yang melelahkan. Pengadilan menyatakan bahwa tekanan kerja dan lingkungan kerja yang tidak kondusif berperan dalam kematiannya.

Kutipan dari salah satu netizen menggarisbawahi kemarahan publik, "Bekerja seperti ini benar-benar seperti menukar hidup dengan uang." Kasus seperti ini menjadi bukti nyata bahwa perusahaan sering kali gagal melindungi pekerjanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya