Liputan6.com, Jakarta Utang warga RI di paylater semakin menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir, terutama seiring dengan pertumbuhan pesat penggunaan layanan ini di kalangan masyarakat. Meskipun paylater menawarkan kemudahan dalam melakukan pembelian tanpa harus membayar di muka, utang yang ditimbulkan dari penggunaan layanan ini bisa menjadi beban yang berat bagi banyak individu.
Baca Juga
Advertisement
Peningkatan utang warga RI di paylater dapat dilihat dari data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di mana menunjukkan bahwa semakin banyak generasi muda yang menggunakan layanan ini. Penggunaan paylater sangat populer di kalangan generasi Z dan milenial, sehingga mereka tidak sepenuhnya menyadari risiko jika terlibat. Ketidakpahaman mengenai jangka waktu pembayaran dan bunga yang mungkin dikenakan, dapat mengakibatkan akumulasi utang yang signifikan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi utang warga RI di paylater meningkat drastis, adalah banyaknya promo dan penawaran menarik yang ditawarkan oleh penyedia layanan. Meskipun tawaran tersebut tampak menguntungkan, mereka sering kali dapat mendorong konsumen untuk berbelanja lebih banyak, daripada yang sebenarnya dibutuhkan. Dalam banyak kasus, utang yang dihasilkan dari keputusan impulsif tersebut dapat menjadi masalah serius, terutama jika tidak ada perencanaan keuangan yang matang.
Dalam kondisi seperti ini, utang yang diambil melalui layanan paylater bisa menjadi semakin menekan. Berikut ini data utang warga RI di paylater yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (7/10/2024).
Apa Itu PayLater?
Istilah "paylater" berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yaitu "pay" yang berarti membayar dan "later" yang berarti nanti. Secara keseluruhan, istilah ini merujuk pada sebuah layanan pembiayaan yang memungkinkan kita melakukan pembelian barang atau jasa tanpa harus membayar pada saat itu juga. Sebagai gantinya, kita dapat menunda pembayaran dan melunasinya di kemudian hari, baik dalam satu kali pembayaran penuh maupun dengan cara mencicil dalam beberapa bulan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Paylater pada dasarnya bekerja dengan cara perusahaan penyedia layanan tersebut menalangi transaksi kita terlebih dahulu. Artinya, pihak penyedia layanan akan membayarkan tagihan pembelian kita di depan, dan kemudian kita sebagai pengguna akan membayar kembali dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Kita juga diberikan kebebasan untuk memilih jangka waktu pembayaran yang sesuai dengan kemampuan finansial kita, sehingga layanan ini sangat fleksibel dan memudahkan pengguna dalam mengatur pengeluaran mereka. Dengan adanya sistem ini, konsumen bisa mendapatkan barang atau jasa tanpa harus mengeluarkan uang tunai di awal.
Meskipun layanan paylater terasa modern dan canggih, sebenarnya konsep ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru di Indonesia. Sebelumnya, kita telah mengenal konsep serupa melalui kartu kredit, di mana pemegang kartu bisa membeli barang terlebih dahulu dan membayar tagihan di kemudian hari. Bedanya, paylater merupakan versi digital yang lebih mudah diakses dan digunakan. Tidak seperti kartu kredit yang biasanya memerlukan proses pengajuan yang panjang dan berbelit, paylater menawarkan pengalaman yang lebih sederhana dan cepat. Proses pengajuan yang minim syarat serta tidak membutuhkan survei yang ketat menjadikan paylater semakin digemari, terutama oleh generasi milenial dan anak muda.
Â
Advertisement
Data OJK Terkait Utang Warga RI di Paylater
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat adanya peningkatan signifikan dalam tingkat utang yang diambil oleh kalangan muda di Indonesia, salah satunya melalui penggunaan layanan buy now pay later (BNPL) atau paylater. Layanan ini semakin populer, terutama di kalangan anak muda yang mencari cara mudah untuk mendapatkan barang atau jasa tanpa harus membayar di muka. Friderica Widyasari Dewi, selaku Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, menegaskan bahwa fenomena paylater kini menjadi perhatian global, dan Indonesia juga tidak luput dari tren tersebut. Penggunaan paylater di Indonesia sangat besar dan sebagian besar pengguna layanan ini berasal dari generasi muda, khususnya Generasi Z (Gen Z) dengan rentang usia 26-35 tahun.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh OJK, mayoritas pengguna layanan paylater adalah mereka yang berada dalam rentang usia 26-35 tahun, yang mencapai 43,9 persen dari total pengguna. Sementara itu, 26,5 persen pengguna berada pada kelompok usia 18-25 tahun, menunjukkan bahwa layanan ini sangat diminati oleh kaum muda. Di sisi lain, persentase pengguna dari kelompok usia lebih tua menurun, dengan 21,3 persen berada dalam rentang usia 36-45 tahun, 7,3 persen berusia 46-55 tahun, dan hanya 1,1 persen pengguna berusia di atas 55 tahun. Data ini mencerminkan betapa kuatnya daya tarik paylater di kalangan generasi muda, yang umumnya mencari fleksibilitas dalam hal pembayaran.
Menurut OJK, piutang pembiayaan paylater oleh perusahaan pembiayaan atau multifinance per Agustus 2024 mencatat peningkatan sebesar 89,20% year-on-year (yoy), dengan total nilai mencapai Rp7,99 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan bulan sebelumnya, di mana kenaikan tercatat sebesar 73,55% yoy per Juli 2024. Meskipun Indonesia sedang mengalami deflasi selama empat bulan berturut-turut, penggunaan paylater terus meningkat. Deflasi yang terjadi sejak Mei hingga Agustus 2024 ini, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa meskipun harga-harga bahan pangan menurun, ketergantungan masyarakat pada layanan paylater tetap tinggi.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengungkapkan bahwa penurunan daya beli masyarakat sudah mulai terlihat sejak tahun 2023, sebelum fenomena deflasi terjadi. Lebih lanjut, jumlah kelas menengah di Indonesia juga menyusut, dengan banyak orang yang turun ke kelas menengah rentan. Pada 2019, jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau sekitar 21,45% dari total penduduk. Namun, pada 2024, jumlah ini turun menjadi 47,85 juta orang atau sekitar 17,13% dari populasi. Kondisi ini berdampak pada peningkatan ketergantungan masyarakat terhadap layanan keuangan alternatif seperti paylater, yang menawarkan kemudahan akses di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat.
Bahaya Penggunaan Paylater
Penggunaan layanan paylater atau buy now pay later (BNPL) memang memberikan banyak kemudahan bagi konsumen, terutama bagi mereka yang ingin membeli barang atau jasa tanpa harus membayar di muka. Namun, di balik kepraktisan ini, terdapat sejumlah risiko dan bahaya yang perlu diwaspadai. Ketergantungan pada layanan paylater bisa menjadi pintu masuk ke masalah keuangan yang lebih serius, terutama bagi mereka yang tidak cermat dalam mengelola utang atau tidak memahami sepenuhnya konsekuensi dari penggunaan layanan tersebut. Salah satu bahaya utama dari penggunaan paylater adalah risiko menumpuknya utang. Sistem paylater memberikan ilusi seolah-olah pengguna memiliki banyak uang karena mereka dapat membeli barang tanpa harus langsung membayar. Namun, tanpa pengelolaan keuangan yang baik, utang dari layanan ini dapat cepat bertambah, terutama jika pengguna tidak memperhatikan jatuh tempo pembayaran. Banyak orang yang terjebak dalam spiral utang karena pembayaran yang diangsur akhirnya menjadi beban besar ketika sudah jatuh tempo, apalagi jika ada bunga atau denda keterlambatan yang dikenakan oleh penyedia layanan.
Selain itu, layanan paylater sering kali menarik bagi konsumen karena adanya berbagai promo atau penawaran menarik. Namun, di balik promosi tersebut, banyak konsumen yang tidak memperhatikan syarat dan ketentuan yang berlaku, seperti biaya tambahan, suku bunga, atau penalti jika terlambat membayar. Konsumen yang tidak hati-hati sering kali terjebak dalam biaya-biaya tersembunyi yang akhirnya memperburuk kondisi keuangan mereka. Hal ini sangat mungkin terjadi jika mereka menggunakan paylater dari berbagai platform tanpa perhitungan matang. Bahaya lainnya adalah efek psikologis dari kemudahan belanja dengan sistem paylater. Kemudahan dalam membeli barang tanpa perlu membayar segera sering kali memicu perilaku konsumtif yang tidak terkendali. Pengguna mungkin merasa terdorong untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, hanya karena kemudahan dalam melakukan transaksi dan penundaan pembayaran. Dalam jangka panjang, perilaku ini dapat berdampak negatif terhadap kebiasaan keuangan pribadi, memicu pola konsumsi yang boros, dan merusak kestabilan finansial seseorang.
Advertisement