Liputan6.com, Jakarta Polemik BBM kotor di Indonesia semakin marak, seiring dengan upaya pemerintah dalam menerapkan standar emisi yang lebih ketat. Sejak dicanangkan, kebijakan mengenai bahan bakar minyak (BBM) Euro 4 menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal ketersediaan bahan bakar yang memenuhi standar tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Salah satu isu utama dalam polemik BBM kotor adalah tingginya kadar sulfur, dalam jenis bahan bakar seperti Pertalite dan Pertamax. Kadar sulfur yang tinggi pada BBM ini tidak hanya merusak mesin kendaraan, tetapi juga berpotensi mencemari udara dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Banyak kalangan berargumen bahwa jika tidak ada perubahan signifikan dalam kualitas bahan bakar yang disediakan, maka implementasi standar emisi yang lebih baik hanya akan menjadi jargon tanpa makna. Dalam hal ini, peran pemerintah dan pelaku industri menjadi sangat krusial, untuk memastikan bahwa pasokan BBM sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Polemik BBM kotor juga mencuat, karena adanya perbedaan pandangan antara produsen bahan bakar dan pengguna. Beberapa produsen masih berusaha mempertahankan produk BBM yang memiliki kualitas rendah demi keuntungan ekonomi, sementara masyarakat dan pemerhati lingkungan mendorong untuk perbaikan kualitas bahan bakar.
Berikut dampak dan tantangan penggunaan BBM kotor yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (16/10/2024).
PolemiK BBM Kotor
Implementasi standar bahan bakar minyak (BBM) Euro 4 secara menyeluruh di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala yang signifikan. Meskipun pemerintah telah menetapkan regulasi untuk mendorong penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan, kenyataannya ketersediaan BBM dengan spesifikasi Euro 4, seperti Pertamax Green dan Pertamax Turbo RON 98, masih sangat terbatas di pasar domestik. Keduanya memenuhi kriteria dengan kandungan sulfur maksimal 50 ppm, namun distribusi dan aksesibilitasnya di seluruh wilayah Indonesia menjadi tantangan tersendiri.
Di sisi lain, Pertalite yang merupakan salah satu jenis BBM yang banyak digunakan masyarakat, tidak memenuhi standar Euro 4. Dengan RON 90 dan kadar sulfur yang mencapai maksimal 500 ppm, Pertalite dikategorikan sebagai BBM kotor. Meskipun Pertamina memasarkan Pertalite sebagai pilihan yang terjangkau, tingginya kandungan sulfur pada BBM ini berpotensi menimbulkan masalah serius bagi kesehatan mesin dan lingkungan. Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves, Rachmat Kaimuddin, mengonfirmasi bahwa kandungan sulfur Pertalite berada di angka 500 ppm, jauh melebihi standar yang ditetapkan.
Pertamax, meskipun diklaim sebagai produk BBM berkualitas dengan RON 92, juga tidak sepenuhnya bebas dari masalah. Berdasarkan informasi dari laman resmi Pertamina, kadar sulfur di Pertamax tercatat mencapai 130 ppm. Hal ini mencerminkan adanya inkonsistensi antara klaim Pertamina tentang keunggulan Pertamax sebagai BBM yang dapat menghasilkan pembakaran lebih bersih dan realitas yang dihadapi di lapangan. Kadar sulfur yang tinggi pada kedua jenis BBM ini, dapat menyebabkan kerusakan mesin kendaraan dan berpotensi merusak lingkungan serta kesehatan masyarakat. Menghadapi situasi ini, pemerintah bersama pihak terkait perlu berkolaborasi untuk menemukan solusi guna mengurangi kandungan sulfur di Pertalite dan BBM lainnya. Upaya untuk mengurangi kadar sulfur tidak hanya bertujuan untuk memenuhi standar Euro 4, tetapi juga demi meningkatkan kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
Advertisement
Dampak Lingkungan dari Penggunaan BBM Kotor
Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) kotor memiliki dampak lingkungan yang sangat signifikan dan merugikan. Dampak tersebut tidak hanya terbatas pada kualitas udara, tetapi juga meluas ke berbagai aspek ekosistem dan kesehatan manusia. Berikut adalah dampak lingkungan dari penggunaan BBM kotor:
1. Pencemaran Udara
Salah satu dampak paling nyata dari penggunaan BBM kotor adalah pencemaran udara. BBM berkualitas rendah biasanya mengandung kadar sulfur dan karbon yang tinggi. Ketika terbakar, bahan bakar ini melepaskan emisi gas berbahaya, seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikel halus (PM). Emisi ini berkontribusi pada pembentukan polusi udara yang dapat menyebabkan masalah kesehatan serius, seperti penyakit pernapasan, asma, dan bahkan kanker. Selain itu, polusi udara juga berdampak pada perubahan iklim dengan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yang menyebabkan pemanasan global.
2. Pencemaran Tanah dan Air
Selain pencemaran udara, penggunaan BBM kotor juga berpengaruh pada pencemaran tanah dan air. Kebocoran atau tumpahan BBM saat proses penyimpanan, transportasi, atau distribusi dapat mencemari tanah dan sumber air di sekitarnya. Senyawa berbahaya dalam BBM, seperti benzena, toluena, dan xylene, dapat meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Pencemaran air ini tidak hanya berbahaya bagi kehidupan akuatik, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia yang bergantung pada air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Sumber air yang tercemar dapat menyebabkan penyakit gastrointestinal, serta masalah kesehatan lainnya.
3. Kerusakan Ekosistem
Dampak lingkungan dari penggunaan BBM kotor juga mencakup kerusakan ekosistem. Emisi gas berbahaya dapat menyebabkan hujan asam, yang merusak tanah, tanaman, dan badan air. Hujan asam dapat menurunkan pH tanah, merusak struktur tanah, dan mempengaruhi kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Di samping itu, pencemaran udara juga dapat memengaruhi flora dan fauna, mengurangi keanekaragaman hayati, dan mengganggu rantai makanan di ekosistem. Kerusakan habitat akibat polusi dapat menyebabkan hilangnya spesies dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang sehat.
4. Memengaruhi Lingkungan
Dalam jangka panjang, penggunaan BBM kotor tidak hanya memengaruhi lingkungan secara lokal, tetapi juga memiliki dampak global. Peningkatan emisi gas rumah kaca berkontribusi pada perubahan iklim, yang menyebabkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam, seperti banjir, kekeringan, dan badai. Perubahan iklim ini tidak hanya memengaruhi lingkungan, tetapi juga berdampak pada pertanian, sumber daya air, dan kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Oleh karena itu, mengurangi penggunaan BBM kotor dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan menjadi semakin penting untuk melindungi lingkungan dan kesehatan manusia.
Tantangan dalam Transisi ke BBM Bersih
Transisi menuju bahan bakar minyak (BBM) bersih merupakan langkah penting dalam upaya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Meskipun manfaat dari penggunaan BBM bersih, seperti pengurangan emisi gas rumah kaca dan pencemaran udara, sangat jelas, proses transisi ini menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.
Salah satu tantangan terbesar adalah infrastruktur yang ada saat ini. Banyak negara, termasuk Indonesia, masih bergantung pada infrastruktur yang dirancang untuk mendukung penggunaan BBM konvensional. Pipa, tangki penyimpanan, dan fasilitas distribusi sering kali tidak siap untuk menangani jenis bahan bakar baru, seperti biofuel atau hidrogen. Pembaruan infrastruktur ini membutuhkan investasi yang signifikan dan waktu yang cukup lama, sehingga menjadi hambatan bagi transisi yang cepat. Di samping itu, ada juga tantangan terkait biaya. Meskipun biaya produksi BBM bersih telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, investasi awal untuk mengembangkan teknologi baru dan infrastruktur yang mendukung masih cukup tinggi. Bagi banyak negara, terutama yang memiliki anggaran terbatas, alokasi dana untuk transisi ini bisa menjadi tantangan tersendiri. Tanpa adanya insentif yang memadai, pelaku industri mungkin kurang termotivasi untuk beralih ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Tantangan lainnya adalah masalah regulasi dan kebijakan. Meskipun banyak negara telah menetapkan target untuk mengurangi emisi dan beralih ke energi bersih, implementasi kebijakan tersebut sering kali terhambat oleh birokrasi yang rumit atau ketidakpastian politik. Selain itu, perubahan kebijakan yang mendadak bisa menyebabkan ketidakstabilan di pasar energi, yang pada gilirannya dapat menghambat investasi dan pengembangan teknologi baru. Untuk mencapai transisi yang sukses, diperlukan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mendukung pengembangan BBM bersih. Walaupun banyak inovasi telah dikembangkan untuk mendukung transisi ke BBM bersih, tantangan dalam hal efisiensi dan efektivitas teknologi tersebut masih ada. Misalnya, dalam kasus biofuel, proses produksi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan harus dipastikan agar tidak mengganggu ketahanan pangan atau merusak ekosistem. Inovasi terus-menerus diperlukan untuk menciptakan solusi yang lebih baik dan lebih berkelanjutan, untuk memenuhi kebutuhan energi masa depan.
Advertisement