Hukum Merayakan Hari Ibu dalam Islam, Begini Penjelasan dan Langkah Bijak Memperingatinya

Hari Ibu sering dirayakan setiap 22 Desember. Namun, bagaimana hukum perayaannya dalam Islam? Berikut penjelasan tentang tradisi ini serta langkah bijak untuk merayakannya sesuai syariat.

oleh Andre Kurniawan Kristi diperbarui 22 Des 2024, 13:02 WIB
Diterbitkan 22 Des 2024, 12:57 WIB
keluarga bahagia memberi hadiah hari ibu
ilustrasi ibu dan anak sayang/Chay_Tee/Shutterstock

Liputan6.com, Jakarta Hari Ibu yang dirayakan setiap 22 Desember menjadi momen spesial bagi banyak orang untuk menunjukkan rasa cinta dan penghargaan kepada sosok ibu. Berbagai cara dilakukan, seperti memberikan hadiah, menulis ungkapan kasih, hingga menghabiskan waktu bersama. Tradisi ini telah menjadi bagian dari budaya di Indonesia, namun bagaimana Islam memandang perayaan ini?

Dalam ajaran Islam, ibu memiliki posisi yang sangat mulia. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa penghormatan kepada ibu seharusnya dilakukan setiap hari, bukan hanya pada hari tertentu. Namun, apakah perayaan Hari Ibu dianggap bertentangan dengan ajaran Islam?

Berikut hukum merayakan Hari Ibu dilansir dari berbagai sumber. 

 

1. Apa Itu Hari Ibu dan Bagaimana Perayaannya di Indonesia?

Hari Ibu dirayakan setiap 22 Desember sebagai bentuk penghargaan kepada para ibu di Indonesia. Perayaan ini awalnya ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1953 untuk mengenang peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Saat ini, tradisi tersebut lebih fokus pada penghormatan kepada ibu secara individu.

Banyak orang memanfaatkan momen ini dengan memberikan hadiah kepada ibu mereka, seperti bunga, kartu ucapan, atau bahkan hadiah spesial lainnya. Selain itu, beberapa keluarga memilih untuk merayakan Hari Ibu dengan menghabiskan waktu bersama, sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayang.

Namun, di balik semarak perayaan ini, muncul pertanyaan: apakah Hari Ibu relevan bagi umat Islam? Pertanyaan ini penting karena ada kekhawatiran bahwa tradisi tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran agama.

2. Pandangan Ulama tentang Merayakan Hari Ibu

Buya Yahya dalam video di kanal YouTube Al-Bahjah TV menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal konsep Hari Ibu yang diperingati setiap tahun, karena menghormati ibu seharusnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. “Kalau kita mengangkat wanita dan mengangkat ibu dalam Islam, sudah ada, tidak harus ada istilah Hari Ibu tanggal 22 Desember,” ujarnya. Namun, ia juga menambahkan bahwa perayaan ini tidak sepenuhnya salah jika tujuannya adalah untuk mengingatkan mereka yang lupa menghormati ibu, dengan catatan penghormatan kepada ibu tidak terbatas pada hari tersebut saja.

Lebih lanjut, Buya Yahya mengingatkan umat Islam agar berhati-hati dan tidak terjebak dalam tradisi budaya non-Muslim sehingga perayaan tersebut tetap sejalan dengan nilai-nilai Islam. Pandangan ini sejalan dengan sebagian ulama, seperti Syekh Syauqi Allam, Syekh Ali Jum’ah, dan Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al-Mishriyyah), yang memperbolehkan peringatan Hari Ibu sebagai bentuk berbuat baik kepada orang tua. Mereka merujuk pada firman Allah dalam QS Al-Isra’: 23. 

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” 

Dengan demikian, meskipun peringatan Hari Ibu tidak secara spesifik diajarkan dalam Islam, sebagian ulama memandangnya sebagai momen positif untuk mengingatkan pentingnya memuliakan ibu, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, Islam tetap menekankan bahwa penghormatan dan bakti kepada ibu harus dilakukan sepanjang waktu, bukan hanya pada hari tertentu.

 

 

 

3. Pendapat Ulama tentang Tidak Boleh Merayakan Hari Ibu

 

Sebagian ulama, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Fatwa), mengharamkan peringatan Hari Ibu. Mereka merujuk pada hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim). Selain itu, hadis lain menyebut: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim). Menurut mereka, perayaan ini termasuk bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi, para sahabat, maupun generasi salaf.

Dalam video berjudul "Merayakan Hari Ibu, Termasuk Bid'ahkah?" di kanal YouTube-nya, Ustaz Dzulqarnain MS menyatakan bahwa Hari Ibu bukan bagian dari tradisi umat Islam. Ia menegaskan, “Umat Islam hanya memiliki tiga hari raya, Idul Fitri, Idul Adha, dan Hari Jumat.” Menurutnya, memuliakan ibu adalah tugas harian yang tidak seharusnya dibatasi menjadi aktivitas tahunan pada Hari Ibu.

Lebih jauh, Ustaz Dzulqarnain mengingatkan umat Islam agar tidak memberikan ucapan selamat atau mengikuti tradisi yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Hal ini penting untuk menjaga identitas sebagai seorang Muslim dan memastikan bahwa setiap perayaan tetap selaras dengan ajaran agama.

4. Bolehkah Merayakan Hari Ibu dalam Islam?

Dalam pandangan yang lebih luas, peringatan Hari Ibu tetap menjadi polemik. Meskipun sebagian ulama menganggapnya bid’ah, pendapat yang memperbolehkannya lebih kuat karena Hari Ibu bisa menjadi sarana untuk berbakti dan bersyukur atas jasa ibu. Meski demikian, Islam mengajarkan bahwa berbakti kepada ibu tidak harus terbatas pada Hari Ibu, melainkan dilakukan setiap saat sepanjang hayat.

Berdasarkan pandangan para ulama, merayakan Hari Ibu dalam Islam diperbolehkan dengan beberapa syarat. Tujuan utama perayaan ini haruslah untuk memuliakan ibu dan mengingatkan orang lain akan pentingnya peran ibu dalam kehidupan. Namun, hal ini tidak boleh membatasi penghormatan kepada ibu hanya pada satu hari tertentu.

Selain itu, perayaan tersebut sebaiknya tidak diwarnai dengan tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini penting agar kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai bentuk bid’ah atau penyimpangan dari ajaran agama.

5. Langkah Bijak dalam Memperingati Hari Ibu

Jika ingin memperingati Hari Ibu, umat Islam disarankan untuk melakukannya dengan cara yang sesuai syariat. Misalnya, memberikan doa untuk ibu, memberikan hadiah yang bermanfaat, atau melakukan amal baik atas nama ibu.

Langkah pertama adalah memahami niat di balik perayaan ini. Jika tujuannya adalah untuk menggugah rasa cinta dan penghormatan kepada ibu, maka hal ini diperbolehkan. Namun, jika perayaan ini dilakukan hanya karena mengikuti tren, sebaiknya dihindari.

Langkah kedua adalah memilih aktivitas yang sesuai dengan ajaran Islam. Mengucapkan doa, memberikan sedekah, atau melakukan kegiatan sosial atas nama ibu adalah beberapa cara yang direkomendasikan.

Langkah ketiga adalah mengedukasi diri dan keluarga tentang pentingnya menghormati ibu setiap saat, bukan hanya pada Hari Ibu. Dengan demikian, penghormatan kepada ibu menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari.

Apakah Islam melarang merayakan Hari Ibu?

Islam tidak secara tegas melarang, tetapi menekankan bahwa penghormatan kepada ibu seharusnya dilakukan setiap hari.

Bagaimana cara merayakan Hari Ibu yang sesuai syariat?

Merayakan dengan doa, sedekah, atau aktivitas sosial yang bermanfaat adalah cara yang sesuai syariat.

Mengapa sebagian ulama menganggap Hari Ibu tidak perlu dirayakan?

Karena dalam Islam, ibu sudah dimuliakan setiap saat, sehingga tidak perlu hari khusus untuk merayakannya. Selain itu, hari Ibu tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, para sahabat, maupun generasi salaf, sehingga termasuk bid’ah yang terlarang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya