Liputan6.com, Jakarta PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), atau yang lebih dikenal sebagai Sritex, pernah menjadi salah satu raksasa industri tekstil di Indonesia. Dengan sejarah panjang yang dimulai sejak 1966, perusahaan asal Solo ini sukses merambah pasar ekspor dan bahkan dipercaya untuk memproduksi seragam militer untuk NATO dan beberapa negara lain. Namun, perjalanan panjang tersebut kini berakhir tragis dengan penutupan operasional per 1 Maret 2025.
Krisis yang melanda Sritex bukanlah sesuatu yang terjadi dalam semalam. Sejumlah masalah keuangan yang semakin membesar, termasuk kegagalan membayar utang, akhirnya memaksa perusahaan ini masuk dalam status pailit. Ribuan pekerja terpaksa kehilangan pekerjaan, sementara berbagai pihak mulai mempertanyakan bagaimana sebuah perusahaan besar seperti Sritex bisa jatuh begitu dalam.
Bagaimana perjalanan Sritex yang dulunya begitu Berjaya ini?
Advertisement
Sejarah Kejayaan Sritex: Dari Pasar Klewer ke Pasar Global
Sritex memulai perjalanannya pada tahun 1966 oleh H.M. Lukminto dengan nama awal UD Sri Redjeki. Bisnis ini berawal dari kios kecil di Pasar Klewer, Solo, yang menjual kain belacu kepada pabrik batik di sekitarnya. Melihat potensi industri tekstil, Lukminto kemudian menggandeng kakaknya, Isman Jianto, untuk membangun pabrik sendiri pada tahun 1968.
Dengan modal Rp5 juta, mereka mendirikan pabrik di Baturono, Solo, dengan kapasitas produksi awal sekitar 600-700 meter kain per bulan. Dalam kurun waktu 10 tahun, bisnis ini berkembang pesat, dan pada 1978, UD Sri Redjeki resmi berubah menjadi PT Sri Rejeki Isman. Ekspansi besar-besaran dilakukan, termasuk pembangunan pabrik tenun pertama pada 1982.
Tahun 1994 menjadi titik balik bagi Sritex. Perusahaan ini mendapatkan kontrak besar untuk memproduksi seragam militer bagi NATO dan tentara Jerman, menjadikannya pemain utama di industri tekstil global. Bahkan setelah krisis moneter 1998, Sritex justru mampu bertahan dan mencetak pertumbuhan hingga delapan kali lipat dibandingkan kapasitas awalnya.
Advertisement
Langkah Ekspansi dan Ambisi Besar Sritex
Pada tahun 2013, Sritex semakin memperkuat posisinya di industri dengan melakukan penawaran saham (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham SRIL. Langkah ini membuka jalan bagi perusahaan untuk mendapatkan pendanaan lebih besar guna memperluas produksinya.
Tidak hanya berhenti di situ, pada 2018, Sritex mengakuisisi dua perusahaan besar, yaitu PT Primayudha Mandirijaya dan PT Bitratex Industries. Akuisisi ini bertujuan untuk memperluas kapasitas produksi serta memperkuat rantai pasokannya di industri tekstil nasional maupun global.
Sritex juga terus memperluas pasar ekspornya. Produk unggulannya meliputi kain jadi, benang, serta seragam militer yang telah diakui kualitasnya oleh berbagai negara.
Awal Mula Krisis: Dampak Pandemi dan Utang yang Membengkak
Namun, badai mulai menghantam Sritex pada tahun 2020 saat pandemi Covid-19 melanda dunia. Meskipun sempat berkontribusi dalam memproduksi 45 juta masker dalam waktu tiga minggu, tekanan finansial akibat anjloknya permintaan global membuat Sritex mulai kesulitan dalam mengelola utang.
Pada Maret 2021, Sritex gagal membayar utang sindikasi sebesar US$350 juta, yang langsung memicu gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari sejumlah kreditur. Meskipun sempat lolos dari status PKPU pada Januari 2022 setelah mencapai kesepakatan perdamaian, tekanan keuangan terus meningkat.
Indo Bharat Rayon kemudian menggugat Sritex karena menghentikan pembayaran utang senilai Rp127,9 miliar pada Juni 2023. Situasi ini semakin memperburuk kondisi finansial perusahaan, hingga akhirnya Majelis Hakim Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Sritex pada 18 Desember 2024.
Advertisement
Puncak Krisis dan Keputusan Pailit
Dengan beban utang yang semakin besar, total liabilitas Sritex mencapai US$1,61 miliar atau sekitar Rp24,45 triliun per kuartal III 2024. Perusahaan juga mencatat defisit ekuitas senilai US$1,22 miliar, yang semakin memperburuk situasi keuangan.
Pada Januari-Februari 2025, lebih dsri 10.900 karyawan Sritex terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Perusahaan akhirnya resmi menghentikan seluruh operasionalnya pada 1 Maret 2025.
Dampak dan Pelajaran dari Kasus Sritex
Bangkrutnya Sritex menjadi tamparan bagi industri tekstil nasional. Perusahaan yang pernah berjaya ini harus gulung tikar akibat salah kelola keuangan dan tekanan eksternal yang tidak dapat diatasi.
Di sisi lain, ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan kini harus mencari peluang baru di tengah persaingan industri yang semakin ketat. Pemerintah pun berupaya memberikan bantuan berupa pesangon dan jaminan kehilangan pekerjaan bagi buruh yang terdampak.
Kisah jatuhnya Sritex menjadi pengingat bahwa pertumbuhan perusahaan harus diiringi dengan manajemen risiko keuangan yang baik, serta fleksibilitas dalam menghadapi dinamika industri yang terus berubah.
Advertisement
Pertanyaan dan Jawaban Seputar Sritex
1. Apa yang menyebabkan Sritex bangkrut?
Sritex mengalami kesulitan keuangan akibat gagal bayar utang, tekanan pandemi Covid-19, serta gugatan hukum dari sejumlah kreditur.
2. Berapa jumlah pekerja yang terkena PHK?
Lebih dari 10.900 pekerja dari berbagai anak perusahaan Sritex terkena PHK pada Januari-Februari 2025.
3. Apakah pemerintah memberikan bantuan kepada pekerja yang terkena PHK?
Ya, pemerintah melalui Kemnaker menjamin hak-hak pekerja untuk memperoleh pesangon dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
