Liputan6.com, Jakarta - Jelang Pemilu Presiden Juli 2014, 2 calon kuat yang akan menduduki kursi nomor 1 di Indonesia, Joko Widodo dan Prabowo Subianto terlibat saling sindir.
Hal itu diprediksi akan merugikan kedua belah pihak. Menurut pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing, sikap saling sindir itu melihatkan kedua calon presiden tersebut bukan negarawan sejati. Sebab, menurut dia, yang selalu mencari-cari kesalahan orang lain adalah politisi.
"Jelas hal ini merugikan keduanya sebagai capres. Karena, jika membalas sindiran tersebut, berarti menunjukkan mereka bukan negarawan sejati, tetapi politisi. Karena yang biasanya saling sindir adalah politisi," ujar dia kepada Liputan6.com melalui sambungan telepon di Jakarta, Senin (24/3/2014).
Advertisement
Ia melanjutkan, sindiran yang dimulai oleh Prabowo Subianto lantaran tidak puas terhadap perjanjian Batu Tulis pada tahun 2009, seharusnya tidak ditanggapi oleh Gubernur DKI Jakarta itu.
"Seharusnya Jokowi tidak mengatakan kritik harus santun dan lain-lain, sebaiknya Jokowi diam saja. Katakan itu adalah urusan partai, karena saya dulu masih walikota. Sebaiknya Jokowi lebih baik tenang, lebih baik berkampanye tentang program-program jika menjadi Presiden nanti," kata dia.
"Kalau sekarang, Jokowi sudah seperti terseret mengomentari sindiran-sindiran Prabowo dan masuk ke ranah politik, bukan lagi negarawan," tukas Emrus.
Jika melihat Prabowo yang menuding PDIP tidak menepati janjinya, Emrus menilai itu merupakan wajar. Namun, kewajaran berubah ketika Prabowo terus-menerus menyerang PDIP dengan menitikberatkan pada perjanjian Batu Tulis.
"Prabowo menyindir tidak puas terhadap perjanjian Batu Tulis, ya wajar-wajar saja. Tapi lebih baik Prabowo fokus kepada program-program yang akan ditawarkan kepada masyarakat jika terpilih sebagai Presiden," pungkas dia. (Anri Syaiful)
Baca juga:
Pengamat: Hanya Jokowi dan Prabowo yang Bertarung Pilpres