Liputan6.com, Jakarta - Karut-marut lembaga survei di Indonesia masih belum terpecahkan. Dan, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan Pilpres yang diajukan Prabowo-Hatta, kini wacana untuk memperketat izin lembaga survei mengemuka kembali.
Ketua Dewan Etik Perhimpunan Lembaga Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Hamdi Muluk menilai, perlu ada sertifikasi untuk setiap lembaga yang menjalankan penelitian opini publik. Meskipun dia mengakui, sebelumnya sempat bersikap liberal terhadap kemunculan lembaga-lembaga survei sampai akhirnya terjadi kehebohan hasil hitung cepat Pilpres kemarin.
"Sekarang perlu pengetatan? Betul," kata Hamdi dalam acara bertajuk 'Survei dan Media Sosial dalam Demokrasi Indonesia' di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, Jumat 22 Agustus 2014.
"Tidak boleh sembarang orang masuk riset itu. Hal-hal yang fundamental dia nggak ngerti," imbuh dia.
Pakar psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) itu menilai, bisa saja orang-orang yang melahirkan lembaga survei 'asal-asalan' tersebut tak kredibel. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
"Mungkin awalnya preman, orang culas, maling, untuk mendapat bayaran. Kita terlalu liberal tanpa ngecek, cukup nggak pengalaman akademiknya, pernah belajar sampling nggak, belajar statistik nggak, psikometri," cetus dia.
Menurut Hamdi, masalah ini tak bisa dibiarkan. Kemunculan lembaga-lembaga survei harus disaring.
"Ini gawat juga, sikap saya jadi berubah sekarang karena banyak kasus survei asal-asalan. Perlu pengetatan, tidak boleh liberal lagi. Ilmu penting. Kalau kita berpikir ada sertifikasi, ini siapa yang melakukan. Siapa lembaga yang bisa secara legal formal mengeluarkan itu. Ini harus sama-sama dipikirkan," tandas Hamdi.
Advertisement
Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mengeluarkan Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dari kelembagaan Persepi karena dinilai tidak transparan. (Mvi)