Kisah Deya, WNI di Amerika yang 5 Tahun Berturut-Turut Puasa Ramadan 17 Jam

Bulan Ramadan jatuh tepat pada musim panas di Amerika Serikat menjadikan waktu siang lebih panjang daripada malam. Ini kisah WNI Deya.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 12 Jun 2018, 00:20 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2018, 00:20 WIB
Deya Faaghna, WNI di Iowa, Amerika Serikat yang berpuasa Ramadan 17 jam selama 5 tahun berturut-turut. (Istimewa)
Deya Faaghna, WNI di Iowa, Amerika Serikat yang berpuasa Ramadan 17 jam selama 5 tahun berturut-turut. (Istimewa)

Liputan6.com, Iowa - Sudah lima tahun berturut-turut, bulan Ramadan jatuh tepat pada musim panas di Amerika Serikat. Mau tak mau, WNI yang ada di negeri itu harus menjalani puasa dengan waktu lebih lama.

"Ini berarti saya, Deya Faaghna, harus berpuasa selama 17 jam saja, karena saat musim panas waktu siangnya lebih panjang dan matahari terbenam sekitar pukul 21.00 malam," ujar salah seorang WNI yang kuliah dan kerja di Iowa, Amerika Serikat dalam keterangan tertulis yang Liputan6.com terima Senin (11/6/2018).

"Cukup panjang bagi saya yang terbiasa dengan masa puasa yang 12 sampai 13 jam di Indonesia. Untungnya, ada kesibukan yang dilakukan di kampus ataupun kantor sehingga terkadang lupa sedang berpuasa," tambahnya.

Deya kini tengah menempuh pendidikan jenjang strata satu di Universitas Iowa State University, Kota Ames, Iowa. Jurusan Community dan Regional Planning. Sebelumnya, menempuh community college di North Iowa Area.

Ia menuturkan bahwa lamanya puasa tak terasa karena padatnya kegiatan dalam satu hari.

"Saya mengawali hari dengan pergi ke kampus, lalu sering saya habiskan sisa waktu di learning center atau studio. Namun, jika sedang tidak ada kelas, maka saya akan mengerjakan tugas di studio."

"Jadi, kadang rasa lapar dan haus saya kalah dengan segala kegiatan yang sedang saya kerjakan dan tanpa terasa sudah dekat dengan waktu berbuka. Agar tidak terlewat waktu berbuka maupun imsakiyah dan salat, saya menggunakan apps Muslim Pro. Bagusnya lagi, dengan apps ini, saya juga bisa mendapatkan info mengenai arah kiblat."

Saat bulan Ramadan di Amerika, sambung Deya, banyak rekan yang penasaran dengan tradisi berpuasa yang dijalaninya. Dengan sabar ia menjelaskan bahwa hal tersebut adalah kewajiban mutlak bagi seorang Muslim.

"Saya juga tambahkan bahwa berpuasa juga tidak hanya sekadar menahan rasa lapar dan haus, namun juga menahan diri untuk tidak emosi, tidak bertutur kata dan bersikap kasar dan lebih banyak mengisi bulan Ramadan dengan hal-hal baik dan positif."

Deya juga tak berekspektasi apapun terhadap rekan kerja maupun rekan kuliah dengan penjelasan tersebut. Kendati demikian, mereka sungguh mengapresiasi dan menghargai dirinya yang tengah berpuasa melalui hal-hal kecil namun bermakna.

"Misalnya saja rekan kantor memilih untuk menuntaskan makan siang di kafetaria selama bulan puasa, padahal biasanya mereka akan makan dan ngobrol santai di meja kantor masing-masing."

"Juga saat ada kegiatan organisasi kemahasiswaan, rekan-rekan memindahkan jadwal rapatnya menjadi malam hari agar saya bisa ikut makan setelah rapat selesai. Atau mereka akan siapkan box makanan khusus sehingga saya bisa bawa pulang roti isi yang disediakan."

Bulan Ramadan baik di Amerika atau Indonesia tentunya identik dengan buka puasa bersama.

"Di tempat saya, di Darul Arqum Islamic Center, setiap dua minggu sekali selama bulan Ramadan diadakan iftar akbar bersama semua komunitas dengan sistem potluck."

Jadi, setiap keluarga atau peserta iftar datang membawa makanan masing-masing untuk dimakan bersama. Menu yang ada bisa beragam karena komunitas Muslim saya terdiri dari berbagai orang dengan kebangsaan berbeda.

"Mereka ada yang dari Mesir, Pakistan, Iraq, dan Sudan. Senang sekali saat iftar akbar, saya jadi bisa mencicipi berbagai hidangan khas dari berbagai negara."

Di kala harus berbuka sendiri, Deya mengaku lebih memilih kurma Medjol untuk santapannya. "Bisa saya beli di toko kelontong halal bernama Pammel. Toko ini juga menjajakan makanan-makanan khas Timur Tengah."

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

 

 

Tantangan Tarawih hingga Sahur

Ilustrasi salat
Ilustrasi salat (iStock)

Setelah berbuka, biasanya dilanjutkan dengan salat tarawih. Bisa di apartemen atau Masjid Darul Arqam untuk berjamaah. Biasanya dimulai setiap malam pada pukul 22.30 dan berakhir pukul 23.00.

"Ini menjadi tantangan tersendiri buat saya, karena harus kuat melek sampai mendekati tengah malam sedangkan beberapa jam kemudian sudah harus bangun lagi untuk makan sahur. Setiap hari Jumat, saya memilih mengikuti acara halaqah, yaitu membahas dan mengkaji Alquran bersama sesama rekan muslim perempuan," ujar Deya.

"Sedangkan seminggu menjelang Ramadan, kami para perempuan juga sering berkumpul untuk Malam Henna. Jadi, kebetulan ada pelukis henna yang didatangkan untuk menggambar menggunakan henna."

Anak-anak juga turut meriahkan iftar bersama dan Malam Henna.

Untuk sahur, biasanya dengan menu makanan yang sederhana dan mudah namun mengenyangkan.

"Pilihan saya biasanya adalah roti isi daging kalkun plus sop tomat. Mudah membuatnya namun rasa enak dan padat untuk menjadi sajian sahur. Dalam bulan puasa, saya cenderung menyimpan makanan yang lebih berserat karena serat mampu membuat saya lebih tahan lapar," papar Deya.

Ramadan di luar negeri mungkin terasa lebih sulit karena bedanya budaya dan saya menjadi kaum minoritas di Amerika Serikat. Namun, pengalaman berpuasa yang sudah lima tahun lebih dijalani sungguh mengajarkan banyak hal seperti toleransi, kebersamaan dan nilai-nilai keragaman.

"Buat saya, ini adalah pengalaman yang sangat berharga dan saya sangat menghargai setiap momen yang saya jalani selama bulan Ramadan sembari senantiasa mensyukuri berkat yang diberikan Tuhan Allah SWT...", tegasnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya