Liputan6.com, Jakarta - Mayoritas jemaah asal Indonesia menunaikan ibadah haji dengan tamattu'. Jenis haji ini mewajibkan para jemaah untuk menyembelih kurban sebagai denda atau dam.
Namun dalam pelaksanaannya, pembayaran dam ini masih belum terkelola dengan baik. Para jemaah membayar dam yang kerap menimbulkan keraguan.
Baca Juga
Atas hal ini, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag), Nizar Ali, mengaku setuju bila masalah dam ini dikelola pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya, ada sejumlah kendala.
Advertisement
"Tidak semua jemaah haji melakukan tamattu, tapi ada haji ifrad," kata Nizar Ali di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Selain itu, lanjut dia, publik mempertanyakan kepercayaannya kepada Kemenag. "Apakah kemenag mampu mengelola dam," lanjut dia.
Namun begitu, Kemenag terus mengupayakan pelayanan dam ini berjalan lebih baik. Di antaranya pemerintah telah melakukan penjajakan kepada Islamic Development Bank (IDB) untuk menerima pembayaran melalui bank.
"Masuk di IDB manfaat dagingnya bisa dikembalkan ke Tanah Air. Layanannya akuntabel. Daging itu dipacking. Namun biaya transport barang ditanggung pemerintah Indonesia. Ini yang belum deal," ujar dia.
"Indonesia bukan seperti negara Afrika. Kalau kirim ke Afrika gratis," imbuh Nizar.
Namun begitu, ada opsi untuk jemaah haji. Pemerintah meminta bank Arrajhi, kantor pos Arab Saudi membuka pelayanan di beberapa sektor untuk pembayaran dam.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Target 2020
Ke depannya, lanjut Nizar Ali, pemerintah akan mengelola dam jemaah haji secara lebih baik. Saat ini kajian itu masih terus dilakukan.
"Targetnya tahun 2020. Dam dalam kajian. Dari sisi akademis menghilangkan keraguan dari jemaah haji tertait tentang pelaksanaan kurban. Dam dikelola oleh negara solusi yang bagus," ujar dia.
Karena itu, pada 2020, kajian itu akan terus didalami. Jika memungkinkan dilaksanakan, kebijakan itu pun akan diterapkan setelah melalui rangkaian proses.
"Visibilitasnya kalau dilakukan 2020 akan dilakukan. Tentu harus ada persetujuan Komisi VIII DPR," ujar Nizar Ali.
Â
Advertisement