Liputan6.com, Jakarta Iktikaf merupakan ibadah yang dianjurkan. Pada sepuluh akhir bulan Ramadhan ibadah iktikaf semakin dianjurkan. Karena tergolong ibadah, iktikaf memiliki rukun dan syarat-syarat tersendiri. Pembahasan iktikaf biasanya ditempatkan setelah kajian puasa.
Berikut ini keterangan yang kami kutip sebagian dari ulama bermazhab Syafi’i, seperti dikutip NU:
Baca Juga
قوله (وَلَهُ) أَيْ الِاعْتِكَافِ (شَرْطَانِ) أَيْ رُكْنَانِ فَمُرَادُهُ بِالشَّرْطِ مَا لَا بُدَّ مِنْهُ بَلْ أَرْكَانُهُ أَرْبَعَةٌ كَمَا سَتَعْرِفُهُ
Advertisement
Artinya, “Iktikaf memiliki dua syarat, maksudnya dua rukun. Yang dimaksud syarat adalah sesuatu yang harus ada. Bahkan, iktikaf itu memiliki empat rukun sebagaimana kau akan mengenalnya,” (As-Syarbini Al-Khatib, Al-Iqna fi Halli Alfazhi Abi Syuja, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 247).
Adapun rukun iktikaf yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Niat.
Niat dipasang di dalam hati sebagaimana ibadah lainnya. Orang yang bernazar itikaf harus meniatkan kewajiban pada niat iktikafnya karena iktikaf nazarnya merupakan iktikaf wajib. Hal ini penting dilakukan untuk membedakannya dengan yang sunah.
2. Berdiam/mukim.
Seseorang harus bermukim atau “berdiam” di tempat iktikaf minimal selama tumakninah lebih sedikit. Dengan demikian, iktikaf tidak cukup “berdiam” selama tumakninah saja. Orang yang mondar-mandir di masjid dengan durasi iktikaf dan meniatkannya sebagai iktikaf tergolong telah melaksanakan iktikaf.
3. Di masjid
Masjid menjadi tempat yang disyaratkan oleh mazhab syafi’i. Dengan demikian, iktikaf pada selain masjid menurut mazhab Syafi’i tidak sah (sebagian ulama membolehkan itikaf pada selain masjid). Masjid sebagai tempat iktikaf didasarkan pada hadits riwayat Bukhari, Muslim, ijma, dan Surat Al-Baqarah ayat 187.
Masjid jami merupakan tempat ideal daripada masjid lainnya karena lebih dapat menampung banyak jemaah. Masjid jami juga sangat dianjurkan sebagai tempat iktikaf karena mereka yang beritikaf tidak perlu keluar masjid untuk shalat Jumat.
4. Orang yang beriktikaf
Orang yang beriktikaf harus muslim, berakal, dan suci dari hadats besar. Dengan demikian, iktikaf orang kafir, iktikaf orang gangguan kejiawaan, dan iktikaf orang yang berhadats besar tidak sah. Adapun potongan Surat Al-Baqarah ayat 187 adalah sebagai berikut:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya, “…Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf di dalam masjid…” (Surat Al-Baqarah ayat 187). Adapun hadits yang menjelaskan itikaf antara lain diriwayatkan Sayyidah Aisyah RA:
وَعَنْهَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya, “Dari Sayyidah Aisyah RA, Rasulullah SAW beritikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan. Hal ini dilakukannya sampai beliau wafat. Sepeninggal Rasulullah SAW, tradisi itikaf dilanjutkan oleh para istrinya” (HR Bukhari dan Muslim).
Advertisement