Liputan6.com, Purbalingga - Rumah tua itu di antara rerimbunan pepohonan itu tampak asri khas pedesaan di kaki Gunung Slamet. Siapa sangka rumah ini pernah beberapa kali menjadi markas perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Rumah ini milik H Kusmawireja, di Desa Karangcegak, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Kusmawireja yang lahir sekitar tahun 1920-an masih. Ia tampak sehat di usia senjanya. Dia adalah sosok pejuang tanpa pamrih.
Advertisement
Baca Juga
Menurut putra ketiganya, Sakirin, ayahnya sering bercerita tentang masa perjuangan untuk mempertahankan tanah air dari penjajahan Jepang dan Belanda. Sakirin yang menjadi juru bicara pun menuturkan bahwa saat remaja Kusmawireja mengikuti pendidikan militer.
"Pada masa pendudukan Jepang bapak saya masih remaja yang kemudian dilatih kemiliteran, sampai sekarang masih hapal lagu-lagu wajib Jepang," tutur Sakirin, di Purbalingga.
Sakirin menceritakan, dulu wilayah perjuangan ayahnya meliputi Purbalingga, Purwokerto, Cilongok, dan Ajibarang. Ayahnya sendiri bertugas untuk membawa senjata dan ransel para pejuang yang lain. Beberapa senjata dan ransel ia panggul sendiri dengan penuh keikhlasan dan semangat juang demi kemerdekaan Indonesia.
"Setelah Jepang pergi dari Indonesia, Belanda datang lagi, saat berjuang melawan Belanda, markas besarnya para pejuang di rumah ini," ujarnya.
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pernah Dituduh Mata-Mata DI/TII
Pada saat itu, lanjut Sakirin, H. Kusmawireja di bawah pimpinan Kolonel Infanteri Poedjadi Djaring Bandapoedja dalam agresi militer Belanda kedua. Diceritakan, ayahnya bersama para pejuang yang lain pernah menghadang kereta api yang mengangkut logistik Belanda di Ajibarang.
"Setiap pulang dari perjuangan ayah saya diperintahkan untuk menyembunyikan senjata dengan menggali tanah di kebun bambu kemudian ditutup kembali dengan dedaunan," lanjutnya.
Pada saat pemberontakan Darul Islam/ \Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Kusmawireja ditangkap di Kedung Banteng, Purwokerto dengan dugaan sebagai mata-mata DI.
Pada saat itu, jika dalam waktu sehari semalam tidak ada pejabat setempat yang menjemput maka akan dieksekusi hingga akhirnya Penatus (Lurah-red) Karangcegak menjemput dan membebaskannya.
Usai kemerdekaan, Kusmawireja berprofesi sebagai petani dan pernah juga berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kini veteran yang telah dikaruniai 7 anak, 24 cucu, dan 29 buyut menikmati masa senjanya dengan rasa bahagia karena bisa merasakan kedamaian setelah kemerdekaan Indonesia dari penjajah Jepang dan Belanda.
"Alhamdulillah pada tahun 90-an pemerintah memberikan tanda jasa dan SK Veteran, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pemerintah yang telah memberikan perhatian kepada para pejuang kemerdekaan,"Â kata dia.
Tim Rembulan
Advertisement