Suami Orgasme Terus Berhenti Sementara Istri Belum Puas, Bagaimana Hukumnya?

Si suami sudah keluar, maka langsung berhenti. Padahal sang istri belum mencapai puncak. Bagaimana perspektif Islam melihat ini?

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Okt 2022, 12:30 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2022, 12:30 WIB
Hubungan Intim/Seks
ilustrasi/copyright unsplash.com/HOP DESIGN

Liputan6.com, Banyumas - Hidup berumah tangga selalu dinamis. Kadang begitu mesra, ada pula saat di mana hubungan suami istri tegang. Terkadang yang memicu pertengkaran atau tak harmonis adalah hubungan intim.

Misalnya, satu pihak sudah puas atau orgasme lainnya belum terpuaskan. Ini Seperti yang ditanyakan oleh seorang wanita di laman NU.

Dia mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir, suaminya egois tiap kali berhubungan badan. Kalau si suami sudah keluar, maka langsung berhenti. Padahal sang istri belum mencapai puncak.

Si suami juga enggan diajak konsultasi dokter, dengan berbagai alasan. Dia bertanya, bagaimana perspektif Islam melihat perilaku suami yang egois dalam berhubungan badan atau seks.

Hubungan badan antara suami-istri sudah sepatutnya kedua pasangan mesti saling mengerti dengan keinginan masing-masing. Jangan sampai salah satu pihak merasa “puas” tetapi mengabaikan pihak lain.

Komunikasi yang baik di antara keduanya adalah kata kuncinya. Idealnya dalam berhubungan badan antara suami-istri adalah kedua belah pihak merasa puas, keluar bersama-sama.

Namun terkadang bisa suaminya yang lama, istrinya tidak atau sebaliknya. Perbedaan ini memang acapkali menimbulkan masalah, terutama jika pihak suami yang keluar duluan padahal istrinya belum. Istri pasti kecewa dan “ngambek” karena syahwatnya tidak dituntaskan.

Atau bisa jadi, suami egois karena langsung berhubungan intim, tanpa pemanasan alias foreplay. Sementara, istrinya belum siap. Dan itu akan berpengaruh terhadap tingkat kepuasan istri.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Suami Tak Boleh Biarkan Istrinya 'Merana'

Hubungan Intim/Seks
Ilustrasi/copyright shutterstock.com/Kristyk.photo

وَاْلاِخْتِلَافُ فيِ طَبْعِ الْإِنْزَالِ يُوجِبُ التَّنَافُرِ مَهْمَا كَانَ الزَّوْجُ سَابِقاً إِلَى الْإِنْزَالِ ، وَالتَّوَافُقُ فِي وَقْتِ الْإِنَزَالِ أَلَذُّ عِنْدَهَا وَلَا يَشْتَغِلُ الرَّجُلُ بِنَفْسِهِ عَنْهَا فَإِنَّهَا رُبَّمَا تَسْتَحْي

Artinya, “Perbedaan karakter keluarnya mani (diantara suami-isteri, pent) akan menimbulkan perselisihan terutama jika pihak suami keluar terlebih dahulu. Padahal bagi istri keluar secara bersamaan akan terasa lebih nikmat. Suami tidak boleh mementingkan egonya sendiri sehingga mengabaikan istrinya. Sebab, acapkali istri merasa malu untuk mengungkapkan gejolaknya,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir, Mushthafa Al-Babi Al-Halabi, 1358 H/1939 M, juz 2, halaman 52).

Lantas bagaimana jika suami keluar duluan, kemudian ia membiarkan istrinya padahal syahwatnya belum tuntas seperti deskripsi masalah di atas?

Dalam konteks ini menarik apa yang dikemukakan Ibnu Qudamah melalui kitab Al-Mughni. Menurutnya, tindakan suami yang dalam berhubungan badan dan keluar duluan kemudian mengabaikan istrinya padahal ia belum tuntas syahwatnya adalah makruh.

إِنْ فَرَغَ قَبْلَهَا ، كُرِهَ لَهُ النَّزْعُ حَتَّى تَفْرُغَ ؛لِمَا رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { إذَا جَامَعَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ فَلْيَصْدُقْهَا ، ثُمَّ إذَا قَضَى حَاجَتَهُ ، فَلَا يُعَجِّلْهَا حَتَّى تَقْضِيَ حَاجَتَهَا } .وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ ضَرَرًا عَلَيْهَا ، وَمَنْعًا لَهَا مِنْ قَضَاءِ شَهْوَتِهَا

Artinya, “Apabila suami keluar terlebih dahulu sebelum istrinya, maka dimakruhkan bagi suami untuk melepaskannya sebelum istri menuntaskan syahwatnya. Karena ada riwayat dari Anas bin Malik RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW besabda, ‘Ketika seorang suami menggauli istrinya, maka hendaknya ia memberinya cinta dengan tulus (falyashduqha). Kemudian ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, maka jangan terburu-terburu untuk mengakhirinya sebelum istrinya menuntaskan hajatnya juga.’ Demikian itu karena bisa menimbulkan bahaya bagi istri dan menghalanginya untuk menuntaskan syahwat,” (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Fikr, 1405 H, juz VIII, halaman 136).

Kalimat “hendaknya ia memberinya cinta dengan tulus” (falyasduqha) maksudnya adalah hendaknya ia (suami) menggauli istrinya dengan sungguh-sungguh, perkasa, dan memberikan servis di ranjang dengan baik serta penuh kasih sayang.

Makruh Suami Biarkan Istrinya Belum Tuntas

Hubungan Seks Hubungan Intim
Ilustrasi Hubungan Seks (iStockphoto)

Hal ini mengacu kepada penjelasan dalam kitab At-Taysir bi Syarh Jami’is Shaghir karya Abdurrauf al-Munawi.

فَلْيَصْدُقْهَا ) بِفَتْحِ الْمُثَنَّاةِ وَضَمِّ الدَّالِ مِنَ الصِّدْقِ فِي الوُدِّ وَالنَّصْحِ أَيْ فَلْيُجَامِعْهَا بِشِدَّةٍ وَقُوَّةٍ وَحُسْنِ فِعْلٍ

Artinya, “’Falyashduqha’ dengan diberi tanda harakat fathah pada huruf yang bertitik dua (huruf ya`) dan diharakati dhammah huruf dal-nya berasal dari ungkapan ash-shidq fil wudd wan nashh (tulus dalam memberikan cinta dan nasihat). Maksudnya adalah hendaknya ia (suami) menggauli istrinya dengan sungguh-sungguh, perkasa, dan menggaulinya dengan cara yang baik,” (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, At-Taysir bi Syarhi Jami’is Shaghir, Riyadl, Maktabah Al-Imam Asy-Syafi’i, cet ke-3, 1408 H/1988 M, juz I, halaman 175).

Mengacu pada penjelasan di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa makruh bagi suami ketika berhubungan badan dan keluar terlebih dahulu terburu-buru untuk melepaskan istri atau membiarkannya, sementara ia (istri) belum sampai menuntaskan syahwatnya. Hal ini karena bisa menimbulkan mudharat atau kerugian bagi istri karena tertunda syahwatnya.

Di samping itu seorang suami sudah sepatutnya untuk menggauli istrinya dengan penuh kesungguhan, menunjukan keperkasaannya serta menggauli dengan cara yang baik. Hal ini penting diperhatikan bagi para suami agar terhindar dari percekcokan dengan istri.

Sebab, jika di “ranjang” sendiri bermasalah, maka akan mengakibatnya munculnya masalah di luar “ranjang” sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hamid Al-Ghazali di atas. Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat. Bagi suami yang kurang perkasa di “ranjang”, lakukan komunikasi secara baik-baik dengan istri, kemudian segeralah berkonsultasi dengan ahlinya serta jangan lupa untuk selalu berdoa. Kami selalu terbuka menerima saran dan kritik dari para pembaca.

(Sumber:https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-egois-salah-satu-pasutri-dalam-hubungan-badan-AUPf2)

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya