Jejak Ahmadiyah di Indonesia, Kontroversi hingga Persekusi

Ahmadiyah adalah sebuah aliran agama yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India pada 23 Maret 1889 sebagai gerakan kebangkitan dalam Islam yang menekankan ajaran pokok perdamaian, cinta, keadilan, dan kesucian hidup.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 10 Okt 2022, 00:30 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2022, 00:30 WIB
Mirza Ghulam Ahmad, pendiri organisasi keagamaan Ahmadiyah (Wikimedia Commons)
Mirza Ghulam Ahmad, pendiri organisasi keagamaan Ahmadiyah (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Jakarta - Ahmadiyah adalah sebuah aliran agama yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India pada 23 Maret 1889 sebagai gerakan kebangkitan dalam Islam yang menekankan ajaran pokok perdamaian, cinta, keadilan, dan kesucian hidup.

Pengikut Ahmadiyah dikenal dengan Jamaah Muslim Ahmadiyah. Jamaah Muslim Ahmadiyah percaya bahwa Allah SWT mengutus Mirza Ghulam Ahmad untuk mengakhiri peperangan agama, pertumpahan darah, dan menegakkan kembali akhlak, keadilan, serta perdamaian.

Pengikut Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yang diutus setelah Rasulullah SAW. Kemudian Mirza Ghulam Ahmad juga mendakwahkan diri sebagai metafora kedatangan kedua Nabi Isa dan Imam Mahdi. Hal inilah menjadi poin kontroversi keberadaan Ahmadiyah, termasuk di Indonesia.

Meski kerap menuai kontroversi, Jamaah Muslim Ahmadiyah sudah menyebar luas ke berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Pengikut Ahmadiyah tersebar lebih dari 200 negara dengan jumlah anggota puluhan juta.

Mengutip laman resmi Ahmadiyah.id, Jamaah Muslim Ahmadiyah adalah organisasi Islam terdepan yang menolak terorisme. Lebih dari satu abad yang lalu, Mirza Ghulam Ahmad dengan tegas menyatakan bahwa ‘jihad dengan pedang‘ tidak memiliki tempat dalam Islam. 

Sebaliknya, Mirza Ghulam Ahmad mengajarkan umat Islam untuk mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan teladan Rasulullah SAW dan membela Islam dengan ‘jihad pena‘ yaitu jihad intelektual. Hal ini telah dicontohkan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Ia telah menulis lebih dari 80 buku dan puluhan ribu surat, menyampaikan ratusan ceramah, serta melakukan berbagai debat publik.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia

Masjid Al-Aqso
Melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan Dalam Masyarakat (Bakorpakem), Pemkab Tasikmalaya memaksa penutupan Masjid Al-Aqso milik jemaat Ahmadiyah. (Liputan6.com/ Ist)

Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tidak lepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia yang merantau ke India.

Melansir laman Alislam.org, ketiga pemuda tersebut adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan. Setelah tiga pemuda itu, datang lagi 20 pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah.

Pada 1925 Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda. Pada 1926 Ahmadiyah resmi menjadi organisasi keagamaan di Padang. Kemudian organisasi Islam ini menyebar luas ke seluruh penjuru di Indonesia.

Namun, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi kontroversi dan perdebatan di beberapa kalangan. Pasalnya, Ahmadiyah dinilai aliran sesat karena pengikutnya mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Padahal di Islam sendiri sudah tegas nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW.

Kontroversi Ahmadiyah Dibawa ke Meja Dialog

Demo tolak Ahmadiyah
Aliansi Benteng Aqidah (ABA) melakukan aksi penolakan keberadaan Ahmadiyah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan melakukan orasi di pendopo Kabupaten Bogor pada Senin, 16 Maret 2020. (Liputan6.com/ Ist)

Mengutip Historia.id, kontroversi Ahmadiyah di Indonesia tidak selamanya berujung kekerasan. Kontroversi ini akhirnya dibawa ke meja dialog pada 28-29 September 1933. Meja dialog membahas kontroversi Ahmadiyah ini diikuti oleh beberapa organisasi Islam, seperti Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama, hingga Al-Irsyad.

Iskandar Zulkarnain dalam bukunya berjudul Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, menerangkan bahwa tiga tahun setelah pertemuan itu pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang pengesahan Ahmadiyah.

Berdasarkan ketetapan menteri tanggal 13 Maret 1953  No. JA.5/23/13, Ahmadiyah sah sebagai organisasi keagamaan di Indonesia. Pengesahan ini juga dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 22, 31 Maret 1953.

Ketetapan tersebut kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara No 3 Tahun 1989, dan Tambahan Berita Negara No 65 Tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan terhadap eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen Agama RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia.

Dua Aliran Ahmadiyah

FKUB Jawa Tengah : Ahmadiyah Muslim yang taat, sangat aneh jika ada yang masih mencurigai Ahmadiyah
FKUB Jawa Tengah : Ahmadiyah Muslim yang taat, sangat aneh jika ada yang masih mencurigai Ahmadiyah

Ahmadiyah terbagi menjadi dua aliran, yakni Qadian dan Lahore. Jamaah Ahmadiyah beraliran Qadian dinilai sesat. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional II di Jakarta pada 26 Mei-1 Juni 1980 memfatwa jamaah Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat.

Menurut Tim Penulis Ensiklopedi Islam yang diketuai Prof Harun Nasution, kedua golongan Ahmadiyah itu tetap percaya penuh pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Jamaah Ahmadiyah juga disebut masih beriman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, Rasul-Nya, hari akhir, hingga takdir-Nya.

Tim Penulis Ensiklopedi Islam mengutip buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, menyebutkan dua golongan Ahmadiyah ini percaya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi. Namun, mereka (Qadian) menyempitkan artinya menjadi penutup para nabi yang membawa syariat.

Sementara itu, nabi-nabi yang tidak membawa syariat masih dibutuhkan setelah Nabi Muhammad SAW. Inilah yang membuat jamaah Ahmadiyah mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan menjadi titik perdebatan berbagai kalangan.

Ini pula yang kerap memicu polemik dan menyebabkan jemaah Ahmadiyah di berbagai daerah mengalami diskriminasi bahkan persekusi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya