Liputan6.com, Bangkalan - Nahdliyin mahfum, Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 1926 atau nyaris seabad lalu. Pendirinya adalah Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari, ulama besar yang dalam lagi luas cakrawala pengetahuannya.
Namun, tak banyak yang mengetahui, ada fragmen-fragmen penting sebelum NU benar-benar dideklarasikan di di Kota Surabaya, pada 1926. Salah satunya, peran Syaikhona Kholil Bangkalan, gurunya para kiai Indonesia, terutama di Jawa.
KH Hasyim Asy'ari sendiri adalah santri Mbah Kholil Bangkalan, nama lain yang juga populer, pendiri Pondok Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura.
Advertisement
Sebelum pendirian NU, Mbah Kholil memberikan tongkat dan tasbih untuk KH Hasyim Asyari. Ini adalah bentuk restu sekaligus dukungan guru kepada muridnya yang akan mendirikan jam'iyah.
Baca Juga
Peristiwa itu terjadi setelah dua tahun lamanya, pendiri Pesantren Tebuireng di Jombang itu, mencari "isyarat langit" yang tak kunjung datang lewat salat istikharah. Penyerahan tongkat dan tasbih yang diperkirakan terjadi pada 1924 dan dianggap sebagai isyarat langit yang selama ini dicari.
Mengutip kanal Regional Liputan6.com, As'ad, seorang santri, diutus Kiai Kholil mengantarkan tongkat dan tasbih itu ke Tebuireng. Kelak murid ini dikenal sebagai KH As'ad Syamsul Arifin, pendiri pesantren paling berpengaruh di Situbondo, Salafiyah Syafi'iyah.
Hikayat tentang tongkat dan tasbih itu dituturkan Kiai As'ad dalam sebuah ceramah yang direkam dalam pita kaset. Isinya kemudian ditranskip dan dimuat dalam buku berjudul 'Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama'.
Buku yang terbit pada 2012 ini ditulis mantan Bupati Bangkalan RKH, Fuad Amin Imron, yang wafat pada 16 September 2019. Terlepas dari semua kontroversi dan skandal dalam 71 hidupnya, buku ini terasa istimewa karena penulis adalah cicit Syaikhona Kholil Bangkalan, ulama yang disegani itu.
Selama nyantri ke Mbah Kholil, As'ad muda hanya ditugasi mencari kayu bakar. Namun, pada 1924 itu, ia dipercaya mengemban amanah besar, mengantarkan tongkat dan tasbih itu, dari Bangkalan menuju Tebuireng.
Maka Kiai As'ad adalah saksi sekaligus pelaku sejarah berdirinya NU, sebuah organisaai keagamaan dengan jumlah pengikut terbanyak di Indonesia. Kiai As'ad memulai kisahnya enam tahun sebelum NU diresmikan di di rumah KH Wahab Hasbullah, Kota Surabaya, pada 31 Januari 1926.
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Menangkal Wahabi
Pada 1920, kata Kiai As'ad, sebanyak 67 ulama Nusantara berkumpul di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Selama sebulan, mereka bermukim di rumah Kiai Muntaha Desa Jengkebuen, guna membahas kemunculan aliran baru yang gencar menyiarkan pemurnian ajaran Islam dengan hanya berpedoman pada Al-Qur'an dan Hadis.
Para ulama itu resah oleh aliran baru yang kemudian hari dinamai Wahabi karena mengharamkan tahlil dan ziarah kubur, sebuah ajaran yang sudah lama dipraktekkan oleh pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dibawa Wali Songo ke tanah Jawa.
Pertemuan gawat di tahun 1920 itu tak menemukan solusi bagaimana meredam Wahabi yang gerakannya kian gencar dan massif. Mereka butuh fatwa KH Muhammad Kholil, seorang ulama di Bangkalan yang masyhur karena kealiman dan kewaliannya juga mertua Kiai Muntaha.
Belum sempat Kiai Muntaha menemui sang mertua. Kiai Kholil mengutus Nasib, seorang muridnya ke Jengkebuen. Nasib diminta membaca surat As-Shaaf ayat 8 dan 9 kepada para ulama di rumah menantunya itu.
Para Ulama itu puas dan lalu pulang, karena ayat itu rupanya adalah fatwa yang mereka tunggu atas munculnya gerakan yang dicetuskan ulama Arab Saudi, Ibnu Abdul Wahhab yang pengaruhnya begitu kuat setelah Kota Mekkah ditaklukkan seorang Kepala Suku bernama Al-Saud yang kemudian mendirikan kerajaan dan masih berkuasa sampai kini.
"Itulah karomah Kiai Kholil. Sudah tahu jawaban atas sebuah pertanyaan yang belum disampaikan," kata Kiai As'ad.
Antara tahun 1921 hingga 1922, sesudah pertemuan ulama di Bangkalan dua tahun sebelumnya, sebanyak 46 ulama Pulau Jawa dan Madura bertemu di Kawatan Surabaya, rumah Kiai Mas Alwi.
Kali itu pokok bahasan lebih kongkret yaitu pembentukan sebuah organisasi untuk menangkal kemunculan kelompok Islam yang tidak senang pada ajaran ahlussunnah.
Di antaranya kiai yang hadir antara KH Hasyim Asyari, KH Hasan Genggong, KH Samsul Arifin, KH Dahlan Nganjuk, dan KH Asnawi Kudus dan Kiai Taher Bungkuk juga kiai-kiai Jombang.
Namun, pertemuan itu tak kunjung seiya-sekata. Sebagian sepakat membentuk organisasi baru, Sebagian lagi mengusulkan agar memperkuat organisasi yang sudah ada seperti Sarekat Islam atau Masyumi.
Karena tak juga menemukan jalan keluar, kata As'ad, seorang kiai akhirnya menghadap Kiai Kholil Bangkalan. Dia kemudian bercerita pernah membaca tulisan Sunan Ampel sewaktu nyantri di Kota Madinah.
Isinya menceritakan Sunan Ampel pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. "Dalam mimpi itu Nabi Muhammad berpesan agar ajaran ahlus sunnah dibawa ke Indonesia karena orang-orang Arab sendiri tidak mampu melaksanakannya," ujar As'ad.
Advertisement
Penyerahan Tongkat dan Berdirinya NU
Â
Di Cirebon, pada 1921 itu, kongres Islam pertama digelar. HOS Cokroaminoto, tokoh Sarekat Islam, memimpin kongres. Namun tujuan kongres untuk menyatukan visi dan misi umat Islam dan mengurangi ketegangan antar kelompok tak tercapai.
Al-Irsyad yang diwakili Ahmat Soorkatti dan ulama tradisional yang diwakili KH Wahab Hasbullah dan KH Asnawi Kudus berbeda pandangan soal mazhab.
Di tengah berbagai upaya menyatukam visi umat Islam itu dan tarik ulur kiai-kiai tradisional membentuk organisasi baru. Pada sebuah pagi di awal 1924, Kiai Kholil tiba-tiba memanggil As'ad.
Dia diminta sang guru mengantarkan sebuah tongkat pada KH Hasyim Asyari di Tebuireng. Pada akhir tahun itu, As'ad dipanggil lagi, kali ini mengantarkan tasbih.
Menurut Kiai As'ad, ketika menerima dua benda itu, Kiai Hasyim memberi reaksi yang berbeda. Saat menerima tongkat disertai potongan ayat surat Thaha ayat 17-23, Kiai Hasyim langsung berujar bahwa dengan tongkat itu hatinya makin mantap untuk mendirikan organisasi bernama Jam'iyatul Ulama dan tongkat itu disebut sebagai tongkatnya Nabi Musa.
Sementara menerima tasbih yang disertai bacaan Ya Jabbar, Ya Qohhar, dua dari 99 Asmaul Husna, Kiai Hasyim Asyari berujar bahwa yang melawan ulama akan hancur.
"Saat disuruh Kiai Kholil dua kali ketemu Kiai Hasyim, saya dikasih ongkos dan tidak saya belanjakan, sampai sekarang masih ada," ujar As'ad.
Setahun kemudian, Kiai Kholil Bangkalan meninggal dunia tahun 1925, pada hari ke 29 bulan Ramadan. Setahun berselang, tepatnya pada 31 Januari 1926, NU resmi didirikan di rumah KH Wahab Hasbullah di Kampung Kertopaten, Surabaya.
Tanggal ini adalah tanggal dibentuknya 'komite hijaz'. Sebuah komite yang akan dikirim ke Mesir untuk mengikuti Muktamar Islam Dunia pertama, untuk memperjuangkan agar penguasa Arab Saudi tetap memperbolehkan ajaran Ahlussunah wal Jamaah diajarkan di Mekkah.
Atas usul Kiai Mas Alawi, nama Komite Hijaz diganti menjadi Nahdlatul Oelama', nama yang kemudian disepakati resmi menjadi nama organisasi untuk didaftarkan pada Gubernur Hindia Belanda. Salah satu penyusun anggaran dasar NU adalah KH Dahlan Nganjuk. Dan Lambang NU dibuat oleh KH Ridwan Abdullah Surabaya.
"Sudah jelas, ini kesaksian saya, karena saya tahu awal pembentukan NU yang saya cintai," ujar Kiai As'ad dalam ceramah itu.
Tim Rembulan