Liputan6.com, Aceh - Tsunami Aceh 2004 adalah adalah salah satu tragedi bencana alam terburuk yang tercatat dalam sejarah modern. Lebih dari 230 jiwa meninggal dan atau hilang.
Kala itu, gempa megatrust 9,1 skala Richter (SR) mengguncang Samudra Hindia, di lepas pantai Sumatera Utara, Indonesia yang lantas memicu tsunami dahsyat yang menyapu area pantai di sejumlah negara.
Indonesia kehilangan paling banyak penduduk. Dampak paling massif terjadi di Aceh. Sementara, di Aceh sendiri, salah satu daerah paling terdampak adalah Lhoknga, dekat Banda Aceh.
Advertisement
Baca Juga
Sebelum tsunami, wilayah ini dihuni oleh sekitar 6.000 orang. Sebagiannya adalah kalangan menengah atas.
Kota ini nyaris rata dengan tanah usai terjangan tsunami, 26 Desember 2022. Tak terhitung jumlah korban pasti di kota ini.
Namun ada keajaiban. Sebuah bangunan masjid berdiri tegak di tengah kehancuran. Sejumlah orang yakin, kuasa Illahi menyelamatkan Masjid Rahmatullah tersebut.
Masjid Rahmatullah ini menjadi saksi bagaimana kedahsyatan empasan gelombang tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, pada 2004 silam.
Masjid yang hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai ini menjadi satu-satunya bangunan yang tersisa. Meskipun beberapa sisi bangunan masjid rusak, sebagian besar tetap utuh dan selamat.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Kamera NASA
Keajaiban itu juga tertangkap satelit Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Foto Lhoknga dari angkasa luar menunjukkan fitur melingkar berwarna putih. Itu adalah sebuah masjid yang selamat dan berdiri kokoh di tengah segala kehancuran.
Salah seorang warga, bernama Syahrizal bin Razali, menceritakan bagaimana detik-detik datangnya tsunami saat dirinya tengah berada di depan Masjid Rahmatullah.
"Mereka berteriak air laut naik, air laut naik. Lari…lari…," ungkap Syahrizal menggambarkan kepanikan warga kala itu, dikutip Liputan6.com.
Syahrizal dan sejumlah jemaah yang berkumpul di depan masjid sempat tidak percaya dengan teriakan warga yang berlarian dari arah barat tersebut. Baru setelah melihat sendiri gelombang besar air laut yang datang bergulung-gulung menuju masjid, Syahrizal dan jemaah lain lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Akan tetapi terlambat, laju air laut lebih cepat dari langkah orang-orang kampung itu.
Advertisement
Banyak Warga Tak Selamat
Air bah menyapu apa saja yang ada di depannya; rumah-rumah, sekolah, balai desa, pohon-pohon, dan tentu saja orang-orang yang tak berdaya.
"Mereka habis, hanyut, dan rata dengan tanah. Kecuali Masjid Rahmatullah yang tetap berdiri kukuh. Bahkan, kubahnya utuh. Hanya lambang bulan bintangnya yang sedikit miring," ucap Syahrizal seperti dilansir dari jawapos.com.
Syahrizal mengaku sedih, karena ketika itu banyak warga terlambat menyelamatkan diri. "Waktu itu seharusnya kami lari ke bukit atau naik ke atap masjid. Pasti banyak yang selamat," sesal Syahrizal
Syahrizal memang termasuk satu di antara segelintir warga Lampuuk yang selamat. Dia mengaku saat itu tak sadar lari cepat sekali ke arah timur, menjauhi kejaran air laut.
"Pokoknya, saya lari sekencang-kencangnya. Saya enggak mikir apa-apa lagi. Yang penting selamat," imbuh pria yang saat ini menjadi bendahara Masjid Rahmatullah itu.
Setelah 13 tahun berlalu, kini masjid tersebut sudah cantik kembali. Bahkan, catnya terus diperbarui agar tetap terlihat bersih. Sebab, sejak masjid itu dibuka kembali setelah direnovasi, banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang berdatangan.
Mereka yang datang, kata Syahrizal, umumnya ingin membuktikan langsung kebenaran berita bahwa Masjid Rahmatullah selamat dari tsunami seperti yang tergambar dalam foto-foto yang beredar di media dan internet.
"Masjid ini sekarang menjadi objek wisata. Pengunjung datang untuk salat dan melihat langsung kondisi masjid," ucap dia.
Sisakan Monumen
Untuk mengenang bagaimana dahsyatnya tsunami saat itu, pengurus masjid sengaja menyisakan satu bagian di pojok tenggara masjid yang masih terlihat hancur.
Bagian itu hanya ditutupi dinding kaca yang ditempeli foto-foto kondisi masjid sesaat setelah terkena tsunami. Di dalamnya tampak masih ada bongkahan batu karang dan batu-batu koral yang berserakan di atas pasir. Ada pula satu tiang masjid yang dibiarkan roboh.
"Semua itu bertujuan untuk menjadi pengingat bahwa masjid tersebut pernah selamat dari hantaman tsunami," kata dia.
Syahrizal menuturkan, Masjid Rahmatullah dibangun secara swadaya dan bertahap pada 1990. Biayanya mencapai Rp 500 juta. Dari dana sebesar itu, Rp 150 juta hasil urunan warga. Selebihnya menggunakan uang hasil lelang sarang walet milik desa. Sarang tersebut berada di sebuah gua tepi laut di kawasan perbukitan sebelah desa.
"Gua itu disewakan Rp 70 juta setahun. Pemenangnya bisa memanfaatkan gua itu untuk sarang walet selama masa sewa. Jadi, setiap tahun gua itu dilelang agar dapat harga yang terus naik," tuturnya.
Masjid tersebut diresmikan pada 1998 dan mampu menampung 4.000 orang. Namun, pada hari-hari biasa, masjid hanya terisi tak lebih dari setengahnya. Jemaah baru penuh bila salat Jumat atau salat Idul Fitri dan Idul Adha.
Advertisement
Pondasi Bangunan Kokoh
Salah satu keunggulan masjid seluas 1.600 meter persegi itu adalah tiang-tiang betonnya yang tebal dan kuat. Begitu pula temboknya. "Temboknya menggunakan bata dua susun yang dijajar," ucap ayah satu anak tersebut.
Yang sedikit berbeda, kini ada dua menara tinggi yang di atasnya terdapat pengeras suara.Sekarang suara azan bisa terdengar dari kejauhan. Selain itu, ada prasasti yang menandakan bahwa masjid itu selamat dari tsunami.
Selain masjid, permukiman Gampong Lampuuk juga dibangun kembali. Di antaranya atas bantuan Bulan Sabit Merah dari Turki. Kini permukiman tersebut telah dipenuhi warga yang dulu kehilangan tempat tinggal.
Kini masjid itu menjadi objek wisata baru di Aceh. Memang belum banyak pengunjungnya seperti tempat rekreasi umum.
Pengunjung Masjid Rahmatullah masih kalangan wisatawan yang beragama Islam. Yang dari luar negeri kebanyakan wisatawan dari Malaysia. Mereka datang perorangan maupun berombongan. Sebulan rata-rata 100–200 orang.
Tim Rembulan