Banjir dan Longsor Momok Menakutkan, Ketahui Fatwa MUI tentang Perusakan Hutan

Banjir dan longsor kerap melanda berbagai daerah di Indonesia. Disinyalir, salah satu penyebabnya adalah kerusakan hutan. Apa hukum perusakan hutan dalam perspektif Islam?

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jan 2023, 18:30 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2023, 18:30 WIB
Banjir di Manado
Banjir di Manado. Mengakibatkan korban meninggal dan ratusan orang mengungsi. (Foto: Dokumentasi BNPB).

Liputan6.com, Jakarta - Bencana hidrometeorologi terus melanda Indonesia. Banjir dan longsor menjadi momok menakutkan.

Disinyalir, banjir dan longsor disebabkan rusaknya alam. Air hujan yang mestinya terserap di pegunungan justru membaca petaka karena tanah tak lagi punya daya serap.

Konversi hutan menjadi penyebabnya. Banyak pula daerah resapan yang telah berubah fungsi. Bahkan, ada pula perusakan hutan, yang tentu saja disengaja.

Kepedulian Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai khadimul ummah (pelayan umat) tidak hanya menyangkut persoalan halal-haram bahan pangan.

Fatwa MUI juga menembus isu kerusakan lingkungan, salah satunya tentang hutan yang semakin punah akibat pembakaran atau penyebab lain, misal, penebangan alias pembalakan.

Pada 2019, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan menunjukkan seluas 2,6 juta hektare hutan terbakar. Kemudian 1,6 juta hektare pada 2020, dan 3,5 juta hektare pada 2021.

Tidak jelas dalam data tersebut apakah kebakaran murni bencana atau akibat tangan jahil pengusaha. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melaporkan dari total 120 juta hektare hutan yang dulu pernah dimiliki Indonesia, kini, luasnya hanya 45 juta hektare. Penyebab penyusutan hutan ini menurut WALHI akibat deforestasi legal maupun ilegal.

Saksikan Video Pilihan Ini:

Fatwa MUI tentang Perusakan Hutan

Mengutip mui.or.id, Kerusakan demi kerusakan alam yang diperbuat manusia tidak lain berasal dari keserakahan dan ketamakannya. Padahal, Alquran menegaskan:

…. ۗ كُلُوْا وَاشْرَبُوْا مِنْ رِّزْقِ اللّٰهِ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ“…..

"Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah dan janganlah melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS Al-Baqarah [2]:60)

Kalimat “wa laa ta’tsau” di atas dimaknai al-Alusi dalam karya tafsirnya Ruh al-Ma’any sebagai larangan Allah SWT untuk berbuat kejahatan yang benar-benar di luar kendali yang menyebabkan kerusakan tiada tara. Kiranya larangan ini mulai tidak dihiraukan manusia.

Menimbang kejahatan manusia terhadap hutan di atas, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Nomor 30 Tahun 2016 tentang hukum pembakaran hutan dan lahan serta pengendaliannya. Dalam fatwa tersebut terdapat 6 ketentuan hukum:

1.    Melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, kerugian orang lain, gangguan kesehatan, dan dampak buruk lainnya, hukumnya haram

2.    Memfasilitasi, membiarkan, dan/atau mengambil keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada angka 1, hukumya haram

3.    Melakukan pembakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada angka 1 merupakan kejahatan dan pelakunya dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat kerusakan dan dampak yang ditimbulkannya

4.    Pengendalian kebakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum hukumnya wajib

5.    Pemanfaatan hutan dan lahan pada prinsipnya boleh dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut: a. Memperoleh hak yang sah untuk pemanfaatan b. Mendapatkan izin pemanfaatan dari pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan berlaku c. Ditujukan untuk kemaslahatan d. Tidak menimbulkan kerusakan dan dampak buruk, termasuk pencemaran lingkungan

6.    Pemanfaatan hutan dan lahan yang tidak sesuai dengan syarat- syarat sebagaimana yang dimaksud pada angka 5, hukumnya haram Sebagai masyarakat Muslim yang baik, kiranya sangat patut untuk mematuhi pedoman di atas. Dan minimal turut menyebarkan pedoman fatwa MUI ini agar semakin banyak umat muslim turut peduli pada kerusakan hutan.

Tim Rembulan

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya