Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Awal tahun 2021 bisa jadi tahun yang berat sekaligus unik bagi Taufiq Hidayat. Dia adalah Guru Agama Islam di SD Negeri 011 Muara Wis yang terletak di Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan timur.
Bagaimana tidak, saat itu pandemi Covid-19 masih mengharuskan pembatasan aktivitas masyarakat dalam skala besar. Termasuk kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Advertisement
Jadi tahun yang unik karena pembelajaran tidak dilakukan di sekolah namun secara daring. Juga berat karena Desa Muara Enggelam tak memiliki sinyal telekomunikasi seluler sama sekali.
Advertisement
Baca Juga
“Bagaimana mau daring kalau jaringan tidak ada dan tidak semua orang tua memiliki ponsel pintar atau mampu membelikan anaknya sebuah gawai,” katanya kepada liputan6.com, Sabtu (8/4/2023).
Agar proses belajar mengajar tetap berjalan, Taufiq bersama guru lainnya memilih cara tersendiri yakni mendatangi rumah siswanya satu per satu. Proses belajar mengajarnya pun dilakukan di teras rumah.
Jangan bayangkan Desa Muara Enggelam seperti desa pada umumnya. Desa ini hidup di atas perairan Danau Melintang yang tanpa daratan dan tidak ada jalan darat sama sekali.
Rumah-rumah dibangun terapung agar bisa mengikuti pasang surut air Danau Melintang yang luasnya 11 ribu hektar. Meski ada rumah panggung, namun rumah terapung tidak ditinggalkan warga karena ada banjir tahunan yang ikut menenggelamkan rumah panggung.
Akses satu-satunya menuju desa ini hanya dengan perahu kecil bermesin tempel membelah Danau Melintang. Terpencil dan terisolir adalah kata paling tepat untuk menggambarkan desa ini.
“Desa ini sepanjang tahun selalu tergenang air,” katanya.
Bahan ajarnya pun dia harus siapkan sendiri berupa modul pembelajaran setiap siswa. Mirip modul belajar yang dibagikan secara daring melalui pertemuan virtual, namun kali ini dalam bentuk fisik.
Untuk memperoleh itu, Taufiq harus ke ibu kota kecamatan yang jaraknya hampir dua jam perjalanan menggunakan perahu. Modul yang ia siapkan akan dicetak kemudian diperbanyak.
“Semuanya biaya sendiri karena cuma cara inilah menurut saya sangat tepat saat itu untuk proses belajar mengajar yang mengharuskan mendatangi siswa satu per satu. Mengingat semasa pandemi wajib membatasi interaksi,” kenangnya.
Karena tak ada jalan darat di desa ini, maka akses termudah adalah dengan perahu. Taufiq akan mendatangi rumah-rumah terapung siswanya satu per satu dan memberikan pembelajaran secara bergantian.
Jumlah siswa SDN 011 Muara Wis memang tak banyak, hanya di kisaran 100 siswa. Namun jumlah itu harus didatangi Taufiq setiap hari selama enam hari dalam satu pekan demi sebuah proses belajar mengajar.
Pertemuan Terbatas
Yuyun adalah Wali Kelas 1 di SD Negeri 011 Muara Wis. Di masa pandemi kala itu tentu berat baginya mengajarkan ke siswa yang baru masuk jenjang sekolah dasar.
Dia kemudian berinisiatif tetap melakukan pembelajaran tatap muka untuk kelasnya. Bedanya, setiap pertemuan dibatasi jumlah siswanya.
“Jadi kita tunjuk satu rumah terapung untuk menjadi tempat belajar siswa yang rumahnya dekat. Bisa tiga hingga lima siswa saja,” kata Yuyun.
Tentu saja, sebutnya, dengan protokol kesehatan yang ketat seperti mengatur jarak, memakai masker dan mencuci tangan. Jumlah siswa di setiap kelompok belajar sangat dibatasi.
“Tak ada pilihan lain selain melakukan ini. Karena kalau tidak seperti ini, selama masa pandemi proses belajar mengajar akan terhenti,” ujar Yuyun.
Maka setiap hari, ada beberapa rumah yang harus Yuyun datangi agar seluruh siswa dapat mengikuti pembelajaran. Itu semua dilakukan setiap hari oleh Yuyun.
Berbekal perahu kecil bermesin tempel, Yuyun dan guru-guru lainnya setiap hari berkeliling menyusuri pemukiman warga yang berdiri di atas perairan. Semuanya dilakukan atas inisiatif sendiri demi proses belajar mengajar.
Advertisement
Air Pasang Tinggi
Suatu Waktu, Norsiah, Wali Kelas 5 SD Negeri 011 Muara Wis, sibuk memandu siswanya mengangkat barang-barang yang ada di kelas ke tempat yang lebih tinggi. Air Danau Melintang terus naik dan menandakan akan pasang tinggi.
Banjir besar akan segera melanda Desa Muara Enggelam, tempat mereka tinggal. Tak ada pilihan lain selain menutup sekolah untuk sementara waktu.
“Proses belajar mengajar tetap dilakukan tapi tidak di sekolah, biasanya di panggung terapung atau di rumah terapung milik warga,” kata Norsiah.
Banjir tahunan memang sudah biasa diprediksi. Setiap tahun ada kalanya sekolah panggung itu terendam banjir.
Desa ini memiliki dua balai pertemuan. Ada yang berupa rumah panggung, ada pula yang terapung. Inilah yang dimanfaatkan sebagai kelas darurat.
“Tidak ada masalah bagi anak-anak di sini karena mereka terbiasa hidup di atas air. Mau belajar di mana pun bisa dilakukan, bahkan dalam kondisi apapun,” ujar Norsiah.
Bahkan pembelajaran pernah dilakukan di atas perahu. Beberapa perahu yang bisa muat lima hingga 10 anak setiap perahunya diikat menjadi satu kemudian menjadi kelas darurat.
Kondisi alam Desa Muara Enggelam membuat warganya mudah beradaptasi di situasi apapun. Air pasang tinggi atau banjir sebenarnya bukan musibah bagi mereka, namun berkah karena mendatangkan ikan air tawar yang melimpah.
Merdeka Belajar
Hery Cahyadi, Kepala Sekolah SD Negeri 011 Muara Wis menuturkan, pengalaman menghadapi iklim dan topografi menjadikan pelajaran berharga bagi warga Desa Muara Enggelam. Kehadiran Kurikulum Merdeka seolah menguatkan upaya mereka selama ini.
“Sebenarnya para guru takut salah juga ketika menerapkan apa yang sudah dilakukan sejak pembatasan sosial berskala besar waktu itu. Namun kehadiran Kurikulum Merdeka akhir melegakan kami semua,” kata Hery.
Ruang kelas yang tak terbatas, sebutnya, sebenarnya makin mengenalkan siswa lebih dekat dengan lingkungannya. Siswa akan terbantu mengenalkan sumber penghidupannya dan bagaimana menjaga dengan baik.
“Kita ajak mereka belajar berdamai dengan alam,” katanya.
Kurikulum Merdeka sebenarnya adalah peralihan dari kurikulum darurat yang diciptakan di masa pandemi oleh Kementerian Pendidikan. Kurikulum ini kemudian dimatangkan dan menjadi pengganti Kurikulum 2013.
Namun, pengalaman dan penerapan Kurikulum Merdeka sudah lebih dulu diterapkan di Desa Muara Enggelam. Hery sendiri mengakui jika sosialisasi soal kurikulum baru itu masih sangat minim.
“Baru satu kali pertemuan di ibu kota kabupaten. Kami tidak sabar sebenarnya,” kata Hery sambil tertawa.
Hery kemudian berharap pendekatan yang dilakukan Kurikulum Merdeka bisa menjawab kebutuhan proses belajar mengajar di manapun. Pendekatan budaya dan kearifan lokal membantu siswa untuk mengenali karakter budaya masing-masing.
“Budaya gotong-royong di desa ini kuat sekali misalnya bersama-sama membantu memperbaiki rumah terapung milik seorang warga yang daya apung rumahnya mulai turun. Ini yang kita mau tunjukkan ke anak didik,” katanya.
Meski terpencil dan terisolir, para guru di Desa Muara Enggelam punya kemampuan membaca situasi dan melahirkan kreatifitas dalam proses belajar mengajar. Desa tanpa daratan ini mengajarkan kita tentang bagaimana pendidikan tetap menjadi prioritas dalam situasi apapun.
Advertisement