Sejarah Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Bulan Rabiul Awal

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak hanya digelar satu hari pada 12 Rabiul Awal. Umat Islam banyak yang memperingati kelahiran Rasulullah SAW sepanjang bulan Mulud dengan berbagai jenis kegiatan.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 17 Sep 2023, 14:30 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2023, 14:30 WIB
Peringatan Mualid Nabi Muhammad SAW di Majid Lingkungan Pemkab Banyuwangi (Istimewa)
Peringatan Mualid Nabi Muhammad SAW di Majid Lingkungan Pemkab Banyuwangi (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Setiap memasuki Rabiul Awal umat Islam di dunia tak terkecuali Indonesia merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang terkenal disebut Maulid Nabi. Kata maulid sendiri diambil dari bahasa Arab yang artinya lahir.

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak hanya digelar satu hari pada 12 Rabiul Awal. Umat Islam banyak yang memperingati kelahiran Rasulullah SAW sepanjang bulan Mulud dengan berbagai jenis kegiatan.

Beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi khusus saat merayakan Maulid Nabi. Misalnya, masyarakat Yogyakarta memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan Grebeg Maulud.

Saat perayaan Maulid Nabi biasanya dibacakan kisah-kisah teladan Rasulullah SAW yang terdapat dalam kitab maulid. Harapannya, kisah-kisah tersebut menjadi hikmah dan pelajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW masa kini.

Sebagai seorang muslim mungkin pernah bertanya-tanya kapan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dilakukan dan bagaimana sejarahnya? Untuk mengetahui hal ini mari simak ulasan berikut mengenai sejarah perayaan Nabi Muhammad SAW dari berbagai versi.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Masa Dinasti Abbasiyah

Maulid Nabi Muhammad SAW.
Pepsodent bersama Badan Pengurus Masjid Istiqlal dan BAZNAS menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 12 Rabiul Awal 1444 Hijriah dengan tajuk “Meneladani Senyum Rasulullah #AmalkanSenyuman,” di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (8/10/2022). (Foto: Istimewa)

Perayaan Maulid Nabi ternyata sudah mulai dilakukan sejak abad kedua Hijriah. Pendapat ini tercatat dalam buku Sejarah Maulid Nabi (2015) karya Ahmad Tsauri. 

Dalam bukunya, Ahmad Tsauri merujuk pada Nuruddin Ali dalam kitabnya Wafa’ul Wafa bi Akhbar Darul Mustafa untuk menuliskan sejarah Maulid Nabi. Buku itu juga telah mendapat pengantar dari Habib Muhammad Luthfi bin Yahya.

Mengutip NU Online, buku tersebut juga menerangkan ada seorang bernama Khaizuran (170 H/786 M). Dia adalah ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid. 

Khaizuran datang ke Madinah dan memerintahkan penduduk mengadakan perayaan Maulid Nabi atau kelahiran Nabi Muhammad SAW di Masjid Nabawi. Kemudian Khaizuran bertolak ke Makkah dan melakukan perintah yang sama kepada penduduk Makkah untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. 

Khaizuran memerintah penduduk Madinah merayakan Maulid Nabi di masjid. Berbeda dengan penduduk Makkah, ia memerintah untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW di rumah masing-masing.

Khaizuran merupakan sosok berpengaruh selama masa pemerintahan tiga khalifah Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa Khalifah al-Mahdi bin Mansur al-Abbas (suami), Khalifah al-Hadi dan Khalifah al-Rasyid (putra). 

Memiliki pengaruh yang besar membuat Khaizuran mampu menggerakkan masyarakat muslim di Arab, termasuk untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut dilakukan agar ajaran, teladan, dan kepemimpinan mulia Nabi Muhammad SAW bisa terus menginspirasi warga Arab dan umat Islam pada umumnya.

Masa Dinasti Fatimiyah

Mirip Debus, Begini Tradisi Maulid Nabi di Lebanon
Kemeriahan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar kaum Sufi di Sidon, Lebanon (30/11). Maulid Nabi Muhammad SAW ini selalu diperingati pada tanggal 12 Rabiul Awal kalender Hijriah. (AFP Photo/Mahmoud Zayyat)

Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, ada berbagai versi sejarah perayaan Maulid Nabi. Pendapat lain tentang sejarah perayaan Maulid Nabi pertama kali diadakan pada masa Dinasti Fatimiyah.

Mengutip kanal Citizen6 Liputan6.com dari Dream.co.id, naskah tertua mengenai peringatan Maulid Nabi adalah karya Jamaluddin Ibn Al Ma'mun, putra Al Ma'mun Ibn Bata'ihi, yang pernah menduduki posisi Perdana Menteri pada Dinasti Fatimiyah.

Karya tersebut dikutip oleh Al Maqrizi dalam kitabnya, Mawa'iz Al I'tibar fi Khitat Misr Wa Al Amsar. Akan tetapi, catatan Al Maqrizi menyebut peringatan Maulid Nabi diselenggarakan pada tanggal 13 Rabiul Awal.

Saat itu, khalifah Dinasti Fatimiyah menggelar peringatan Maulid Nabi dengan membagikan 6.000 dirham, 40 piring kue, gula-gula, caramel, madu, dan minyak wijen. Tidak ketinggalan 400 liter manisan dan 100 liter roti.

Peringatan itu kemudian selalu digelar pada 12 atau 13 Rabi'ul Awal oleh pemerintah. Biasanya diisi ceramah, pembacaan ayat suci Alquran, serta pemberian hadiah.

Saat Dinasti Fatimiyah runtuh oleh gempuran Shalahuddin Al Ayyubi, tokoh utama Dinasti Ayyubiyah yang beraliran Sunni, tetap mengadakan peringatan Maulid. Peringatan ini dianggap sebagai wadah paling efektif dalam menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah Muhammad SAW dan Islam. Selain itu, juga membangkitkan semangat jihad pasukan Islam.

Catatan lain menyebut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW juga digelar pada masa Dinasti Ayyubiyah di abad 10 Masehi. Tujuannya untuk memicu semangat mencontoh pribadi Nabi. Kala itu, kondisi umat sedang terpuruk lantaran gempuran Pasukan Salib. Semangat tempur pasukan Islam pun melemah.

Shalahuddin sebagai sultan sekaligus panglima perang menggembleng kembali semangat Pasukan Islam untuk bertempur melawan Pasukan Salib. Saat itulah Maulid Nabi dianggap sebagai tonggak kebangkitan umat Islam kala itu.

Hingga saat ini di banyak negara, termasuk Indonesia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan tradisi unik yang berbeda. Di Indonesia sendiri, biasanya masyarakat khususnya di Kediri memiliki ritual berebut uang koin yang dilaksanakan di dalam masjid.

Wallahu'alam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya