Liputan6.com, Jakarta - Ulama kharismatik asal Rembang KH ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengisahkan ada satu wirid yang sangat pendek namun sama nilainya seperti 6 jam wirid.
Gus Baha dalam unggahan dalam laman Youtube di kanal @santri gayeng mengisahkan hal tersebut, berawal dari kisah Nabi Muhammad SAW dan salah satu istrinya Juwariyah RA.
Gus Baha mengisahkan bahwa istri nabi Bernama Juwariyah ini senang wiridan. Bahkan yang dilakukan bisa selepas Subuh hingga waktu Dhuha, sekitar 6 jam lamanya.
Advertisement
"Jadi ketika nabi ke rumah Juwariyah, selepas subuh. Tahu istrinya masih wiridan di kamarnya. Sampai waktu usai Dhuha istrinya masih wiridan." ujar Gus Baha, dikutip dari kanal YouTube Santri Gayeng.
Gus Baha mengumpamakan, jika usai subuh sekitar pukul 4, hingga pukul 10 pagi, maka sekitar 6 jam lamanya. Akhirnya Nabi Muhammad bertanya pada istrinya "Lho kamu masih wiridan?," ujar Nabi yang ditirukan Gus Baha.
Padahal waktu itu sudah sekitar jam 10.00 siang.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Bacaan Wirid dan Artinya
"Akhirnya Nabi ngendika, nah inilah hebatnya Islam. Beliau wiridan kan 6 jam. Walhasil nabi bertanya, lha kamu dari tadi ni seperti itu, tetap dalam posisi seperti itu? dijawab, iya saya dari tadi gak kemana-mana. Tetap wiridan," kata murid KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) ini.
Lalu Nabi Muhammad mengatakan mengajarkan istrinya 4 kalimat dimana pahalanya sama dengan 6 jam wiridan.
"Lalu Nabi SAW mengatakan, Subhanallahi wa bihamdihi ‘adada khalqihi wa ridha nafsihi wa zinata ‘arsyihi wa midada kalimatihi," ujar Gus Baha.
Dalam huruf Arab, kalimah wirid tersebut yakni,
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقَهِ وَرِضَى نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
Artinya: Mahasuci Allah dan segala puji bagi Allah; sesuai dengan jumlah makhluk-Nya, dengan keridhaan diri-Nya, seberat Arasy milik-Nya, dan sebanyak firman-firman-Nya.
Dzikir ini mengandung makna betapa agung kekuasaan Allah yang sudah semestinya manusia pasrah dan semakin mengimani kebesaran-Nya. Tidak ada sesuatu apapun di dunia ini yang lepas dari pantauan-Nya.
Advertisement
Kisah Juwariyah
Melansir Republika.co.id, Juwairiyah adalah salah satu istri Rasulullah SAW yang mulia. Juwairiyah adalah pemuka kaum Bani Musthaliq. Nama aslinya adalah Burrah binti Harits bin Abu Dhirar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah.
Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin Bani Musthaliq. Juwairiyah adalah sosok yang cantik, baik hati, dan luas ilmunya. Ia menikah dengan Musafi ’ bin Shafwan.
Kehadiran Juwairiyah adalah sebuah berkah bagi kaumnya. Karena keislamannya, seluruh kaumnya yang musyrik dan mengangkat senjata melawan Rasulullah SAW turut masuk Islam.
Aisyah RA menggambarkan sosok Juwairiyah, "Aku tidak pernah melihat seorang perempuan yang berkahnya paling banyak bagi kaumnya dari Juwairiyah."
Kisah Islamnya Juwairiyah tak lepas dari permusuhan Bani Musthaliq kepada Islam. Harits bin Abu Dhirar yang menyembah berhala hendak menghalangi dakwah Rasulullah SAW di Madinah.
Mendengar Bani Musthaliq siap mengangkat senjata, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk siap berjihad. Rasulullah menjadi panglima dalam perang Mustalaq ini. Beliau menunjuk Abu Dzar al-Ghifari sebagai wali sementara di Madinah.
Kedua pasukan bertemu di daerah Muraisi. Bersama pasukan Muhajirin dan Anshar, Rasulullah SAW berhasil mengalahkan Bani Mushtaliq. Suami Juwairiyah, Musafi ’ bin Shafwan, turut terbunuh dalam perang ini. Karena kalah perang, harta dan wanita Bani Mushaliq, termasuk Juwairiyah menjadi tawanan kaum Muslimin.
Rasulullah SAW pun membagikan tawanan wanita Bani Musthaliq, salah seorang di antaranya Juwairiyah binti Harits yang diserahkan pada Tsabit bin Qais bin Syammas.
Karena Juwairiyah termasuk pemuka kaumnya, ia merasakan kesedihan dan beban yang luar biasa akibat kekalahan Bani Musthaliq. Suaminya terbunuh, ayahnya melarikan diri, dan kini dia beserta kaumnya menjadi tawanan kaum Muslimin.
Juwairiyah pun berinisiatif menemui Rasulullah SAW. Dia menyampaikan segala keluh kesahnya dan meminta kebebasan. Saat mendatangi Rasulullah, Aisyah RA, seperti disebutkan Ibnu Saad, merasa sangat cemburu dengan Juwairiyah. Hal itu karena sosok Juwairiyah yang dimuliakan kaumnya dan berani menemui Rasulullah untuk membicarakan kebebasannya.
Merasa kasihan dengan beban Juwairiyah, Rasulullah pun bersedia membebaskan Juwairiyah, kemudian menikahinya. Berita tentang pernikahan Rasulullah dan Juwairiyah pun tersebar di kalangan para sahabat.
Para sahabat menilai, Bani Musthaliq yang kini menjadi kerabat Rasulullah tidak pantas menjadi tawanan. Akhirnya, seluruh wanita dan kaum Bani Musthaliq dibebaskan tanpa syarat.
Setelah kebebasannya, Bani Musthaliq yang ditawan kaum Muslimin mengikrarkan keislamannya. Meski cemburu dengan sosok Juwairiyah, Aisyah RA menggambarkan betapa kehadiran Juwairiyah adalah berkah bagi kaumnya. Selain mendapat kebebasan, mereka juga mendapat cahaya Islam berkat pernikahan Juwairiyah.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul