Liputan6.com, Jakarta - Pada sekitar tahun 1987, seorang santri, Khayatul Maki atau akrab disapa Gus Khayat, yang saat itu menjadi nyantri di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Tanggir Singgahan, Tuban, mengungkapkan rasa ingin tahunya tentang kewalian Syaikhona KH Maimoen Zubair, atau Mbah Moen.
Saat itu Gus Khayat menjadi murid dari KH Mushlich Abdul Karim (Mbah Shoim), Gus Khayat merasa penasaran dan perlu membuktikan sendiri apakah Mbah Moen benar-benar seorang wali.
Kepada Gus Ridwan putra pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Gus Khayat mengutarakan keinginannya untuk membuktikan kewalian Mbah Moen.
Advertisement
Dengan tekad bulat, ia kemudian merencanakan perjalanan ke rumah Mbah Moen yang terletak di Sarang, Rembang bersama temannya, Hasan Bisri. Gus Khayat menyatakan kepada Hasan bahwa ia hanya akan percaya Mbah Moen adalah seorang wali jika ia menemukan hidangan tertentu di sana.
"Kalau di sana nanti ada nasi beras, sayur, mie sohun, paha dan ceker ayam, serta minuman jembawuk, baru saya percaya," tegas Gus Khayat kepada sahabatnya sebelum berangkat.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Makanan dan Minuman yang Tidak Ada di Rembang
Menurut Gus Khayat, minuman 'jembawuk' adalah minuman khas yang hanya ada di Banjarnegara dan Banyumas, berupa campuran kopi hitam dengan gula jawa dan santan kelapa.
Pada Jumat sore, Gus Khayat dan Hasan Bisri memulai perjalanan mereka ke Sarang, menggunakan sepeda onthel. Setelah tiba di kediaman Mbah Moen, mereka ingin mencium tangan beliau sebagai tanda penghormatan.
Namun, Mbah Moen tidak mengizinkan mereka. "Sana langsung ke belakang, sudah ditunggu Ibu," katanya, mengarahkan mereka untuk menuju ruang makan.
Gus Khayat sangat terkejut ketika melihat meja makan yang sudah dipenuhi hidangan sesuai dengan apa yang ia sebutkan. Di sana terdapat nasi beras, sayur mie sohun, dan wedang jembawuk.
Gus Khayat tak kuasa menahan emosinya, sambil menikmati hidangan tersebut, ia menangis karena merasa telah membuktikan kewalian Mbah Moen.
Setelah menyantap hidangan, Gus Khayat dan Bisri berpamitan untuk kembali ke pesantren. Namun, Mbah Moen kembali tidak mau disalami oleh mereka.
Mbah Moen hanya menyuruh mereka untuk segera pulang dan melanjutkan ngaji di Pondok Pesantren Mbah Shoim.
Advertisement
Menemani Mbah Maimoen Haji Tahun 2018
Khayatul Maki, atau Gus Khayat, merupakan putra KH Muhammad Hasan dari Banjarnegara Jawa Tengah. Kini, Gus Khayat mengasuh Pondok Pesantren Alif Baa di Banjarnegara, meneruskan tradisi ilmu yang diajarkan oleh guru-gurunya.
Pada tahun 2018, Gus Khayat mendapat perintah langsung dari Mbah Moen untuk menemani beliau dalam ibadah haji. Haji tersebut menjadi momen sangat bersejarah, karena merupakan haji terakhir bagi Mbah Moen sebelum beliau menghadap Allah SWT untuk selamanya.
Pengalaman Gus Khayat membuktikan kewalian Mbah Moen menjadi salah satu kisah inspiratif yang mengisahkan tentang keimanan dan pencarian spiritual.
Cerita ini juga menunjukkan bahwa keberkahan dan keajaiban sering kali datang melalui keyakinan dan ketulusan hati.
Kisah ini juga mengingatkan umat Islam akan pentingnya hubungan antara guru dan murid, serta bagaimana ketulusan dalam belajar dapat mengantarkan seseorang pada pengalaman spiritual yang mendalam.
Gus Khayat terus melanjutkan warisan dan ajaran dari Mbah Moen kepada generasi selanjutnya, menjadi teladan bagi para santri dan umat.
Dengan begitu, perjalanan Gus Khayat tidak hanya menjadi bukti kewalian Mbah Moen, tetapi juga menandakan pentingnya menjaga dan menghormati tradisi keilmuan di lingkungan pesantren.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul