Liputan6.com, Jakarta - Nafkah adalah segala bentuk pengeluaran biaya yang diberikan oleh seseorang kepada dirinya maupun keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam keluarga, orangtua berkewajiban untuk memberikan hak anak berupa nafkah lahir maupun nafkah batin. Namun, yang memiliki tanggungjawab penuh untuk menafkahi anggota keluarga adalah kepala keluarga, yakni ayah.
Baik ibu maupun ayah memiliki tanggungjawab serta peran yang penting dalam keluarga terkhusus kepada anaknya. Namun, ayah memiliki peran yang dominan dalam hal menafkahi.
Advertisement
Baca Juga
Akan tetapi, pernikahan dan keluarga terkadang memiliki permasalahan yang serius dan akhirnya dapat menyebabkan keretakan. Perselisihan dan pertengkaran itulah yang nantinya akan bermuara pada perceraian.
Ketika orangtua bercerai, anak seringkali menjadi korban. Terkadang, anak akan kekurangan haknya seperti hak kasih sayang, keutuhan keluarga maupun hak nafkah yang diberikan orangtua.
Tidak sedikit kita jumpai, anak menjadi terlantar setelah orangtuanya bercerai. Lantas, bagaimana sebenarnya ketentuan nafkah anak setelah orangtuanya bercerai? Mari simak penjelasan berikut sebagaimana dirangkum dari laman NU Online.
Saksikan Video Pilihan ini:
Hak Asuh Anak Setelah Bercerai
Dalam Islam, dikenal dengan kata hadhanah. Hadhanah merupakan tindakan menjaga anak yang belum tamyiz dan belum mandiri, mendidikanya dengan hal-hal baik serta melindunginya dari segala sesuatu yang dapat membahayakan.
Penjelasan terkait dengan hadhanah sebenarnya lebih cocok disimbolkan dengan tanggungjawab dari sang ibu karena memiliki sifat penyayang, mahir dalam mendidik, serta lebih sabar dalam menjaga anak.
Sehingga, dalam ketentuan fiqih, hak asuh anak diberikan kepada ibu dengan syarat anak diasuh hingga usia tujuh tahun.
Setelah itu, hak asuh anak akan ditentukan oleh anak itu sendiri untuk memilih di antara ayah dan ibunya.
Advertisement
Nafkah Anak Setelah Orangtua Bercerai
Ketika orangtua bercerai, yang dibebankan untuk memberi nafkah pada anak adalah sang ayah, dengan catatan anak tersebut belum mampu dalam menafkahi dirinya sendiri.
Hal ini, sesuai dengan penjelasan Syekh al-Baijuri dalam kita Hasyiyah al-Baijuri, anotasi dari kitab Syarah Fathul Qarib:
“Perkataan mushanif (dan biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh orang yang berkewajiban menafkahi anak tersebut), atau orang gila sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini berlaku selama anak tersebut tidak memiliki harta. Jika anak tersebut memiliki harta, maka biaya pemeliharaannya diambil dari hartanya.” (Hasyiyah al-Baijuri, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah t.t] jilid II halaman 365).
Hal di atas, juga sesuai dengan penjelasan Syekh Wahbah Az-Zuhaili tentang biaya yang ditanggung oleh ayah atau orangtua.
“Orang yang berkewajiban menanggung biaya pemeliharaan (hadhanah) menurut mayoritas ulama. Biaya pemeliharaan (nafkah) hadhanah diambil dari harta anak yang diasuh. Jika anak tersebut tidak memiliki harta, maka biaya ditanggung oleh ayahnya atau orang yang wajib menafkahinya, karena hal ini termasuk kebutuhan yang harus dipenuhi, seperti menjaga dan menyelamatkan dari mara bahaya. Jika biaya hadhanah harus dibayar, maka itu menjadi utang yang tidak gugur dengan berlalunya waktu, atau dengan kematian orang yang wajib menanggungnya, kematian anak yang diasuh, atau kematian pengasuh.” (Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, [Damaskus: Darul Fikr, 1418 H], jilid X, halaman 7316).
Besaran Nafkah Anak
Islam juga mengatur kewajiban nafkah anak setelah orangtua bercerai dalam beberapa hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI)
“Akibat putusanya perkawinan karena perceraian ialah semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).”
Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.”
Dari dua pasal di atas, terdapat sedikit perbedaan dalam biaya nafkah anak, namun pengadilan dapat menentukan ibu dari anak tersebut menanggung nafkah anak bila ayahnya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.
Terkait dengan besaran nafkah anak setelah orangtua bercerai tidak ditemukan ketentuan yang baku. Sehingga, disepakati saja bahwa jumlah nafkah anak yang harus diberikan oleh orangtua merujuk pada keputusan hakim yang memutus perkara setelah melihat fakta-fakta persidangan serta faktor-faktor yang berkaitan dengan perhitunagn penghasilan, jumlah anak, kebutuhan hidup yang layak dan sebagainya.
Advertisement