Sudah Kenyang tapi Makanan belum Habis, Apa yang Harus Dilakukan?

Makanan belum habis namun sudah kenyang, manakah yang lebih baik antara menyudahi atau tetap melanjutkan makan?

oleh Putry Damayanty diperbarui 05 Nov 2024, 14:30 WIB
Diterbitkan 05 Nov 2024, 14:30 WIB
Telat Makan Siang? Ini Jam Makan Siang yang Tepat untuk Jaga Energi dan Fokus Sepanjang Hari! (Foto dok : Freepik/freepik)
Ilustrasi seseorang yang sedang makan siang (Foto dok : Freepik/freepik).

Liputan6.com, Jakarta - Mungkin kita pernah merasa bersalah ketika tidak menghabiskan makanan karena kondisi perut sudah kenyang. Pada kondisi tersebut seseorang dihadapkan pada dua pilihan antara melanjutkan makan hingga habis atau justru menyudahinya saat itu juga.

Barangkali ada yang memilih untuk menghabiskan makanan dengan dalih bahwa tidak menghabiskan makanan termasuk dalam perbuatan mubazir yang dilarang oleh syariat. 

Sebaliknya, ada pula yang memilih menyudahi makannya sebab khawatir hal itu tergolong sebagai perbuatan israf yaitu berlebih-lebihan. Larangan ini seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an:

“Makan dan minumlah kalian dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf: 31)

Lantas, berdasarkan ketentuan syariat Islam manakah yang sebaiknya didahulukan antara keduanya? Berikut penjelasannya merangkum dari NU Online.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Pahami Pengertian Mubazir

Oatmeal
Kandungan oatmeal memiliki sejumlah nutrisi tinggi yang bisa dijadikan pilihan menu untuk sarapan. (Foto: Freepik/lifeforstock)

Dalam menjawab pertanyaan tersebut kiranya patut dipahami secara utuh apakah benar logika yang disampaikan bahwa tidak meneruskan atau tidak menghabiskan makanan termasuk bagian dari mubazir, seperti halnya yang sudah tertancap dalam persepsi umum masyarakat? Pada titik inilah perlu ditekankan pengertian dan ketentuan dari mubazir itu sendiri.

Mubazir memiliki arti menggunakan sesuatu tidak pada tempat yang selayaknya, atau dalam istilah lain biasa dikenal dengan idlâ‘ah al-mâl (menyia-nyiakan harta) misalnya seperti makanan dilempar di jalan, minuman dibuang di tempat sampah, dan contoh-contoh lain yang sama.

Pengertian ini persis seperti yang dijelaskan dalam kitab Faid al-Qadir:

والسرف صرف الشئ فيما ينبغي زائدا على ما ينبغي والتبذير صرفه فيما لا ينبغي

“Arti israf adalah menggunakan sesuatu berlebihan dari ketentuan yang dianjurkan. Sedangkan arti mubazir adalah menggunakan sesuatu pada tempat yang tidak dianjurkan” (Abdurrouf al-Munawi, Faid al-Qadir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1994, juz 5 Hal. 131)

Jika dipandang dari sudut pandang pengertian mubazir saja seolah-olah permasalahan ini (kenyang sebelum makanan habis) terhimpun dalam kategori mubazir. Yaitu ketika seseorang membiarkan makanannya tidak habis.

Namun rupanya secara ketentuan dari haramnya mubazir atau menyia-nyiakan harta hanya terlaku dalam penggunaan yang muncul dari sebuah perbuatan seseorang (fi’lu) sehingga tidak mencakup terhadap membiarkan makanan untuk tidak dihabiskan, sebab hal ini tergolong bagian dari meninggalkan pekerjaan (tark) yang tidak sampai terkena hukum haram untuk dilakukan.

Lebih Utama Menghindari Perbuatan Israf

Revolusi Food Chain Lokal Tangani Penumpukan Sampah Sisa Makanan Bersama Pelanggan
Revolusi Food Chain Lokal Tangani Penumpukan Sampah Sisa Makanan Bersama Pelanggan. foto: istimewa/Lawless

Seperti yang tersirat dalam teks I’anah at-Thalibin: “Dimakruhkan pula membiarkan tanaman dan pepohonan tidak disirami air meski dalam keadaan bisa melakukannya. Sebab hal ini tergolong menyia-nyiakan harta. Jika dikritisi “menyia-nyiakan harta menuntut hukum haram (kenapa dalam permasalahan ini dihukumi makruh?)” maka Aku menjawabnya: “Haramnya menyia-nyiakan harta hanya ketika muncul dari sebuah perbuatan seperti membuang harta di laut tanpa adanya rasa khawatir (kapal tenggelam karena keberatan muatan), membuang uang di jalan. Berbeda ketika menyia-nyiakan harta muncul dari meninggalkan perbuatan (membiarkan harta) seperti dalam permasalahan ini. Maka hal ini tidak sampai dihukumi haram, tetapi hanya sebatas makruh, seperti halnya yang telah engkau ketahui” (Sayyid Abu Bakar Syatho’ Al-Dimyathi, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, Juz 4, Hal. 108)

Berdasarkan pemahaman referensi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi sebagian masyarakat mengenai mubazir dalam hal tidak menghabiskan makanan saat kenyang adalah hal yang keliru. Sehingga dalam keadaan demikian, sikap yang baik bagi seseorang adalah menyudahi makanannya saat sudah merasa kenyang, agar terhindar dari perbuatan israf (berlebih-lebihan) yang dilarang oleh syara’.

Belum lagi ketika kita meninjau berbagai mudarat yang dihasilkan dari rasa kenyang bagi seseorang, seperti yang disinggung oleh Imam Syafi’i:

لأنّ الشبع يثقل البدن ويقسي القلب ويريل الفطنة ويجلب النوم ويضعف عن العبادة

"Karena kekenyangan akan memberatkan badan, mengeraskan (menghilangkan kepekaan) hati, menghilangkan kecerdasa, menarik rasa kantuk dan melemahkan (Seseorang) dalam ibadah" (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, Beirut, Muasssasah Ar-Risalah, 1993, juz 10, hal, 36)

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa tindakan yang baik untuk diambil dalam keadaan demikian adalah menyudahi makanannya dan membiarkan makanan itu tidak habis, sebab hal ini tidak termasuk bagian mubazir yang diharamkan oleh syariat. Terlebih jika makanan yang tidak kita habiskan tersebut masih bisa kita manfaatkan untuk hal lain yang mendatangkan nilai ibadah, seperti disedekahkan pada orang lain yang tidak mampu. Maka hal demikian justru akan mendatangkan pahala tersendiri. Wallahu a’lam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya