Liputan6.com, Jakarta - Nama Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani sering disebut saat acara tahlil, setidaknya dalam doa isol atau hadiah Al-Fatihah. Bahkan, di akhir pengajian di beberapa majelis taklim sering dibaca syair “Ibadallah Rijalallah” yang merupakan manaqib Syaikh Abdul Qadir.
Sosok Syaikh Abdul Qadir yang masih populer hingga zaman sekarang tidak lepas dari kewalian, kemasyhuran, dan tentunya kekeramatan beliau semasa hidupnya. Ya, Syaikh Abdul Qadir adalah seorang waliyullah yang dikenal sebagai Sulthonul Auliya atau rajanya para wali.
Advertisement
Syekh Abdul Qodir merupakan pendiri tarekat Qadiriyah. Ia menjadi salah satu tokoh Sufi yang termasyhur di Indonesia. Kisah-kisah karomahnya menjadi pelajaran yang penuh hikmah bagi umat Islam saat ini.
Advertisement
Baca Juga
Kisah hidup Syaikh Abdul Qadir sejak lahir hingga akhir hayatnya disusun dalam sebuah manaqib yang sering dibaca oleh umat Islam. Di beberapa majelis taklim, manaqib Syaikh Abdul Qadir dibaca secara rutin setiap sepekan sekali.
Berikut adalah sepenggal kisah kebiasaan sehari-hari Syaikh Abdul Qadir dan akhir hayatnya menjelang wafat. Kisah ini terdapat dalam kitab Al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, dinukil via NU Online Jabar.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Kebiasaan Sehari-hari Syaikh Abdul Qadir
Syaikh Abdul Qadir hanya keluar dari madrasahnya pada hari Jumat untuk melakukan sholat Jumat di masjid jami di Baghdad.
Setiap malam, Syaikh Abdul Qadir meminta orang rumahnya untuk menggelar makanan. Ia makan bersama para tamu yang hadir. Ia juga tidak segan untuk duduk bersama orang-orang terpinggirkan.
Selain terkenal kesabarannya menghadapi para santri, Syaikh Abdul Qadir juga merupakan orang yang senang menghibur hati orang fakir.
Di sisi lain, ia juga orang yang senang mencari sahabatnya yang lama tidak jumpa. Bahkan, ia tak segan untuk memberi maaf atas kekurangan dan kesalahan para sahabatnya.
Advertisement
Hari Wafat Syaikh Abdul Qadir
Pada hari wafatnya, putra Syaikh Abdul Qadir yang bernama Abdul Jabbar bertanya, “Bagian tubuh mana yang dirasa sakit, ayah?”
“Semua organ tubuhku terasa sakit kecuali hati, nak. Karena ia selalu bersama Allah,” jawab Syaikh Abdul Qadir.
Syaikh Abdul Qadir kemudian mulai mengulang-ulang kalimat, “Ista‘antu bi lā ilāhi illallāh subhānahū wa ta‘ālā al-hayyul ladzī lā yakhsyal fawt, subhāna man ta‘azzaza bil qudrah wa qahara ‘ibādahū bil maut, lā ilāha illallāhu Muhammadun rasūlullāh.”
Arti dari kalimat tersebut adalah “Aku minta tolong kepada yang tiada Tuhan selain Allah SWT, Zat hidup yang tidak takut pada kehilangan; maha suci Zat yang perkasa dengan kuasa-Nya, dan menundukkan hamba-Nya dengan kematian. Tiada tuhan selain Allah. Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.”
Syaikh Abdul Qadir kemudian terdengar mengucap, “Allah… Allah...” yang terus diulang-ulang hingga suaranya perlahan mengecil sebelum akhirnya berhenti senyap. Sementara, lidahnya menempel pada langit-langit mulutnya.
Sang Putra jadi Imam Sholat Jenazah Syaikh Abdul Qadir
Syaikh Abdul Qadir wafat pada malam hari dalam usia 90 tahun. Putranya, Abdul Wahab menjadi imam sholat jenazah ayahnya yang diikuti oleh 49 anaknya dari empat istri Syaikh Abdul Qadir.
Sholat jenazah juga dilakukan oleh khalayak ramai yang terdiri atas santri, pengikut, dan para sahabatnya.
Setelah disholatkan, jenazah Syaikh Abdul Qadir dimakamkan di serambi madrasahnya. Pintu madrasah tidak dibuka hingga siang hari. Sementara masyarakat luas pergi bergegas untuk mensholatkan dan menziarahi makamnya.
Wallahu a’lam.
Advertisement