Duka di Bulan Rajab, Wafatnya Paman Nabi dan Perdebatan tentang Keimanannya

Bulan rajab ternyata menyimpan kesedihan mendalam bagi Nabi. Abu Thalib, paman yang selalu setia dan membela beliau, meninggal dunia pada bulan ini. Bagaimanakah kisahnya, benarkah ia wafat dalam keadaan kafir?

oleh Putry Damayanty diperbarui 04 Jan 2025, 07:30 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2025, 07:30 WIB
Ilustrasi - Ka'bah zaman Makkah kuno. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)
Ilustrasi - Ka'bah zaman Makkah kuno. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)

Liputan6.com, Jakarta - Rajab adalah salah satu bulan yang memiliki keistimewaan dan termasuk dalam empat bulan mulia dalam Islam. Bulan Rajab ini menjadi kesempatan bagi kita untuk memperbarui diri dalam beribadah.

Rasulullah SAW juga mengungkapkan bahwa Rajab adalah bulannya Allah SWT. Bulan yang dilarang keras melakukan maksiat, serta diperintahkan bagi kita untuk beramal sholeh.

Namun, di balik kemuliaan bulan ini, ternyata menyimpan duka yang mendalam bagi Nabi Muhammad SAW yaitu wafatnya Abu Thalib.

Beliau adalah paman yang sangat dekat dengan Nabi. Abu Thalib berperan besar dalam kehidupan Nabi, terutama pada masa-masa awal dakwah Islam yang penuh tantangan.

Akan tetapi, kemudian muncul perdebatan perihal status keimanan Abu Thalib pada saat wafat. Ingin tahu lebih lanjut tentang kisahnya? Berikut ulasannya dikutip dari NU Online. 

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Perjuangan Abu Thalib dalam Membela Nabi

Ilustrai- Kafilah pengendara unta di padang pasir. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)
Ilustrai- Kafilah pengendara unta di padang pasir. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)

Sejak Abdul Muthalib (kakek Nabi) wafat, usia Nabi Muhammad masih kanak-kanak, yaitu baru 8 tahun 2 bulan 10 hari. Pengasuhan Nabi kemudian diserahkan kepada Abu Thalib, sang paman.

Seperti kakeknya dulu, kasih sayang Abu Thalib kepada Nabi juga begitu besar. Bahkan ia mendahulukan kepentingan Nabi dibanding anak-anaknya sendiri. Kesetiaan dan kasih sayang Abu Thalib kepada keponakannya itu berlangsung cukup lama, yaitu selama lebih dari 40 tahun hingga wafat. Bahkan rela jika harus menyatakan musuh pada kerabat-kerabat yang berani menyakiti dan menentang Rasulullah.

Pernah suatu hari kaum Quraisy meneror Abu Thalib dan mengancam akan menghabisi nyawanya jika tidak mau menghentikan aktivitas dakwah Nabi Muhammad. Ia sempat khawatir dengan ancaman itu sehingga meminta Rasulullah untuk menyudahi kegiatan dakwah. Setelah dibujuk, ternyata Nabi tetap kuat untuk melanjutkan misi risalahnya. Mendengar itu, Abu Thalib kembali tegar membelanya. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raḫîqul Makhtûm, [Beirut: Daru Ihya’it Turats, tt], halaman: 85)

Rupanya ancaman kaum Quraisy untuk menghabisi Abu Thalib itu sebatas gertakan. Buktinya, begitu mereka tahu bahwa Rasulullah tetap melanjutkan kegiatan dakwah, mereka tidak merealisasikan ancaman tersebut. Mereka kemudian memikirkan cara lain hingga akhirnya mendatangi Abu Thalib untuk kedua kalinya. Kedatangan mereka kali ini dengan membawa Ammarah bin Walid bin Mughirah, seorang pemuda Quraisy yang paling tampan. Mereka akan membujuk Abu Thalib untuk menukar Ammarah dengan Nabi Muhammad untuk dibunuh. Abu Thalib menolak tegas tawaran itu. Kaum Quraisy pun pulang dengan kecewa. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, halaman: 86)

Wafatnya Abu Thalib

Ilustrasi Kematian.
Ilustrasi Kematian. (Photo copyright by Freepik)

Ringkas hikayat, Abu Thalib jatuh sakit. Kian hari semakin parah yang hingga tinggal menunggu saat-saat kematiannya. Akhirnya ia pun berpamit untuk selamanya pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari kenabian.

Pendapat lain mengatakan bahwa ia wafat pada bulan Ramadhan, selang 3 bulan setelah wafatnya Siti Khadijah. Saat detik-detik kematiannya, Rasulullah berada di sampingnya dan berkata: Wahai paman, ucapkanlah lâ ilâha illallâh, satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujah di sisi Allah.

Sementara Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah al-Makhzumi yang juga berada di situ menyela: Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muthalib? Keduanya terus mengulangi ucapan itu hingga kalimat yang keluar dari mulut Abu Thalib adalah tetap berada pada agama Abdul Muthalib. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, halaman: 103)

Perdebatan tentang Status Keimanan Abu Thalib

Ilustrasi - Perumahan Bani Hasyim dalam peristiwa pengasingan Nabi dan kabilahnya oleh suku Quraisy. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)
Ilustrasi - Perumahan Bani Hasyim dalam peristiwa pengasingan Nabi dan kabilahnya oleh suku Quraisy. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)

Mengenai status keimanan Abu Thalib sendiri ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat Abu Thalib wafat dalam keadaan tidak beriman karena sampai detik terakhir kewafatan tidak mengucapkan kalimat syahadat. Dari pemaparan di atas, Abu Thalib tetap berpegang pada agama Abdul Muthalib. Argumen ini juga dilandasi beberapa hadis Nabi, di antaranya sabda Nabi berikut: 

عَنْ عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ لَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ   (رواه البخاري و مسلم)

Artinya: Dari Abbas bin Abdul Mutthalib dia berkata: Wahai Rasulullah, apakah anda dapat memberi manfaat kepada Abu Thalib, karena dia telah mengasuhmu dan terkadang marah (untuk memberikan pembelaan) kepadamu. Beliau menjawab: Ya, ia berada di bagian neraka yang dangkal, dan kalaulah bukan karena diriku, niscaya berada di dasar neraka. (HR. Bukhari dan Muslim).

Kemudian hadis berikut: 

لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ، يَغْلِي مِنْهُ أُمُّ دِمَاغِهِ

Artinya: Semoga syafaatku berguna baginya pada hari kiamat, sehingga dia tidak diletakkan dalam neraka yang dalam, yang tingginya sebatas kedua mata kakinya, namun itu pun menjadikan ubun-ubun kepalanya mendidih. (HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu juga hadis yang mengatakan Abu Thalib masuk neraka dengan mendapat siksa neraka paling ringan. 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ

Artinya: Dari Ibnu Abas bahwa Rasulullah saw bersabda: Penduduk neraka yang siksanya paling ringan adalah Abu Thalib. (HR Muslim)

Pendapat Ulama Lainnya

Ilustrasi menulis, puisi
Ilustrasi menulis, puisi. (Photo by Mrika Selimi on Unsplash)

Sementara kelompok ulama yang meyakini Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman adalah dari kalangan Asy’ariyah. Bahkan seorang Mufti Makkah Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan menulis kitab khusus yang membantah tuduhan Abu Thalib wafat dalam keadaan kafir. Kitab tersebut berjudul Asnal Mathâlib fî Najâti Abî Thâlib.

Dalam paparannya, Syekh Ahmad banyak menggunakan argumen Syekh Al-Barzanji, seorang mufti bermadzhab Syafi’i di Madinah. Berikut penulis jabarkan ringkasan argumennya. Syekh Al-Barzanji mengaku bahwa kualitas ketiga hadis di atas sahih. Memang jika dipahami sekilas, hadis-hadis tersebut menyatakan bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan tidak beriman, tetapi jika dipahami lebih teliti, maka akan menemukan makna sebaliknya, yaitu Abu Thalib wafat dalam keadaan beriman.

Menurut Al-Barzanji, keengganan Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat pada detik-detik kewafatannya karena khawatir akan keselamatan Nabi Muhammad, mengingat pada saat itu ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah al-Makhzumi, dua tokoh kafir Quraisy yang cukup berpengaruh.

Hanya saja, lanjut Al-Barzanji, ada kemungkinan Abu Thalib mengucapkan kalimat syahadat. Sebab, saat Abu Thalib menjelang wafat, seorang sahabat Nabi bernama Abbas melihat Abu Thalib menggerak-gerakkan mulutnya mengucapkan kalimat syahadat.

Kesaksian Abbas ini kemudian dikabarkan kepada Nabi. Berikutnya, Al-Barzanji juga mengomentari bahwa dalam beberapa hadis, Abu Thalib dijelaskan memperoleh syafaat Nabi, hal ini jelas ia wafat dalam keadaan beriman. Sebab, syafaat hanya bisa diperoleh orang mukmin.

Selain itu, Al-Barzanji juga menegaskan bahwa hadis yang menjelaskan bahwa Abu Thalib mendapat siksa neraka paling ringan bukan karena kemusyrikannya, tapi sebatas dosa maksiat. Sebab, jika statusnya kafir, tidak mungkin ia mendapat siksa paling ringan karena levelnya akan membawahi siksa seorang mukmin yang bermaksiat. Secara teori, seharusnya siksa orang kafir lebih berat dibanding seorang mukmin ahli maksiat.

Walhasil, Al-Barzanji berkesimpulan, pihak yang mengatakan Abu Thalib wafat dalam keadaan tidak beriman hanya berdasar interpretasi literal dari hadis-hadis Nabi. Tapi sejatinya, jika ditelaah lebih dalam, justru akan dipahami sebaliknya. (Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Asnal Mathâlib fî Najâti Abî Thâlib, [Amman: Darul Imam an-Nawawi, 2007], halaman: 69-90).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya