Liputan6.com, Jakarta Shalat Tarawih, ibadah sunnah yang istimewa di bulan Ramadhan, ternyata memiliki sejarah panjang dan praktik yang berbeda dari apa yang kita kenal saat ini. Di masa Rasulullah SAW, belum ada istilah "Tarawih", melainkan salat malam Ramadan atau qiyam Ramadan yang dilakukan beliau dengan jumlah rakaat bervariasi, kadang di rumah, kadang di Masjid Nabawi. Perkembangannya hingga menjadi salat Tarawih 20 rakaat seperti sekarang ini merupakan hasil dari ijtihad para ulama dan adaptasi terhadap kebutuhan umat.
Keutamaan shalat Tarawih sangat besar, sebagaimana hadits Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari Muslim). Namun, penting untuk memahami bahwa praktik Rasulullah SAW lebih menekankan pada menghidupkan malam Ramadan dengan ibadah, tanpa spesifikasi jumlah rakaat yang pasti. Artikel ini akan mengupas tuntas sejarah dan perkembangan salat Tarawih, memberikan pemahaman yang lebih komprehensif bagi umat Muslim.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Memahami sejarah shalat Tarawih penting untuk menghargai proses perkembangan ibadah ini dan menghindari kesalahpahaman. Banyak yang mengira praktik shalat Tarawih saat ini sama persis dengan yang dilakukan Rasulullah SAW, padahal terdapat perbedaan signifikan. Dengan memahami sejarahnya, kita dapat melaksanakan shalat Tarawih dengan lebih khusyuk dan bermakna, sesuai dengan semangat ibadah di bulan Ramadan.
Simak penjelasan selengkapnya berikut ini tentang bagaimana praktik shalat tarawih yang dilakukan Rasulullah SAW dan perkembangannya hingga menjadi seperti sekarang, sebagaimana telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (4/3/2025).
Pengertian dan Keutamaan Shalat Tarawih
Shalat Tarawih secara bahasa berarti "istirahat", mengacu pada istirahat di antara rakaat-rakaat salat. Secara istilah, salat Tarawih adalah salat sunnah yang dikerjakan secara berjamaah pada malam hari di bulan Ramadan setelah salat Isya. Shalat ini merupakan bagian dari qiyam Ramadan, yaitu menghidupkan malam Ramadan dengan berbagai ibadah.
Keutamaan salat Tarawih sangat banyak, di antaranya adalah pengampunan dosa. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA menjelaskan: “Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari Muslim). Selain itu, salat Tarawih juga dapat meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan kedekatan kita kepada Allah SWT.
Hukum melaksanakan salat Tarawih adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Meskipun tidak wajib, namun salat Tarawih memiliki kedudukan istimewa sebagai ibadah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan di bulan Ramadan. Pelaksanaannya secara berjamaah di masjid telah menjadi tradisi yang mengakar dalam kehidupan umat Islam.
Rasulullah SAW sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk menghidupkan malam Ramadan dengan ibadah, termasuk salat. Meskipun tidak ada keterangan spesifik mengenai jumlah rakaat salat Tarawih yang dilakukan beliau, namun anjuran tersebut menunjukkan betapa pentingnya ibadah ini dalam bulan Ramadan. Hadits-hadits lain juga menekankan keutamaan salat malam di bulan Ramadan, yang salah satunya adalah salat Tarawih.
Advertisement
Praktik Shalat Tarawih pada Masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa Rasulullah SAW, belum dikenal istilah "Tarawih". Beliau lebih sering melaksanakan salat malam Ramadan di rumahnya. Hanya beberapa kali beliau melaksanakannya di Masjid Nabawi. Salat yang beliau lakukan disebut salat malam Ramadan, bukan salat Tarawih.
Rasulullah SAW tidak menetapkan jumlah rakaat tertentu untuk salat malam Ramadan. Beliau terkadang salat empat rakaat, kemudian beristirahat, dan mengulanginya. Jumlah rakaat bervariasi, sesuai dengan kondisi dan kemampuan beliau.
Dalam beberapa riwayat disebutkan, Rasulullah SAW hanya tiga malam saja mengimami salat malam di Masjid Nabawi. Beliau kemudian menghentikan kebiasaan tersebut karena khawatir salat malam akan diwajibkan jika dilakukan secara berjamaah dan rutin.
Rasulullah SAW tidak melanjutkan salat berjamaah di masjid karena khawatir hal tersebut akan menjadi beban bagi umat. Beliau lebih memilih untuk melaksanakan salat malam dengan lebih khusyuk dan tenang di rumahnya.
Praktik Rasulullah SAW menekankan pada keikhlasan dan ketaatan dalam beribadah, bukan pada jumlah rakaat yang pasti. Beliau lebih fokus pada kualitas ibadah daripada kuantitasnya.
Kesimpulannya, praktik salat Tarawih seperti yang kita kenal sekarang, dengan jumlah rakaat yang tetap (baik 8, 11, atau 20 rakaat), merupakan perkembangan setelah masa Rasulullah SAW. Praktik beliau lebih menekankan pada menghidupkan malam Ramadan dengan ibadah, tanpa spesifikasi jumlah rakaat salat yang pasti.
Fakta Menarik Tentang Praktik Qiyam Ramadan di Masa Nabi
Para sahabat pada masa Rasulullah SAW melaksanakan salat malam Ramadan dengan jumlah rakaat dan format yang berbeda-beda. Sebagian melakukannya sendiri di rumah, sebagian lain berjamaah di masjid, dengan jumlah anggota yang bervariasi.
Sayyidah Aisyah RA meriwayatkan bahwa orang-orang yang salat di Masjid Nabawi pada malam Ramadan berpisah-pisah, mengikuti imam yang memiliki hafalan Al-Qur'an yang baik. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dan kebebasan dalam pelaksanaan salat malam pada masa itu.
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengajak keluarganya untuk salat malam pada 10 malam terakhir Ramadan. Beliau melakukan salat malam bersama istri dan keluarganya, menunjukkan pentingnya ibadah keluarga dalam bulan Ramadan.
Tidak ada ketetapan khusus tentang jumlah rakaat yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW untuk salat malam Ramadan. Beliau lebih menekankan pada keikhlasan dan ketaatan dalam beribadah daripada jumlah rakaat yang dilakukan.
Advertisement
Perkembangan Shalat Tarawih pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, salat Tarawih masih dilakukan secara individual atau dalam kelompok kecil. Belum ada praktik salat Tarawih berjamaah dengan satu imam di masjid.
Para sahabat masih melaksanakan salat malam Ramadan dengan jumlah rakaat yang bervariasi, sesuai dengan kemampuan dan pilihan masing-masing. Belum ada standarisasi jumlah rakaat dan tata cara pelaksanaan salat Tarawih.
Pada masa ini, fokus utama masih pada pelaksanaan salat malam Ramadan secara individual atau kelompok kecil, tanpa adanya imam atau jumlah rakaat yang seragam.
Praktik ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islam, pelaksanaan ibadah masih sangat fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu dan kelompok.
Transformasi Shalat Tarawih pada Masa Umar bin Khattab r.a.
Khalifah Umar bin Khattab RA melihat umat Islam salat Tarawih secara terpisah-pisah. Beliau kemudian berinisiatif untuk mengumpulkan jamaah dengan satu imam, yaitu Ubay bin Ka'ab RA.
Umar bin Khattab RA menyatakan, “Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini (salat Tarawih berjamaah).” Pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau melihat kebaikan dan manfaat dari praktik salat Tarawih berjamaah.
Pada masa Umar bin Khattab RA, jumlah rakaat salat Tarawih ditetapkan menjadi 20 rakaat. Hal ini berdasarkan kesepakatan dan praktik yang dilakukan oleh para sahabat.
Banyak hadits dan riwayat yang mendukung penetapan 20 rakaat sebagai jumlah rakaat salat Tarawih. Hal ini menunjukkan adanya konsensus (ijma') di kalangan sahabat tentang praktik ini.
Inisiatif Umar bin Khattab RA dalam mengumpulkan jamaah dan menetapkan jumlah rakaat salat Tarawih merupakan langkah penting dalam perkembangan ibadah ini hingga menjadi praktik yang kita kenal saat ini.
Advertisement
Shalat Tarawih pada Masa Khalifah Sesudahnya
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan RA, praktik salat Tarawih berjamaah dengan 20 rakaat terus berlanjut. Tidak ada perubahan signifikan dalam praktik salat Tarawih pada masa ini.
Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib RA, praktik salat Tarawih juga tetap dilakukan dengan jumlah rakaat yang sama. Tidak ada perubahan yang berarti dalam praktik salat Tarawih pada masa ini.
Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, praktik salat Tarawih terus berkembang dan menyebar luas ke berbagai wilayah. Jumlah rakaat salat Tarawih tetap 20 rakaat, meskipun ada perbedaan dalam beberapa wilayah.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, muncul pendapat tentang 8 rakaat salat Tarawih. Pendapat ini muncul sebagai upaya untuk mengurangi beban jamaah, namun tetap 20 rakaat yang menjadi praktik mayoritas.
Pandangan Ulama Tentang Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Mayoritas ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) berpendapat bahwa jumlah rakaat salat Tarawih adalah 20 rakaat. Pendapat ini didukung oleh banyak hadits dan riwayat.
Para ulama menggunakan berbagai dalil dan riwayat untuk mendukung pendapat mereka. Mereka menelusuri sejarah dan praktik salat Tarawih sejak masa Rasulullah SAW hingga masa sahabat dan tabi'in.
Imam Ibnu Taimiyyah dan ulama kontemporer juga berpendapat bahwa 20 rakaat adalah jumlah yang paling kuat dalilnya. Mereka menganalisis berbagai hadits dan riwayat yang berkaitan dengan salat Tarawih.
Kesepakatan (ijma') para ulama tentang 20 rakaat salat Tarawih menunjukkan kekuatan dalil dan praktik yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Advertisement
Perbedaan Pendapat Tentang Jumlah Rakaat
Pendapat tentang 8 rakaat salat Tarawih didasarkan pada beberapa riwayat dan pertimbangan untuk mengurangi beban jamaah. Namun, pendapat ini bukan pendapat mayoritas.
Dalam mazhab Maliki, terdapat pendapat tentang 36 rakaat salat Tarawih. Pendapat ini didasarkan pada beberapa riwayat, namun bukan pendapat yang paling dominan.
Sikap terbaik dalam menyikapi perbedaan jumlah rakaat adalah dengan saling menghormati dan tidak saling menyalahkan. Kita harus tetap menjaga ukhuwah Islamiyah.
Prinsip “tidak saling menyalahkan” dalam perbedaan jumlah rakaat penting untuk dipegang teguh. Kita harus fokus pada niat ikhlas dan ketaatan dalam beribadah.
Shalat Tarawih di Berbagai Negara dan Budaya Muslim
Di negara-negara Arab, praktik salat Tarawih umumnya dilakukan dengan 20 rakaat, meskipun ada variasi di beberapa wilayah.
Di Indonesia dan Asia Tenggara, praktik salat Tarawih juga umumnya dilakukan dengan 20 rakaat, dengan tambahan witir 3 rakaat. Namun, ada juga masjid yang melaksanakan 8 rakaat.
Perbedaan budaya dan tradisi dalam pelaksanaan salat Tarawih menunjukkan kekayaan dan keberagaman dalam praktik ibadah Islam. Namun, inti dari ibadah tetap sama.
Fenomena doa kamilin di Indonesia merupakan tradisi lokal yang berkembang setelah salat Tarawih. Doa ini menambah kekhasan pelaksanaan salat Tarawih di Indonesia.
Shalat Tarawih, yang awalnya berupa salat malam Ramadan di masa Rasulullah SAW, telah berkembang menjadi ibadah sunnah yang dikerjakan secara berjamaah dengan jumlah rakaat yang telah distandarisasi. Perkembangan ini merupakan hasil ijtihad para ulama dan adaptasi terhadap kebutuhan umat.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat, penting bagi kita untuk menghidupkan sunnah qiyam Ramadan dengan pemahaman yang benar. Fleksibilitas dalam pelaksanaan salat Tarawih sesuai kemampuan dan kondisi masing-masing tetap diperbolehkan. Yang terpenting adalah niat ikhlas dan ketaatan dalam beribadah kepada Allah SWT.
Advertisement
