Liputan6.com, Gorontalo - Setiap Ramadan tiba, berbagai sudut Gorontalo dipenuhi lapak-lapak takjil yang menawarkan beragam kudapan manis. Dari sekian banyak pilihan, dua kue tradisional selalu menjadi primadona, yakni Kue Lopes dan Apang Colo.
Keistimewaan dua jajanan khas ini terletak pada keberadaannya yang sangat terbatas. Di luar bulan suci, menemukan Kue Lopes dan Apang Colo hampir mustahil. Hal ini membuatnya menjadi kuliner eksklusif yang selalu dinantikan masyarakat.
Baca Juga
Menurut Isna (56), seorang pedagang kue tradisional di sekitar Menara Keagungan Limboto, dua kudapan khas Gorontalo ini memiliki tradisi panjang sebagai takjil buka puasa.
Advertisement
"Yang hanya ada di bulan puasa itu terutama Kue Lopes dan Apang Colo. Banyak yang mencarinya karena sudah menjadi bagian dari tradisi Ramadan," kata Isna, Selasa (4/3/2025).
Kue Lopes atau di jawa disebut Lopis ini dibuat dari ketan yang direndam semalaman sebelum dikukus, kemudian dibalut parutan kelapa dan disiram dengan gula aren cair. Proses ini membutuhkan ketelatenan agar menghasilkan tekstur yang kenyal dan rasa yang autentik.
Sementara itu, Apang Colo terbuat dari tepung beras dan santan yang dikukus, lalu disajikan dengan gula merah cair. Proses pembuatannya pun tidak bisa instan, membutuhkan teknik khusus agar menghasilkan cita rasa yang khas.
"Pembuatan Kue Lopes lumayan rumit. Ketan harus benar-benar pulen agar teksturnya pas. Begitu juga dengan gula aren, kalau kurang kental, rasanya bisa berbeda," tambah Isna.
Di masa lalu, banyak keluarga Gorontalo membuat sendiri Kue Lopes dan Apang Colo untuk berbuka. Namun, seiring perubahan gaya hidup, tradisi ini mulai memudar.
Tio (28), seorang mahasiswa asal Gorontalo yang kini tinggal di Manado, mengakui bahwa kebiasaan membuat sendiri kue tradisional ini semakin jarang ditemui.
"Dulu ibu saya sering buat Kue Apang Colo untuk berbuka. Sekarang karena ibu sudah tua, biar tidak repot, kami lebih memilih membelinya," ujarnya.
Kondisi ini membuat jumlah pembuat Kue Lopes dan Apang Colo semakin sedikit, sehingga produksinya pun terbatas. Ramadan menjadi satu-satunya waktu di mana permintaan meningkat pesat.
Simak juga video pilihan berikut:
Kuliner Ramadan dan Identitas Budaya
Keberadaan Kue Lopes dan Apang Colo di bulan puasa bukan hanya sekadar pilihan takjil, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat Gorontalo.
Menurut Ali Mobiliu, pemerhati budaya Gorontalo, fenomena makanan musiman seperti ini juga terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia. Contohnya, Kicak di Yogyakarta, Bongko Kopyor di Gresik, atau Barongko di Makassar yang hanya muncul saat Ramadan.
"Di bulan puasa, makanan tradisional bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga sarana nostalgia dan pelestarian budaya. Orang-orang mencarinya karena ada nilai sejarah dalam kehidupan mereka," ujar Ali.
Namun, ia mengingatkan bahwa jika generasi muda tidak dilibatkan dalam pembuatan dan pelestarian makanan tradisional, tidak menutup kemungkinan Kue Lopes dan Apang Colo hanya akan menjadi cerita masa lalu.
Mampukah Kue Lopes dan Apang Colo Bertahan?
Perubahan selera masyarakat dan semakin sedikitnya orang yang bisa membuatnya menjadi tantangan bagi eksistensi Kue Lopes dan Apang Colo.
Meski demikian, Ramadan setiap tahun menjadi pengingat bahwa kuliner tradisional masih memiliki tempat di hati masyarakat. Bagi warga Gorontalo, menikmati Kue Lopes dan Apang Colo bukan sekadar mengisi perut saat berbuka, tetapi juga bagian dari tradisi dan nostalgia yang terus dijaga.
Advertisement
