Liputan6.com, Semarang - Tradisi Popokan atau kerap disebut "festival lumpur" menjadi salah satu tradisi unik yang rutin digelar di Desa Sendang, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Popokan digelar dengan cara saling melempar lumpur.
Bahkan pesertanya bukan hanya anak-anak atau remaja, tak jarang orang-orang dewasa juga turut serta. Tradisi Popokan digelar setiap bulan Agustus, tepatnya pada Jumat Kliwon di bulan tersebut.
Dikutip dari berbagai sumber, meskipun disebut "perang", masyarakat melakukan tradisi tahunan ini dengan suka cita. Bahkan, tradisi yang sudah berlangsung secara turun-temurun itu menjadi cara bagi para warganya untuk menyucikan diri sekaligus menolak bala.
Advertisement
Baca Juga
Sejarah tradisi Popokan bermula dari cerita legenda masyarakat setempat memanfaatkan lumpur untuk mengusir hewan buas. konon, suatu ketika Desa Sendang diteror oleh kemunculan seekor harimau yang mengganggu keselamatan warga.
Harimau tersebut juga memakan hewan ternak. Berbagai cara dan senjata dikerahkan orang-orang untuk mengusir sang macan, tapi selalu gagal.
Kemudian, muncul lah seorang pemuka agama yang menyarankan agar orang-orang untuk tidak mengusir harimau dengan kekerasan. Warga pun kemudian memopok (melempari) raja hutan itu dengan lumpur sawah, tak disangka cara ini berhasil.
Sejak peristiwa tersebut, tradisi Popokan atau saling melempar lumpur sawah pun digelar secara rutin. Tujuannya, untuk menjauhkan kejahatan dan menolak bala di daerah mereka.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Wujud Syukur
Selain itu, tradisi ini juga menjadi wujud syukur warga pada Sang Pencipta karena telah diberi keselamatan. Warga percaya, lumpur yang dilemparkan mengandung berkah.
Bukannya marah, mereka justru senang saat terkena lumpur. Popokan merupakan ritual terakhir dari empat rangkaian tradisi yang umumnya digelar dua hari.
Pada hari sebelum popokan, masyarakat setempat akan memulainya dengan kerja bakti membersihkan sendang atau sumber mata air. Ritual tersebut dilakukan laki-laki dewasa di desa itu.
Bagi mereka, sendang adalah sumber kehidupan, karena masyarakat memenuhi kebutuhan, mulai dari mengairi sawah, mandi, mencuci pakaian, hingga minum dengan air tersebut. Jika sumber mata air bersih, mereka percaya bakal terhindar dari penyakit dan kotoran.
Selanjutnya, warga desa akan membuat tumpeng, nasi berbentuk gunungan dengan berbagai sayur dan lauk, termasuk ingkung ayam. Tumpeng biasanya melambangkan harmonisasi manusia dengan Tuhan, makhluk lain, dan sesamanya.
Pada acara ini, para lelaki bakal duduk melingkar, lalu membaca doa yang dipimpin modin. Setelahnya, tumpeng diarak menuju area persawahan yang bakal menjadi medan perang lumpur bersama replika macan yang digiring warga. Selama prosesi ini, mereka juga membuat pergelaran seni.
Tumpeng yang diarak kemudian dibawa ke balai desa, lalu didoakan. Setelahnya, warga bakal saling berebut tumpeng untuk mendepatkan berkah dari doa-doa yang dilantunkan pemuka agama setempat.
Advertisement