Cinta Segi Tiga dalam Film Bajirao Mastani, Ini Pandangan Ulama Mazhab Tentang Poligami

Bajirao diperankan oleh Ranveer Singh dan Deepika Padukone memerankan Mastani. Sementara, Priyanka Chopra memerankan Kashibai, istri pertama Bajirao

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jun 2022, 13:00 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2022, 13:00 WIB
Bajirao Mastani
Film Bajirao Mastani dapat disaksikan di Vidio. (Dok. Vidio)

Liputan6.com, Cilacap - Film Bajirao Mastani merupakan film kolosal India yang berakar pada sejarah. Selain itu, film ini juga dibumbui kisah cinta yang romantis dan dramatis. Dalam film tersebut dikisahkan bahwa Bajirao yang telah beristri akhirnya menikah dengan Mastani.

Sebagaimana terlihat dalam poster film terbaru mereka Bajirao Mastani yang baru saja rilis, keduanya berpose mesra bagaikan raja dan ratu India.

Bajirao diperankan oleh Ranveer Singh dan Deepika Padukone memerankan Mastani. Sementara, Priyanka Chopra memerankan Kashibai, istri pertama Bajirao.

Perihal poligami para ulama Fiqih telah membahas perihal hukumnya. Lalu bagaimana hukum melakukan praktik poligami?

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Pandangan Imam Madzhab tentang Poligami

Mengutip NU Online, menyikapi praktik poligami, para ulama berbeda pendapat setidaknya terbelah menjadi dua.

Pertama, kalangan Syafiiyah dan Hanbaliyah yang tampak menutup pintu poligami karena rawan dengan ketidakadilan sehingga keduanya tidak menganjurkan praktik poligami.

Kedua, kalangan Hanafiyah menyatakan kemubahan praktik poligami dengan catatan calon pelakunya memastikan keadilan di antara sekian istrinya.

ذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَزِيدَ الرَّجُل فِي النِّكَاحِ عَلَى امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ ظَاهِرَةٍ ، إِنْ حَصَل بِهَا الإِعْفَافُ لِمَا فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْوَاحِدَةِ مِنَ التَّعَرُّضِ لِلْمُحَرَّمِ ، قَال اللَّهُ تَعَالَى وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ، وَقَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ يَمِيل إِلَى إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَدُ شِقَّيْهِ مَائِلٌ"... وَيَرَى الْحَنَفِيَّةُ إِبَاحَةَ تَعَدُّدِ الزَّوْجَاتِ إِلَى أَرْبَعٍ إِذَا أَمِنَ عَدَمَ الْجَوْرِ بَيْنَهُنَّ فَإِنْ لَمْ يَأْمَنِ اقْتَصَرَ عَلَى مَا يُمْكِنُهُ الْعَدْل بَيْنَهُنَّ ، فَإِنْ لَمْ يَأمَنْ اقْتَصَرَ عَلَى وَاحِدَةٍ لِقَولِه تَعَالَى فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

Bagi kalangan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, seseorang tidak dianjurkan untuk berpoligami tanpa keperluan yang jelas (terlebih bila telah terjaga [dari zina] dengan seorang istri) karena praktik poligami berpotensi menjatuhkan seseorang pada yang haram (ketidakadilan). Allah berfirman, Kalian takkan mampu berbuat adil di antara para istrimu sekalipun kamu menginginkan sekali.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang memiliki dua istri, tetapi cenderung pada salah satunya, maka di hari Kiamat ia berjalan miring karena perutnya berat sebelah.’ ... Bagi kalangan Hanafiyah, praktik poligami hingga empat istri diperbolehkan dengan catatan aman dari kezaliman (ketidakadilan) terhadap salah satu dari istrinya. Kalau ia tidak dapat memastikan keadilannya, ia harus membatasi diri pada monogami berdasar firman Allah, ‘Jika kalian khawatir ketidakadilan, sebaiknya monogami,’” (Lihat Mausu’atul Fiqhiyyah, Kuwait, Wazaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, cetakan pertama, 2002 M/1423 H, juz 41, halaman 220).

Madzhab Syafi’i dengan jelas tidak menganjurkan praktik poligami. Bahkan Madzhab Syafi’i mempertegas sikapnya bahwa praktik poligami tidak diwajibkan sebagaimana kutipan Syekh M Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj berikut ini.

إنَّمَا لَمْ يَجِبْ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنْ النِّسَاءِ إذ الْوَاجِبُ لَا يَتَعَلَّقُ بِالِاسْتِطَابَةِ وَلِقَوْلِهِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ وَلَا يَجِبُ الْعَدَدُ بِالْإِجْمَاعِ

Nikah itu tidak wajib berdasarkan firman Allah (Surat An-Nisa ayat 3) ‘Nikahilah perempuan yang baik menurutmu.’ Pasalnya, kewajiban tidak berkaitan dengan sebuah pilihan yang baik. Nikah juga tidak wajib berdasarkan, ‘Dua, tiga, atau empat perempuan.’ Tidak ada kewajiban poligami berdasarkan ijma‘ ulama,” (Lihat Syekh M Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Fikr, tanpa keterangan tahun, juz 3, halaman 125).

Masalah yang diangkat pada kutipan di atas menyoal boleh atau tidaknya praktik poligami yang didasarkan pada keadilan dan ketidakadilan terkait jadwal kehadiran, nafkah finansial, atau kasih sayang terhadap anak-anak.

Syekh Wahbah Az-Zuhayli memandang bahwa praktik poligami bukan bangunan ideal rumah tangga Muslim. Menurutnya, bangunan ideal rumah tangga Muslim adalah monogami. Praktik poligami adalah sebuah pengecualian dalam praktik rumah tangga. Praktik ini bisa dilakukan dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus.

 

Sebab-sebab Yang Membolehkan Poligami

Walhasil, hanya kondisi darurat yang membolehkan seseorang menempuh praktik poligami.

إن نظام وحدة الزوجة هو الأفضل وهو الغالب وهو الأصل شرعاً، وأما تعدد الزوجات فهو أمر نادر استثنائي وخلاف الأصل، لا يلجأ إليه إلا عند الحاجة الملحة، ولم توجبه الشريعة على أحد، بل ولم ترغب فيه، وإنما أباحته الشريعة لأسباب عامة وخاصة

Monogami adalah sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara’. Model poligami tidak bisa dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun untuk melakukan praktik poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 169).

Sebab-sebab umum yang dimaksud antara lain, menurut Syekh Wahbah, adalah perang yang menewaskan banyak pria. Sementara sebab khusus adalah penyakit berat yang diderita oleh seorang istri sehingga tidak bisa melakukan tugas-tugasnya sebagai seorang istri.

Demikian hukum poligami berdasarkan pandangan para ulama ahli Fiqih yang derajat keilmuannya tidak diragukan lagi.

Penulis: Khazim Mahrur

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya