Liputan6.com, Jakarta Langit masih gelap, Desa Moni baru saja menggeliat. Persis di depan penginapan tampak beberapa ibu-ibu menjajakan dagangannya. Begitu pun lima pria setengah baya yang menaikkan karung-karung berisi aneka macam sayuran ke atas mobil pick up untuk dibawa ke kota.
Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 02.40 WITA. Hawa dingin membuatku mengapitkan kedua tangan di ketiak, sambil sesekali kugosok-gosokan kedua telapak tangan lalu mengapitkannya kembali di ketiak. Aku dan beberapa kawan bersiap untuk pergi ke puncak Kelimutu. Mobil telah dipanaskan oleh Om Sopir, jadi tak perlu lama-lama berdiri di luar dengan udara yang mampu membuat tangan, kaki dan wajahku membeku.
Baca Juga
Kami memilih berangkat pagi-pagi demi memburu terbitnya matahari di puncak Kelimutu, yang menurut cerita beberapa orang yang pernah ke sana, pesona matahari terbit di Puncak Kelimutu sangat luar biasa. Belum lagi 3 kawah yang memiliki warna air berbeda-beda dan berubah-ubah.
Advertisement
Cerita ini semakin menggelitik rasa penasaranku. Meski beberapa kali menyaksikan matahari terbit di atas gunung, tapi untukku yang gemar naik gunung menyaksikan matahari terbit di pelupuk danau tiga warna Kelimutu akan menjadi keunikan tersendiri.
Perjalanan dari Desa Moni, tempat menginap menuju puncak Kelimutu ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit menggunakan mobil. Jalan berkelok dengan tikungan yang tajam membuatku urung tidur lagi. Kabut masih tebal saat mobil mulai bergerak ke atas. Karena gelap, tak ada yang bisa kunikmati selain jalanan yang bekelok-kelok dan menanjak.
Danau Kelimutu berada dalam Kawasan Taman Nasional Kelimutu yang terletak di Desa Koanara, kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende Flores Nusa Tenggara Timur.
Sebuah pintu gerbang bertulis Selamat Datang di Taman Nasional Kelimutu masih ditutup portal. Saya bersama seorang teman harus membangunkan petugas loket yang masih asik dengan mimpinya. Saat itu masih pukul 03.15 wita. Setelah ia sadar petugas loket itu menyodorkan sebuah buku tamu yang harus saya isi, dan taaaraa…namaku berada di urutan pertama, karena hari itu aku menjadi pengunjung yang datang paling awal. Setelah membayar retribusi Rp 5000/orang dan parkir mobil Rp 10.000/mobil, petugas langsung mengarahkan rombongan untuk ke atas.
Tak berselang lama, tibalah kami di tempat parkir yang cukup luas, ada beberapa warung, namun lagi-lagi masih tutup. Saat kami turun dari mobil, hawa dingin segera menyambut kami. Tapi tak perlu kawatir akan kedinginan, karena bapa penjual kopi sudah siap menawarkan secangkir kopi, susu milo, maupun teh panas yang dipatok dengan harga yang sama yakni Rp. 10.000/ gelas untuk semua jenis minuman yang dijual.
Saat kami menikmati hangatnya kopi, susu, dan teh panas, pengunjung lain mulai berdatangan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Ada yang datang dengan motor, mobil, maupun rombongan turis dengan satu minibus.
Anak Tangga Mengular
Anak Tangga Mengular
Perjalanan diawali dengan menaiki puluhan anak tangga, lalu jalan tanah setapak dengan medan yang sedikit menanjak. Jangan lupa untuk membawa senter, karena tidak ada penerangan apapun disini. Jalanan menuju ke puncak telah disiapkan sedemikian rupa oleh pemerintah setempat, bahkan saat kami tiba di sana, sedang ada pembangunan jalan.
Berbeda dengan jalur pendakian gunung pada umumnya. Mendaki Kelimutu jauh lebih mudah, karena untuk sampai ke puncak telah ada anak tangga yang mengular dari bawah hingga ke atas puncak. Sehingga sampai dipuncak Kelimutu hanya butuh waktu 30 menit berjalan kaki dari tempat parkir.
Setengah perjalanan menuju puncak, guratan cahaya merah mulai terlihat menghias cakrawala yang saat itu masih dipenuhi bintang-bintang. Aku beruntung karena cuaca hari itu Senin (5/10/2015) sangat cerah, sehingga semua terlihat sangat jelas tanpa terhalangi awan satuun.
Aku pun bergegas untuk terus menaiki anak tangga. Tak hanya untuk bisa menyaksikan cantiknya matahari terbit tapi juga 3 danau berwarna yang 1 di antaranya sudah terlihat saat awal pendakian.
Di atas puncak terdapat menara kecil, pengunjung bisa duduk-duduk di atas menara yang berundak-undak, sambil menantikan munculnya sang mentari. Tampak beberapa turis sudah duduk berjejer di anak tangga menara. Semua menghadap ke timur. Pengunjung yang tak kebagian tempat duduk seperti saya hanya bisa berdiri sambil memuaskan diri untuk mengabadikan setiap landskap danau tiga warna Kelimutu. Klik..klik…suara kamera ponselku dan suara kamera pemburu sunrise memecah kesunyian, seakan tak ingin melewatkan sejengkal keindahan alam Kelimutu.
turisYang dinantikan akhirnya muncul, cahaya merah berubah menjadi keemasan. Bola kecil keemasan mulai menyembul dari balik cakrawala. Perlahan cahaya keemasan itu memulai mengusir hawa dingin dan mengubahnya menjadi hangat.
Ketika matahari mulai naik, terlihat jelas warna 2 danau yang berdampingan. Tiwu Nuwa Muri Koo Fai saat itu tampak berwarna biru muda (biru telor asin), lalu tepat di sisi sebelahnya Tiwu Ata Polo tampak berwana hijau. Dan satu danau lagi terpisah di sisi barat Tiwu Ata Mbupu berwarna Hitam.
Eloknya matahari terbit di pelupuk danau tiga warna Kelimutu telah memuaskan rasa penasaran. Jika dulu hanya bisa melihat danau tiga warna ini di lembaran uang lima ribuan, hari itu aku bisa menyaksikannya langsung, lengkap dengan semua pesona panorama alamnya nan elok. (Retno Wulandari)
Advertisement