Hari Perempuan Internasional, Ini 5 Pejuang Feminis Indonesia

Hari Perempuan Internasional lahir dari budaya patriarki yang membelenggu.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 08 Mar 2016, 07:32 WIB
Diterbitkan 08 Mar 2016, 07:32 WIB
feminisme
Gambar Ilustrasi Feminisme

Liputan6.com, Jakarta Hari ini, tepat 158 tahun yang lalu, kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil di New York City, Amerika Serikat, mengadakan protes atas kondisi kerja yang buruk dan gaji mereka yang rendah. Alih-alih mendapat perbaikan nasib, para buruh garmen perempuan tersebut justru malah mendapat tindakan represif dari kepolisian setempat.

Dua tahun setelah kejadian itu, kaum perempuan membentuk serikat buruh, dan memunculkan gagasan menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Setelah mengalami pasang surut, pada era 1960-an, seiring dengan bangkitnya gerakan feminisme, Hari Perempuan Internasional kembali dirayakan, dan bahkan pada 1975, PBB telah mengakui adanya Hari Perempuan Internasional untuk dirayakan oleh seluruh perempuan di dunia.

Namun demikian, dirayakannya Hari Perempuan Internasional tidak menjadikan permasalahan perempuan selesai. Di Indonesia misalnya, persoalan diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga, human traficking, hingga pelecehan seksual masih terjadi hingga saat ini. Keadaan tersebut memaksa kaum perempuan Indonesia untuk keluar dari himpitan dan berjuang membela harkat dan martabat kaumnya.
Berikut beberapa potret perempuan feminis Indonesia yang berjuang demi harkat dan martabat kaumnya, seperti disusun Liputan6.com, Senin (7/3/2016).

Gadis Arivia
Perempuan kelahiran New Delhi 1964 ini mengawali pendidikannya pada 1974 di British Embassy School, Hungaria. Gadis Arivia mendapat gelar S3 dari Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya pada 2002. Dirinya merupakan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, yang merupakan jurnal pertama di Indonesia yang fokus pada feminisme dan berbagai persoalan perempuan. Lewat berbagai tulisannya, Gadis Arivia terus berjuang membicarakan persoalan perempuan, dan menjadikan hal tersebut sebagai persoalan pokok yang perlu diatasi. Selain menulis dan mengajar, dirinya juga pernah terlibat dalam pembuatan film dokumenter yang berjudul ‘Perempuan di Wilayah Konflik’ pada 2002.

Aquarini Priyatna Prabasmoro
Jika ada yang menganggap bahwa feminisme adalah gerakan yang ingin mendongkel dan melebihi kedudukan laki-laki, Aquarini adalah orang yang paling depan menentangnya. Bagi dirinya, feminisme merupakan gerakan yang mengkritisi adanya ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat. Mengambil studi Kajian Perempuan di Universitas Indonesia, dan sempat belajar Feminis Cultural Theory and Practise di Lancaster Uiversity, Inggris, dan program doktoral Feminist Cultural Studies di Monash University, Australia, membuat dirinya makin cemerlang sebagai perempuan yang terus mengkritisi persoalan kaumnya dari kacamata kebudayaan.

Toety Heraty
Akademisi yang lulus sebagai Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia ini dianggap sebagai salah satu pemikir feminis generasi pertama di Indonesia. Dirinya banyak menulis pemikiran tentang perempuan, termasuk dalam berbagai karya fiksinya. Toety Heraty pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia, dan pada 1998, dirinya mendirikan Jurnal Perempuan. Sepanjang hidupnya Toety Heraty mengabdikan dirinya pada Suara Ibu Peduli, yaitu organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan pemberdayaan perempuan.

Ayu Utami
Pasca kemenangannya dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta, nama Ayu Utami sebagai salah satu sastrawan muda perempuan makin mencuat. Berbagai karya fiksinya yang membicarakan persoalan perempuan menjadi tren dan menginspirasi penulis lainnya untuk tidak lagi tabu memandang persoalan perempuan. Ayu Utami adalah pejuang feminisme yang bersenjatakan kata-kata.

Ratna Sarumpaet
Siapa yang tidak kenal Ratna Sarumpaet, aktivis perempuan pro-demokrasi ini selalu vokal terhadap permasalahan yang menimpa kaumnya. Naskah drama ‘Marsinah: Nyanyian dari Bawah tanah’ menjadi karya pertamanya yang lahir dan terjun langsung mencari duduk perkara yang jelas tentang kasus pembunuhan Marsinah, seorang buruh yang ditembak kemaluannya hanya karena menuntut kenaikan upah Rp 500 saja. Bagi Ratna Sarumpaet, satu naskah drama Marsinah, efeknya setara dengan 10 paper yang membicarakan tentang persoalan perempuan.

 

*** Saksikan Live Gerhana Matahari Total, Rabu 9 Maret 2016 di Liputan6.com, SCTV dan Indosiar pukul 06.00-09.00 WIB. Klik di sini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya