Liputan6.com, Jakarta Selalu menjadi perdebatan menarik saat membicarakan si loyalis dan kutu loncat dalam dunia kerja. Banyak yang beranggapan, seseorang rela menjadi kutu loncat dengan berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya dalam waktu singkat demi mendapatkan perubahan yang dianggap lebih baik.
Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi kutu loncat, selain jenjang karier dan ingin mencari perubahan lingkungan kerja, faktor utamanya adalah alasan gaji yang lebih baik. Tak heran jika banyak orang memilih untuk menjadi kutu loncat ketimbang harus terus loyal di tempat kerja, terlebih di perusahaan yang tidak bonafit.
Baca Juga
Noviliantina penulis buku Headhunter dan Solusi Karier saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (24/1/2017) mengatakan, menjadi kutu loncat tidak selamanya baik, karena ada konsekuensi dan kerugian yang juga harus ditanggung.
“Jadi kutu loncat tidak selamanya menguntungkan, perusahaan berikutnya yang berniat merekrut si kutu loncat akan merasa ragu, apakah orang tersebut akan bekerja total untuk perusahaan, atau alih-alih ingin meningkatkan performa kerja, orang tersebut justru tetap mencari-cari peluang baru. Perusahaan tentu sangat terganggu dengan ini biasanya, tapi si kutu loncat biasanya menemukan cata yang tepat untuk dihire kembali, karena memang di area tertentu mereka kompeten” ungkap Novi.
Si Kutu Loncat memang identik dengan makhluk yang tidak setia, dan membuat orang lain kerap cemburu karena dirinya selalu beruntung. Namun bagi Novi, menjadi kutu loncat atau loyalis bukanlah masalah karier, hal tersebut berhubungan dengan Timing, Kesempatan, dan Strategi.
“Jangan abaikan juga, tiap orang punya faktor kepuasaan karier yang berbeda. Mungkin untuk si kutu loncat faktor kepuasan kerja ada pada peningkatan jabatan dan salary yang siginifikan, atau ada hal lain, misal ada tawaran fasilitas untuk mengambil sekolah S2 yang kebetulan telah lama diidamkan,” kata Novi menjelaskan.
Berbeda dengan si kutu loncat, si loyalis juga punya faktor-faktor tersendiri untuk mengukur tingkat kepuasan kerja. Menurut Novi, loyalis kerap menganggap semakin dirinya berakar dan menemukan spesialisasinya pada suatu perusahaan, si loyalis semakin merasa puas dan bangga dengan kelangkaan dan spesialisasi yang dimilikinya.
Noviliantina mengingatkan, tiap orang perlu merumuskan apa yang menjadi faktor kepuasaannya dalam bekerja, untuk bisa mengambil keputusan dan melewati masa pergantian karier dengan baik. Hal ini menjadi penting lantaran keputusan yang salah tentu akan berimbas pada karier selanjutnya.