Liputan6.com, Jakarta Di beberapa negara Asia, kuliner ekstrem yang menggunakan serangga sebagai bahan baku kerap menjadi incaran para wisatawan mancanegara. Wisman selalu ingin berpose dengan kuliner ekstrem, untuk kemudian dipajang di media sosial mereka demi mendapat “like” yang banyak.
Akan tetapi, mayoritas penduduk lokal di beberapa negara Asia tersebut nyatanya tidak benar-benar suka makan serangga. Kuliner ekstrem yang mereka ciptakan lebih bertujuan untuk bisnis pariwisata. Namun demikian, hal tersebut tidak terjadi di Kamboja.
Larantuka goreng atau arakhnida menjadi salah satu kuliner kegemaran masyarakat setempat. Dijual dengan harga US$ 1 atau setara dengan Rp 12 ribu, kuliner ekstrem ini kerap diburu para pelancong yang datang ke Negeri Pagoda.
Advertisement
Yin Lucky, seorang pemandu wisata di Kota Siem Reap, seperti dikutip dari laman CNN Travel, Selasa (3/10/2017) mengatakan, arakhnida merupakan camilan yang lezat, dijual dengan harga yang cukup mahal. Orang hanya memakannya untuk beberapa acara spesial.
Lebih jauh, Yin mengatakan, kegemaran orang Kamboja makan tarantula goreng bukan tanpa sebab, kemiskinan dan kelaparan saat zaman Khmer merah menjadi penyebab utamanya. Saat itu, tarantula, kalajengking, ulat sutera, dan belalang menjadi santapan kegemaran yang ternyata memang benar-benar enak.
Bagaimana rasanya? Beberapa wisatawan yang merasakan sensasi makan tarantula goreng mengatakan, kuliner ekstrem ini terasa garing di luar dan lembut di dalam. Saat disajikan dalam piring, bentuk tarantula masih utuh, hanya saja bulu-bulu pada tubuhnya sudah hilang.
“Makanlah bagian tubuhnnya dulu,” ungkap Yin.
Bagian tubuh dirasa lebih enak, rasanya seperti memakan kepiting. Perlu nyali besar untuk bisa melahap kuliner ekstrem ini, karena bentuknya benar-benar masih utuh seperti saat mereka masih hidup.