Tradisi Mudik di Antara Bisnis dan Kepentingan Politik

Mudik bukan hanya sekadar pulang kampung. Perubahan kondisi sosial-ekonomi masyarakat membuatnya berdampak pada banyak hal.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 13 Jun 2018, 13:36 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2018, 13:36 WIB
Puncak Arus Mudik di Stasiun Pasar Senen
Sejumlah pemudik mengantre di pintu keberangkatan Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Selasa (12/6). Pada H-3 Lebaran, sebanyak 25.295 pemudik berangkat ke berbagai daerah di Pulau Jawa melalui Stasiun Pasar Senen. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Lebih dari sekadar tradisi, mudik bagi orang Indonesia telah menjadi bagian dari ritus keagamaan. Seolah ada perasaan yang kurang dalam sisi religi seseorang jika tidak berlebaran di kampung halaman.

Entah kapan tradisi mudik tercipta di masyarakat Indonesia. Namun, kemungkinan besar tradisi mudik muncul sejak urbanisasi menjadi fenomena sosial yang massal di masyarakat Indonesia, selain juga dipengaruhi munculnya transporasi modern yang mampu memindahkan banyak orang dalam satu waktu.

Irsyad Ridho, Pengkaji Budaya dan Dosen Cultural Studies Universitas Negeri Jakarta, saat dihubungi Liputan6.com mengatakan, dalam kacamata budaya ada beberapa faktor yang membuat mudik menjadi suatu yang penting dilakukan di hari raya. Pertama, ikatan kekeluargaan yang masih kuat, terutama dengan orangtua.

“Keinginan untuk mudik kecenderungannya akan berkurang jika orangtua di kampung sudah enggak ada,” kata Irsyad.

 

Citra Romantik Religius

Puncak Arus Mudik di Stasiun Pasar Senen
Sejumlah pemudik memasuki pintu keberangkatan Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Selasa (12/6). Pada H-3 Lebaran, sebanyak 25.295 pemudik berangkat ke berbagai daerah di Pulau Jawa melalui Stasiun Pasar Senen. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Faktor kedua adalah berlebaran di kampung bisa memberikan suasana nostalgia yang selama ini hilang dalam kehidupan perantauan di kota. Sedangkan yang ketiga adalah faktor media massa dan iklan bisnis yang memanfaatkan tradisi mudik ini dengan cara membentuk citra atau kesan “romantik dan religius” dari tradisi mudik, sehingga orang terpengaruh untuk tetap mudik.

“Intinya budaya tertentu, seperti mudik, terbentuk dari perubahan kondisi sosial-ekonomi. Perubahan seperti urbanisasi di satu sisi dan ikatan komunitas kampung dan keluarga di sisi lain, menimbulkan budaya yang baru, yaitu mudik,” ucap Irsyad.

 

Kepentingan Politik

Dalam proses selanjutnya, masih menurut Irsyad Ridho, mudik itu sendiri berdampak pada bisnis-bisnis tertentu, seperti bisnis angkutan, bisnis kuliner, bisnis komunikasi, bisnis pakaian, dan bisnis gaya hidup, dan lain sebagainya. Maka mudik saat ini juga dipengaruhi oleh kepentingan bisnis.

“Bahkan, mudik bisa berdampak juga pada kepentingan politik. Presiden yang enggak mampu mengatasi problem-problem mudik bisa saja dikritik sebagai pemimpin yang tidak peduli pada umat Islam misalnya, terus dihubung-hubungkan dengan segala macam urusan. Urusannya bisa panjang dan sudah pasti berdampak pada pemilu berikutnya. Jadi dalam mudik itu, karena sifatnya yang massal, semua kepentingan saling berkelindan,” kata Irsyad menambahkan.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya