Liputan6.com, Jakarta Setelah melewati masa-masa kritis, budayawan sekaligus seniman serba bisa yang lantang menyuarakan kritik sosial, Radhar Panca Dahana, dikabarkan mulai membaik.
“Empat hari di ICCU (RS Pondok Indah), alhamdulillah kondisinya sudah mulai membaik, semalam sudah pindah ke ruang rawat,” ungkap sang istri, Krisniati Marchellina, saat dihubungi Liputan6.com, Senin (20/8/2018). Radhar beberapa waktu lalu dilarikan ke rumah sakit lantaran mengalami penyumbatan pembuluh darah.
Advertisement
Radhar di Mata Kritikus Sastra
Di mata kritikus sastra Zen Hae, Radhar Panca Dahana adalah sosok budayawan, pegiat teater, sastrawan, sekaligus penyair yang kerap menyuarakan kritik sosial. Lahir dan tumbuh pada dasawarsa 1980-an, saat dunia kepenyairan Indonesia dipenuhi puisi-puisi yang berusaha menegakkan kekuatan sastra sebagai alat kritik keadaan.
“Tapi kritik sosial yang disampaikan Radhar tidak selugas Rendra, lewat sejumlah puisinya. Tapi kita masih bisa merasakan upaya dari seorang Radhar yang ingin ikut juga mengkritik keadaan. Jika Rendra cenderung berterus terang, Radhar berlindung di balik semacam surrealisme,” ungkap Zen Hae kepada Liputan6.com.
Lebih jauh Zen Hae mengatakan, aku lirik dalam puisi-puisi Radhar adalah subjek yang mencoba melawan keadaan, tetapi dirinya justru selalu masuk ke dalam belitan masalah, tirani, kekuasan, godaan budaya massa itu sendiri.
“Dia tetap melawan, meskipun ia tahu ia akan kalah. Justru di situlah lebihnya Radhar sebagai seorang penyair,” ungkap Zen Hae.
Advertisement
Radhar dalam Kesusasteraan Kita
Jika mencermati kembali puisi-puisi karya Radhar Panca Dahana, pembaca akan menemukan dunia kontemporer yang rusak, bengis dan penuh darah. Tengoklah puisinya yang berjudul “Legenda Belati” yang ditulisnya tahun 1986.
ini belati menikam tubuh sendiri/ menggorok leher udara/
mencabik jantung semua waktu dan lihat jadarnya/
membusuk di pasar, bar, kantor, bang, dan selokan kota/ bah begini tengiknya mayat busuk peradaban kita…/
Dalam pandangan Zen Hae, dunia yang kejam dan penuh darah itu dilukiskan dengan larik-larik yang padar, tetapi di bagian lain ia juga ingin berpanjang-panjang. Pada puisinya ada tarik-menarik antara puisi lirik dan puisi naratif. Kehendak untuk berkisah, di samping menyuling kata dalam kadarnya yang paling murni, membuat puisi-puisinya terkesan sebagai “khotbah” yang pedih.
“Yang jauh lebih menentukan, bagi saya, adalah pekerjaan Radhar sebagai penyair dan pekerja teater. Itulah bidang kerja yang lebih bisa menjelaskan siapa itu Radhar Panca Dahana dalam dunia kesusasteraan kita,” ungkap Zen Hae menambahkan.