Bukan Jepang, Sushi Ternyata Berawal dari Daerah Ini

Nasi yang digunakan dalam sushi bahkan awalnya bukan untuk dimakan.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 01 Jul 2019, 11:01 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2019, 11:01 WIB
Ilustrasi Sushi (AFP)
Sushi (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Siapa tidak kenal sushi? Makanan dengan ragam opsi topping itu dikenal sebagai salah satu kuliner khas Jepang. Tapi, tahukah Anda bila asal mula sushi bukanlah dari Negeri Sakura?

Dilansir dari laman South China Morning Post, Senin (7/1/2019), rasa dan tampilan sushi saat ini sangat berbeda dari berabad-abad lalu. Bahkan, nasi yang digunakan dalam sushi saat itu bukanlah untuk dimakan, melainkan jadi bahan pengawet ikan setelah dicampur garam.

Kazunari Araki, chef sushi eksekutif Nobu Hong Kong yang berpengalaman membuat sushi selama 20 tahun itu menyatakan, aslinya, sushi bukanlah dari Jepang. Kombinasi nasi dan ikan sudah dimanfaatkan para nelayan di sepanjang Sungai Mekong sejak abad ke-3.

Sungai Mekong merupakan sungai di Asia Tenggara yang menghubungkan banyak negara, mulai dari Thailand, Vietnam, Myanmar, Laos, hingga Kamboja.

"Karena orang-orang yang tinggal di sekitar sungai menangkap banyak ikan dan karena iklimnya sangat panas, mereka mencari cara untuk menjaga ikan dari pembusukan. Orang-orang di area itu juga membuat nasi, sehingga mereka bisa menemukan cara menjaga kesegaran ikan dengan menggunakan nasi dan garam," tutur Araki.

Setelah dibersihkan dan dihilangkan bagian dalamnya, ikan-ikan itu kemudian ditutupi dengan campuran garam dan nasi di dalam ember. Ikan bisa disimpan berbulan-bulan, bahkan lebih, untuk menjaga kesegarannya.

Sebelum ikan dimakan, nasi tersebut dibuang karena rasanya sangat asin untuk dikonsumsi. Sebelum abad 12, metode mengawetkan ikan ini berkembang dari Sungai Mekong ke Tiongkok, dan berlanjut hingga ke Jepang yang disebut narezushi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ganti Cuka

Ilustrasi Sushi
Ilustrasi sushi (dok. Pixabay.com/Putu Elmira)

Pada abad ke-16, tepatnya saat zaman Edo, garam sebagai pengawet digantikan fungsinya oleh cuka. Araki menyebut itulah langkah besar dalam pengembangan sushi. Penggunaan cuka itu pula yang melahirkan nama sushi yag diartikan sebagai nasi bercuka.

"Dengan cuka, Anda hanya butuh memarinasi ikan selama beberapa jam atau semalaman saja, itu bisa menyingkat waktu untuk memakan ikan dibandingkan sebelumnya yang memerlukan enam bulan hingga setahun," kata Araki.

Seiring waktu, yakni pada abad 18 dan 19, porsi ikan jadi lebih kecil. Awalnya, potongan ikan besar-besar, tetapi belakangan berubah hanya sekepal tangan. Perkembangan sushi semakin maju pada era Meiji, sekitar 1900-an, saat mesin es dikembangkan.

"Es berarti Anda bisa menjaga ikan tetap segar. Anda tak perlu memarinasinya. Anda cukup memotongnya dan menyimpannya di es. Kapanpun Anda membuat nasi, Anda tinggal memotong ikan, menempatkannya di atas nasi, dan langsung memakannya. Hanya cukup mencelupkannya di kecap. Inilah cara modern memakan nigiri," tuturnya.

Meski begitu, Anda tetap bisa mencoba narezushi. Araki merekomendasikan Kyoto sebagai tempat untuk mencicipi sushi versi kuno, meski diingatkan bahwa makanan itu tak cocok untuk semua orang.

"Ketika sesuatu difermentasikan, hal itu relatif akan buruk. Anda bisa membayangkan bau ikan yang difermentasi. Ikan akan berasa asin dan bau, tetapi tetap bisa merasakan ikan. Ketika makan itu dengan sake, barulah akan terasa enak," ucapnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya