Cerita Akhir Pekan: Jajanan Pasar dan Eksistensinya di Kalangan Anak Muda

Idealisme dan embel-embel modernitas nyatanya berperan bak dua mata pisau bagi eksistensi jajanan pasar.

oleh Asnida Riani diperbarui 14 Sep 2019, 08:30 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2019, 08:30 WIB
Kuliner Yogyakarta
Jajanan pasar di Pasar Kranggan, Yogyakarta. (dok. Instagram @fatikwijaya/https://www.instagram.com/p/BrGwvVoFHNB/)

Liputan6.com, Jakarta - Mulai dari manis hingga gurih, berbentuk bulat maupun lonjong, ditambah warna-warni menggugah selera, magnet jajanan pasar sebagai daya tarik tak lagi diragukan. Nama sajian yang identik dengan camilan ini sudah harum sejak lama dan mengemban kultur dalam jangka waktu panjang, sangat panjang.

"Jajanan pasar itu sudah ada dari zaman kerajaan Hindu. Bisa dilihat di relief (candi), ada makanan yang dibungkus memakai daun pisang. Ada juga di prasasti yang menyebutkan jajan pasar sebagai sajen dalam ragam upacara adat," jelas penulis kuliner, Kevindra Soemantri, lewat sambungan telepon pada Liputan6.com, Kamis, 12 September 2019.

Panjang usia jajanan pasar membuat eksistensinya di kalangan anak muda selalu menarik untuk dikulik. Terlebih, industri kuliner memang dikenal sangat cepat berkembang dengan ragam inovasi dalam timeline cukup ngebut.

Novia Eka Wulandari, salah seorang anak gen Z mengatakan, besar di era modern tak membuatnya 'buta' akan jajanan pasar. "Masih (makan jajanan pasar). Apalagi, kalau lagi di Yogyakarta. Pasti kalau pagi ke pasar buat jajan," katanya saat ditemui di bilangan Jakarta Timur, Jumat, 13 September 2019.

Begitu pula dengan milenial seperti Monica Ayu Lestari dan Yoca Gumilang. Keduanya mengaku masih sangat familiar dengan jajanan pasar, bahkan punya camilan favorit. "Saya suka kue putu ayu, kue cincin, kue isi kacang hijau yang bentuknya ada cabai, terong, gitu-gitu, dan kue lumpur. Enak semua," katanya lewat pesan singkat, Jumat, 13 September 2019.

Soal eksistensi, Yoca mengatakan, dirinya yang tinggal di Depok, Jawa Barat, masih sering mendapati jajanan pasar. "Tapi, lebih banyak yang dimodifikasi buat ngikutin perkembangan zaman," kataya.

"Walau ada beberapa yang hampir punah karena resep atau cara pembuatannya nggak diwarisi. Juga, karena agak susah di bahan atau pembuatan. Sampai untung-ruginya jajanan buat dijual," sambung lelaki kelahiran 1991 ini.

Monic pun bercerita pengalamannya berburu salah satu jenis jajanan pasar yang sudah cukup jarang ditemui. "Mama suka banget sama kue bikang, sementara di Serpong susah banget buat cari penjual kue bikang. Jadinya kita muter-muter. Tapi, akhirnya tetap nggak nemu (kue bikang)," tuturnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Modernitas dan Idealisme di Tengah Eksistensi Jajanan Pasar

Beragam jajanan Ndeso alias kuliner tradisional di Pasar Sunyalangu bayarnya pakai koin pinus. (Foto: Liputan6.com/Adib untuk Muhamad Ridlo)
Beragam jajanan Ndeso alias kuliner tradisional di Pasar Sunyalangu bayarnya pakai koin pinus. (Foto: Liputan6.com/Adib untuk Muhamad Ridlo)

Menurut Kevindra, eksistensi jajanan pasar sangat bergantung pada pembiasaan. "Apakah tetap ada (jajanan pasar) di acara-acara keluarga, kalau ada event tertentu, jadi secara rasa dan tampilan tetap famliar bagi generasi muda," tuturnya.

Salah satu narator dalam series Street Food garapan Netflix ini mengatakan, jajanan pasar masih familiar dengan milenial, tapi bagi gen Z, barulah terlihat tantangan di sana. Pasalnya, orangtua generasi ini bisa dikatakan sudah modern.

"Terlebih, anak-anak ini (gen Z) lahir ketika lifestyle dinning lagi booming. Ditambah sekarang dimanjakan dengan food delivery. Memori berburu jajanan pasar bisa jadi tidak relate dengan mereka," kata Kevindra.

Gaya hidup modern yang tergila-gila dengan segala sesuatu yang global ini, tambah Kevindra, tengah jadi kekhawatiran banyak negara di dunia yang memiliki kultur kuliner kuat, tak terkecuali Indonesia.

"Saya pun lebih takutnya kalau disattached sampai terjadi di daerah yang kultur jajanan pasarnya kuat, seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta," ucapnya.

Di antara sejumlah tantangan dalam mempertahankan eksistensi jajanan pasar, Kevindra optimistis, lantaran di sisi lain, anak muda sekarang bisa dikatakan idealis dan sangat menghargai segala macam yang berbau artisan.

"Mereka kemudian perlahan sadar kalau sudah terlalu modern, sudah terlalu jauh dari kultur. Ragam hal tradisional kemudian punya value lebih. Makanya, gerakan ramah lingkungan dan isu serupa lebih disadari generasi muda," papar Kevindra.

Persepsi ini, kata Kevindra, bisa jadi salah satu celah untuk kembali memperkenalkan jajanan pasar sebagai bagian dari kultur, kebiasaan, dan nilai yang harus tetap ada di masyarakat berbudaya seperti penduduk Indonesia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya