Liputan6.com, Jakarta - Siapa bilang petani hanya pantas dikasihani? Desainer Didiet Maulana punya kesan mendalam atas sosok para pejuang pangan Indonesia yang justru jauh dari kata menyedihkan.
Sekitar setahun lalu, ia diminta menggarap proyek mendesain ulang kemasan kecap. Lelaki yang menekuni desain kain wastra itu sempat terkejut dengan tawaran tersebut.
"Dari fesyen kok ke kecap? Tapi, pertama kali dihubungi, saya merasa excited dan tertantang bagaimana men-translate semangat petani Indonesia," ujarnya dalam peluncuran Program Petani Muda yang digagas Bango di Jakarta, Rabu, 25 September 2019.
Advertisement
Ia lalu turun ke lapangan, tepatnya berjalan-jalan ke Desa Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta, di tengah puasa Ramadan. Di sana, ia menemui empat petani kedelai hitam, bahan utama kecap, guna memahami dan menangkap esensi dari mereka.
Baca Juga
Perjalanan tersebut membuka mata Didiet tentang mengapresiasi para petani. Selama ini, isi piringnya cukup hanya dimakan, tak pernah disadari bila makanan yang dikecap adalah buah proses panjang yang dijalani para petani.
"Selama ini take it for granted. Tapi, setelah bertemu petani, saya jadi lebih menghargai apa yang ada di meja makan. Dari beras, tempe, kecap. Semua ada yang membuatnya, ada yang menanamnya. Ini proses panjang sekali dan buat saya berterima kasih pada petani-petani di Indonesia," tuturnya.
Setelah ngobrol panjang, Didiet menangkap nilai petani yang dicarinya. Menurut pemilik brand Ikat Indonesia itu, cintalah yang jadi benang merah dari semua yang dilakoni petani, baik itu cinta keluarga maupun cinta pada tanaman yang diolah.
Proses kreatif Didiet pun dimulai setelah itu. Butuh waktu untuk mengolah semua bahan yang didapat jadi karya yang cocok untuk ditampilkan dalam kemasan khusus bernama Cita Mallika.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tulang Kedelai, Pucuk Rebung, dan Art Deco
Setelah berkontemplasi dan berdiskusi dengan Dewi Lestari, sang penulis Perahu Kertas, ia mulai merangkai cerita. Menurut Didiet, setiap simbol atau motif di Indonesia selalu ada cerita di baliknya. Ia ingin motif baru yang hendak diciptakan juga demikian adanya.
Ia mengambil inspirasi dari beberapa motif yang sudah ada, khususnya motif tulang kedelai dan pucuk rebung. Tulang dalam bahasa Lombok berarti biji, motif itu melambangkan hubungan erat petani dengan tanaman yang dirawat. Didiet mengambil bentuk dasarnya yang seperti layangan.
Sementara, Didiet mengambil bentuk segitiga dari motif pucuk rebung. Motif itu banyak digunakan di berbagai wastra Nusantara. "Di songket ada, batik di tengah juga ada," kata Didiet.
Ia juga memasukkan unsur geometris dari gaya art deco yang dianggap mewakili 1928, tahun kelahiran kecap Bango. Gaya yang banyak diterapkan dalam karya arsitektur itu dianggap indah tak lekang oleh zaman.
"Bentuknya tegas, tapi banyak sekali elemen garis dan titik," katanya.
Elemen titik pun diambil sebagai representasi biji kedelai mallika, varietas yang ditanam petani untuk bahan baku kecap brand berusia 91 tahun tersebut. Semua elemen kemudian disatukan untuk menghasilkan desain yang seolah berputar dan saling bersambungan membentuk gambar hati.
"Ketika orang senang, secara universal, ekspresi orang akan menari. Dia bergerak, berputar," ujarnya.
Belum cukup, ia memberi warna pada motif tersebut. Biru turquiose sebagai warna dasar yang merupakan warna kemasan kecap selama ini. Sementara, warna merah merupakan lambang kehangatan dan keluarga, warna oranye wujud dari harapan, kuning jadi ekspresi kesejahteraan, dan hijau yang melambangkan kesuburan.
"Jadi, motif ini secara umum adalah gabungan dari cinta, harapan, dan bagaimana optimisme petani," katanya. "Saya pikir akan ada revisi, tetapi sekali presentasi langsung nyetel," imbuhnya.
Advertisement
Prosa Dewi Lestari
Bila Didiet memikirkan sisi motif, giliran Dewi Lestari bertanggung jawab atas pembuatan kalimat-kalimat inspiratif yang ditampilkan pada belakang kemasan. Ia juga menjalani proses berinteraksi dengan para petani demi membuat cerita nonfiksi.
"Kalau baca brosur atau slogan kan beda ya. Cerita punya daya jangkau lebih luas dan dalam," katanya.
Lewat interaksi yang dibangun, ia menggali sisi kemanusiaan para petani. Misalnya saja cerita jembatan kecil yang terdapat tanggal di salah satu sisi. Ternyata, jembatan tersebut dibuat Pak Margo, nama petani yang ditemuinya, setelah panen kedelai pertama.
"Jembatannya kecil, tetapi mobil bisa lewat. Jembatan itu sangat memberi dampak, jadi memudahkan untuk diangkut yang sebelumnya hanya pakai gerobak," katanya.
Dee, begitu sapaan akrabnya, seolah dibangunkan dari paradigma yang selama ini tertanam erat. Ia menyebut, para petani bukanlah kelompok yang melulu harus dikasihani. Semangat pantang menyerah dan penuh cinta mereka justru jadi sumber inspirasi yang harus disebarkan.
Menurut perempuan 43 tahun tersebut, perjalanan ke sana membangkitkan perasaan sentimental dan emosional. Ia mengaku merasa terhubung dengan kehidupan para petani, lantaran sang ayah juga seorang petani saat kecil.
"Saya sempat ikutan agribisnis walau nggak sampai nyangkul sendiri sekitar setahun. Tapi, karena keahlian kurang, akhirnya berhenti," tuturnya.
Tantangan dihadapi saat mengolah kata. Ia ingin membuat karya nonfiksi, tetapi tetap renyah dibaca. Tidak menggurui dan tidak menempatkan petani patut dikasihani.
"Karena mereka punya prinsip hidup yang perlu diketahui masyarakat modern dan luput disadari karena di kota, apa-apa sudah tersedia," katanya.
Membangkitkan Semangat Petani Muda
Lewat kata-kata yang dirangkainya, Dee ingin menyampaikan pesan penting terkait kondisi petani kini. Utamanya soal ancaman mandeknya proses regenerasi.
Menurut ibu dua anak itu, ia banyak berhubungan dengan para sepuh dan jarang melihat anak muda terjun ke dunia pertanian. Padahal, peran petani sentral dalam ketahanan pangan dan masa depan. Tanpa ada regenerasi, ketahanan pangan jadi mengkhawatirkan.
"Saya berhadapan dengan para sepuh, anaknya kebanyakan kuliah di kota atau sekolah di mana. Saya belum lihat diteruskan," ujarnya.
Maka itu, ia kembali menekankan pentingnya menyampaikan narasi lebih positif tentang profesi petani pada anak muda. Apalagi, berbeda dengan para pemuda zaman dulu yang menganggap pekerjaan petani sebagai pengabdian atas lahan keluarga, anak muda zaman now butuh pendekatan lebih persuasif.
“Kalau sekarang harus ada inisiatif dari anak muda. Maka kita butuh pendekatan profesi tani yang inspiring, profitable. Harus sesuatu yang diunggulkan,” kata Dewi.
Cerita Dewi Lestari tersebut dirangkum dalam buku bertajuk "Dari Tanah Tani ke Piring Saji". Sementara, Unilever menggagas Program Petani Muda untuk mendukung pemerintah meregenerasi petani muda berusia di bawah 23 tahun yang kini hanya berjumlah empat persen dari total populasi petani.
“Kami ingin tunjukan anak-anak muda bisa terinspirasi jadi petani karena ini memang profesi yang menjanjikan,” ujar Nando Kusmanto, Senior Brand Manager Bango.
Advertisement