Liputan6.com, Jakarta - "Kami di sana membina masyarakat desa yang tak punya banyak opsi (dalam mencari nafkah) lewat produk fesyen berkelanjutan," kata CEO sekaligus Founder Handep Randi J. Miranda pada Liputan6.com di Jakarta Pusat, 12 Februari 2020.
Berbasis di Kalimantan Tengah, Handep berupaya menggerakkan ekonomi lokal dengan memberdayakan para perempuan Dayak sekaligus petani rotan lokal dalam pembuatan ragam aksesori fesyen berupa tas, gelang, dan topi.
Randi menjelaskan, menganyam yang merupakan cara pembuatan produk-produk tersebut masuk dalam tradisi turun-temurun masyarakat Dayak. "Setiap rumah pasti ada yang bisa menganyam," tuturnya.
Advertisement
Baca Juga
Handep sendiri merupakan gagasan anak-anak Dayak yang sudah mengenyam pendidikan di luar negeri dan kembali ke Kalimantan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tanah kelahiran mereka.
"Kami memang bicara bahasa yang sama, berbagi kultur serupa, tapi bukan soal mudah menjelaskan tentang bisnis, fesyen, dan ekonomi pada masyarakat desa," cerita Randi.
Sudah berjalan selama 1,5 tahun, Handep dimulai lewat pendekatan dengan cara tinggal di desa-desa selama kurang lebih dua bulan. "Di masa itu, kami juga identifikasi potensi di sana dan lihat apa saja yang bisa digarap," imbuhnya.
Ajakan bergerak di bidang fesyen berkelanjutan ini dilakukan lewat diskusi komunitas dan membuka kesempatan para artisan bergabung. Awalnya hanya 20 penganyam dari satu desa, tapi sekarang tercatat sudah ada lima desa dengan 110 partisipan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selamatkan Hutan Kalimantan
Refleksi semangat para perempuan Dayak dalam meningkatkan kesejahteraan hidup, sekaligus melestarikan tradisi menganyam ini dilakukan selaras dengan penggunaan serat alam sebagai bahan baku.
Randi menjelaskan, Kalimantan punya sangat banyak serat alami. Hanya saja, sebagian besar produk Handep baru memanfaatkan rotan yang diambil langsung di hutan oleh para petani.
"Rotan itu tumbuh merambat di pohon-pohon, terus naik ke puncak supaya bisa dapat sinar matahari. Cara hidupnya ini secara tak langsung membuat warga, termasuk petani, menjaga keberadaan pohon supaya rotan tetap ada," papar Randi.
Dengan begitu, salah satu ujung bisnis ini berupa upaya menjaga kelestarian hutan Kalimantan.
"Kami juga berusaha sounding ke pemerintah dan stakeholders terkait bahwa ada kegiatan ekonomi di hutan-hutan ini. Supaya tidak ada akusisi lahan sembarangan karena masalah lahan memang masih sangat seksi di Kalimantan," ucapnya.
Randi beranggapan, sudah saatnya industri fesyen beralih dari tirani pasar konvensional. Selain lebih tak ramah lingkungan, model bisnis ini lekat dengan eksploitasi orang karena tuntutan efisiensi produksi.
"Kami di Handep juga berusaha lepas dari citra itu dengan memberi persentase yang fair pada artisan, yakni dibayar 40--150 persen lebih mahal. Dengan catatan memenuhi standar kami," ujarnya.
Penyamaan standarisasi ini dilakukan lewat pembinaan, juga desainer Handep langsung berinteraksi dengan para artisan. Pasalnya, ada beberapa motif yang nyatanya tak boleh dipakai sebagai busana karena sakral.
"Kami harus paham apa yang jadi limit dalam budaya mereka. Makanya desainer kami harus in-house untuk beradaptasi dengan kapasitas artisan," ucapnya.
Produk Handep sendiri dibedakan berdasarkan kategori regular dan premium dengan kisaran harga masing-masing Rp300 ribu--Rp800 ribu, juga Rp1 juta--Rp3 juta.
Selain punya toko di Kalimantan dan Bali, produk-produk sarat kearifan lokal dengan sentuhan fungsi kontemporer ini juga bisa dibeli secara online, baik lewat Instagram maupun e-commerce.
Advertisement