Liputan6.com, Jakarta - Tantangan 21 Hari Vegan (21hariveg.org) telah menarik partisipasi ratusan peserta sejak bulan pertamanya di Indonesia. Tantangan yang diinisiasi oleh plant-based chef sekaligus co-founder Burgreens, Max Mandias dan digital influencer yang juga advokat vegan, Annabella, telah secara resmi diluncurkan pada 23 Januari 2020.
Mereka mengajak konsumen memilih makanan berbasis nabati selama 21 hari. Para peserta dapat mendaftarkan diri secara online dan gratis untuk menerima akses ke panduan vegan pertama di Indonesia yang secara khusus dibuat dalam inisiatif ini dengan terdiri lebih dari 50 resep tanpa daging, telur, susu, dan produk hewani lainnya.
Para peserta juga menerima dukungan dari Willy Yonas, seorang ahli nutrisi khusus berbasis nabati, yang menjawab setiap pertanyaan tentang nutrisi via e-mail.
Advertisement
Baca Juga
“Kami ingin masyarakat mulai memperhatikan bahwa tidak hanya mudah untuk mengikuti pola makan vegan di Indonesia, tetapi juga sehat, berkelanjutan, dan etis bagi hewan,” terang Annabella.
“Kami berharap bahwa semua bukti manfaat kesehatan mampu menjadi faktor utama agar meyakinkan masyarakat untuk mengikuti pola makan ini dalam keseharian,” lanjutnya.
Kampanye ini juga didukung oleh organisasi perlindungan hewan Sinergia Animal, salah satu pendukung internasional yang terlibat dalam tantangan ini. Organisasi non-profit ini juga mendukung tantangan vegan di negara lainnya seperti Thailand dan Amerika Latin yang berhasil melibatkan 16,000 peserta dalam satu tahun terakhir.
Di Indonesia, tantangan 21 Hari Vegan juga dipromosikan oleh sejumlah organisasi organisasi lokal, seperti Jakarta Animal Aid Network, Animal Friends Jogja, dan new NGO Green Welfare, serta rantai restoran berbasis nabati pertama dan terbesar di Indonesia, Burgreens, dan juga Jakarta Vegan Guide, sebuah outlet media pro-vegan.
Tren vegan ini semakin terlihat di Indonesia, salah satunya di Ubud, Bali yang termasuk dalam predikat kota paling ramah vegan di dunia. Sejumlah selebriti seperti Sophia Latjuba, Andovi da Lopez, Andien Aisyah, VJ Daniel, Abigail Cantika, Nino Fernandez, adalah beberapa dari mereka yang telah memutuskan untuk berhenti mengonsumsi makanan hewani di Indonesia.
Tapi ini tidak hanya sekadar tren sewaktu-waktu belaka, pola makan berbasis nabati memiliki banyak manfaat kesehatan yang luar biasa.
“Beberapa studi menunjukkan besarnya manfaat pola makan berbasis nabati bagi masyarakat. Di antaranya adalah mencegah, mengobati, atau membalikkan penyakit jantung, penyakit-penyakit otak seperti stroke dan Alzheimer, diabetes, serta mengurangi peradangan dalam tubuh karena tingginya antioksidan yang bahkan membantu mencegah kanker,” terang Willy Yonas, ahli nutrisi dalam 21 Hari Vegan.
Sebagai latar belakang, Willy melakukan magang selama setengah tahun di Clinical Research Department of Physicians Committee for Responsible Medicine, sebuah organisasi non-profit berbasis di Amerika Serikat yang meneliti dan mengadvokasi pengobatan preventif dan pola makan berbasis nabati bersama dengan Dr. Neal Barnard, salah satu ahli terkemuka dunia di bidangnya.
Baru-baru ini, aktivitas veganisme telah menciptakan cerita dan beritanya di Indonesia sejak enam lokal atlet ambil bagian dalam The Game Changers Challenge, yang melibatkan mereka untuk mengonsumsi makanan berbasis nabati selama enam minggu.
Hasil yang diperoleh oleh penulis pemenang penghargaan dan ahli kesehatan, Dr. Rita Ramayulis, DCN, M.Kes menunjukkan peningkatan dalam performa dan kesehatan semua atlet, termasuk di dalamnya penurunan kadar kolesterol dan gula darah.
“Bukti yang berkembang telah mengindikasikan bahwa, bagi para atlet, pola makan berbasis nabati sering meningkatkan performa dan daya tahan, yang menjelaskan mengapa beberapa atlet paling terkenal di dunia seperti Austin Aries (pegulat), Scoot Jurek (pelari marathon ultra), Lewis Hamilton (pembalap Formula-1), dan Marc Klok (pemain sepak bola di Persija Jakarta) adalah vegan,” terang Willy.
Tren Vegan ini juga dapat menjadi alternatif konsumsi harian bagi konsumen. Di sisi lain, produksi daging, susu, dan telur yang terus berkembang erat juga kaitannya dengan pemanasan global, degradasi lingkungan, serta terbukti menimbulkan berbagai ancaman terhadap kesehatan manusia, misalnya: meningkatkan resistensi antibiotik dan penyebaran penyakit.