Pemilik Klinik Kopi Jogja Berbagi Kiat Obati Kangen Berinteraksi dengan Pelanggan

Klinik Kopi terkenal dengan kebiasaan pemilik kedai menceritakan asal-usul biji kopi kepada pelanggan sebelum disajikan. Lalu, bagaimana di masa pandemi?

oleh Dinny Mutiah diperbarui 11 Jun 2020, 02:06 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2020, 02:06 WIB
Pepek, pemilik Klinik Kopi
Pepek, pemilik Klinik Kopi (Liputan6.com/Komarudin)

Liputan6.com, Jakarta - Klinik Kopi, kedai kopi yang berlokasi di Yogyakarta, terpaksa ditutup sejak 25 Maret 2020. Pandemi Covid-19 memaksa pemilik tak bisa lagi membuka kedai yang sekitar 80 persen pelanggannya berasal dari luar kota. Sang pemilik, Firmansyah yang akrab disapa Pepeng itu pun kini beralih ke penjualan online untuk menjaga pemasukan.

Meski begitu, kekangenan Pepeng berinteraksi dengan pelanggannya tak sepenuhnya terobati. Ia pun mencari cara agar tetap bisa bertatap muka dengan konsumen tanpa mengabaikan protokol kesehatan yang digariskan pemerintah. Sekitar dua minggu terakhir, Klinik Kopi numpang buka lapak di Dapur Tetangga.

Dapur Tetangga merupakan bisnis kue yang dijalankan istri Pepeng. Sebelum pandemi, sang istrilah yang biasa menyuplai camilan bagi pelanggan di kedai kopinya. Sementara kedai ditutup, Pepeng akhirnya menjual kopi untuk dibawa pulang tetapi tidak meninggalkan tradisi khas yang sudah melekat.

"Tapi, orang harus janjian dulu, kasih tahu berapa orang yang akan datang. Mereka harus pakai masker. Kemudian saat datang, akan disemprot segala macam," tutur Pepeng dalam diskusi virtual Media Briefing: UMKM Lokal di ‘New Normal’ yang digelar Tokopedia di Jakarta, Rabu, 10 Juni 2020.

Ia menekankan memakai masker adalah wajib. Tanpa masker, pengunjung yang datang bakal ditolak dilayani. Selain itu, maksimal dalam satu reservasi hanya untuk dua orang saja. Selebihnya harus pesan pada jam berikutnya. Operasionalnya juga berlaku hanya pada jam 9 pagi hingga 5 sore.

"Pengunjung yang dadakan hanya bisa pesan jika ada waktu yang kosong. Misal sudah penuh, maka bisa menunggu di jam berikutnya," jelas Pepeng. Dalam sehari, ia hanya membatasi sepuluh antrean saja.

Saat melayani pesanan itulah, ia bisa menyalurkan hasratnya untuk bercerita tentang biji kopi. Biji kopi apa, dari kebun siapa, hingga rasa kopi, bisa dituturkannya dengan detail meski tidak lagi bisa berdekatan.

"Pengunjung dapat kopi, aku bisa cerita," ucap Pepeng.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Jualan Online

Budaya Ngopi di Klinik Kopi, Tanpa Gula dan Rokok
Tidak ada buku menu di Klinik Kopi. (Liputan6.com/Yanuar H)

Sebelum kembali melayani pelanggan secara langsung, Pepeng sepenuhnya mengandalkan penjualan secara online. Online bukanlah barang baru, ia menggarapnya sejak 2014 dengan menawarkannya lewat website, tetapi kini sepenuhnya berjualan di e-commerce.

Pandemi menjadi sesuatu yang tak pernah dibayangkannya. Ia yang biasanya ngobrol lama-lama dengan pelanggan, kini kebanyakan hanya bisa berinteraksi lewat online. Namun, secara keseluruhan, pandemi tak terlalu memengaruhi transaksi.

"Percaya enggak percaya, 90 persen pendapatan dari Tokopedia. Aku enggak urus ongkir, traceable. Di setiap deskripsi, ada ceritanya," sambung dia.

Pandemi bahkan menaikkan jumlah penjualan alat seduh kedainya hingga 20 persen. Padahal, harga alat seduh berbahan keramik itu disebutnya relatif mahal, Rp250 ribu per buah.

"Tapi penjualan justru naik. Biji kopi aku bukan B to B, tapi B to C, home brewing, konsumen bisa seduh sendiri di rumah atau di kantor. Jadi saat enggak bisa ke kedai, mereka ya seduh sendiri di rumah," kata dia.

Ia juga sering menyertakan sampel kopi saat menjual kopi ke pelanggan. Secara tak langsung, itu caranya mempromosikan varian kopi kepada pelanggan yang tak jarang berhasil menarik peminat. Ke depan, ia mengatakan akan menambahkan barcode di setiap kemasan. Tujuannya agar konsumen bisa mengetahui langsung dari mana kopi berasal.

"Value-nya orang akan membedakan kopi di klinik kopi memang beda," ucap Pepeng.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya